Kaulah ibuku cinta kasihku. Terima kasihku takkan pernah terhenti.
Kau bagai matahari yang selalu bersinar.
Sinari hidupku dengan kehangatanmu. (Ibu)
“Nanti datang ke sekolah aku ya Mommy, soalnya aku sama teman-teman mau nyanyi lagu Ibu,” ujar seorang anak perempuan kelas 1 SD pada ibunya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk ketiga anaknya.
“Setiap kali aku nyanyi lagu Ibu itu, aku pasti menangis, Mommy,” tambah si anak.
Ternyata di hari yang ditentukan itu, sang ibu tidak bisa datang menyaksikan acara tersebut. Si ibu menjadi panitia pentas juga untuk murid TK, adik si anak perempuan.
Waktu terus berlalu. Si anak perempuan itu terus tumbuh. Namun seiring bertambah usia semakin sering konflik dengan ibunya. Anak perempuan tengah ini sering sulit diatur, sehingga si ibu merasa kewalahan. Jika berfoto keluarga bisa dipastikan si anak perempuan itu selalu mendekat pada ayahnya ketimbang ibunya.
Suatu hari sang ibu menemukan kertas yang ditulis anak perempuannya itu. “Setiap kali aku pengen ini atau itu Mommy tidak pernah merespon… Sekali aja Miii…Aku ingin Mommy tahu… Kalau aku ingin Mommy dengar. Coba kalau adik yang minta…pasti dituruti… Kayak dulu aku tampil menyanyi di kelas satu,” tulis si anak.
Betapa kagetnya sang ibu ketika mengetahui curahan hati anaknya itu. Ia menyesal telah mengabaikan permintaan anaknya waktu kelas 1 SD. Padahal, ternyata menyanyikan lagu Ibu di depan Mommynya itu bagi si anak sangat spesial.
Akhirnya, sebagai penebus rasa bersalah, saat acara perpisahan kelas 6 SD, si ibu mengusulkan agar anak-anak menyanyikan lagu Ibu. Ternyata sekolah merespons. Jadilah si Ibu menyaksikan anak perempuannya menyanyikan lagu Ibu.
Namun apa yang terjadi, ternyata si anak menyanyi lagu itu dengan ekspresi biasa-biasa saja. Lalu sang ibu bertanya, “Apakah masih menangis ketika nyanyi lagu itu?” Ia menjawab dengan santai, “Biasa saja!” ujarnya.
Sang ibu menjadi teringat dengan diary si anak yang merasa kecewa pada dirinya. Ia kembali merasa menyesal telah mengabaikan momen penting si anak yang telah mengakibatkan hubungan dengan dirinya menjadi tidak harmonis.
Bertahun-tahun kemudian ketika si anak kelas 1 SMA, si ibu kembali bertanya, “Apakah ia masih sedih dengan kejadian waktu kelas 1 SD?” Dengan jujur si anak mengatakan bahwa ia masih sedih. Si ibu kembali meminta maaf. Ia bertekad untuk memulihkan kesedihan hati anaknya. Ia mencoba mengikuti berbagai kegiatan dan pelatihan parenting untuk memperbaiki hubungan dengan sang anak.
Masalah seperti yang dikisahkan di atas banyak terjadi di dalam keluarga-keluarga. Namun, yang terjadi seringkali masalah tidak terungkap dan tidak diselesaikan dengan tuntas. Itulah yang mengakibatkan begitu banyaknya masalah kenakalan remaja atau percekcokan di dalam keluarga.
Setiap orang mendambakan masuk surga bersama keluarganya. “(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya…” (Ar-Ra’du [13]: 23).
Sebelum berkumpul di surga nanti, maka sudah selayaknya kita mewujudkan surga di dunia di dalam keluarga-keluarga kita.
Penulis: Ida S Widayanti (Pegiat parenting dan praktisi pendidikan)
*Artikel ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2020.