15.3 C
New York
Minggu, Maret 23, 2025

Buy now

spot_img

Yakin Ganja Medis Adalah Solusi?

Poster bertuliskan ‘Tolong Anakku Butuh Ganja Medis’ di pagelaran Care Free Day (CFD) Jakarta yang dibawa oleh seorang ibu sempat menghiasi linimasa media berhari-hari.  Narasi pro-kontra mengenai legalisasi ganja untuk medis pun viral di berbagai platfrom sejak itu.

Saking ramainya, Wapres Ma’ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera menerbitkan fatwa terkait ganja yang di peruntukkan medis. Namun, apakah benar ganja adalah solusi dari beberapa kondisi medis tertentu?

Merespons hal tersebut, Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat, Asrorun Niam Sholeh menyatakan jika ada kebutuhan yang dibenarkan secara syariah, bisa saja penggunaan ganja dibolehkan, dengan syarat dan kondisi tertentu.

“Perlu ada kajian mendalam mengenai manfaat ganja tersebut. Kita akan kaji substansi masalah terkait dengan permasalahan ganja dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi, regulasi, serta dampak yang ditimbulkan,” kata kiai Niam melalui rilisnya kepada media Juni lalu.

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D menjawab hal demikian. Ia menjelaskan ada dua senyawa besar dalam ganja, yakni tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoatif dan cannabidiol (CBD) yang bersifat tidak psikoatif.

“Ada yang memabukkan, seperti THC.Sementara, CBD tidak memabukkan,” ujar Prof Zullies kepada Suara Hidayatullah pertengahan Juli lalu.

Prof Zullies secara tegas menolak upaya legalisasi ganja meskipun dengan alasan tujuan medis. “Tapi ketika itu dipisah komponennya, kemudian efek memabukkannya sudah tidak ada, sebetulnya itu sudah jadi bentuk senyawa sendiri. Jadi itu silakan itu fatwanya seperti apa,” ungkap Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini.

Untuk CBD, kata Zullies, memang memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang. Sudah lolos uji klinis dan dikembangkan menjadi obat. CBD sendiri sudah disetujui peredarannya di Amerika dan Eropa.

Penumpang Gelap

Beberapa negara sudah menjadikan tanaman ganja sebagai komoditas yang diperuntukkan medis. Meski begitu, ujar Prof Zullies, tidak kemudian Indonesia ikut-ikutan. Menurutnya jika nanti tanaman ganja dilegalisasi, maka potensi penyalahgunaannya akan besar.

“Walaupun alasannya adalah untuk terapi, khawatir akan banyak penumpang gelap. Berapa persen sih pengguna ganja yang benar-benar butuh untuk terapi dibandingkan dengan yang untuk rekreasi?” gugatnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo menyampaikan wacana legalisasi ganja untuk medis harus disikapi dengan penuh kehati-hatian.

Setelah ada kajian yang menyatakan ganja benar-benar aman untuk kepentingan medis, ia mendorong agar adanya pengawasan yang sangat ketat. “Kalau ganja medis diizinkan, aturan tersebut harus diikuti pengawasan yang ketat,” ujarnya.

Aturan Narkotika

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika membagi tiga golongan narkotika, hal itu mengacu pada Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Untuk golongan 1 merupakan jenis narkotika yang tidak boleh digunakan dalam medis. Golongan ini hanya boleh digunakan untuk kepentingan penelitian. Sedangkan untuk medis hanya diperbolehkan menggunakan jenis narkotika golongan 2 dan 3.

Prof Zullies mengatakan bahwa ganja sampai saat ini masih masuk dalam narkotika golongan 1. Tetrahydrocannabinol (THC) pun masuk dalam daftar golongan satu, namun Cannabidiol (CBD) sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan mana pun.

Untuk itu, Prof Zullies menyarankan Kemenkes dapat memperbaharui Permenkes tersebut dan memasukkan CBD ke dalam daftar. Dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada, dan tidak adanya sifat psikoaktif, maka mungkin dimasukkan ke dalam narkotika golongan 2 atau 3 dalam lampiran daftar obat golongan narkotika.

“Perlu koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya,”urainya.

Menkes Siapkan Regulasi Baru Ganja Medis

Saat media ramai membahas ganja medis, Kementerian Kesehatan tak butuh lama buka suara. Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan, lembaganya memberikan izin ganja digunakan untuk penelitian medis. Namun secara beriringan ia menegaskan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.

“Kami sudah melakukan kajian. Nanti, sebentar lagi, akan keluar regulasinya untuk kebutuhan medis,” ucap Budi Gunadi, seperti dikutip dari web resmi Menkes.

Adapun, Ikatan Dokter Indonesia  (IDI) melalui ketua umumnya, Dr M Adib Khumaidi menuturkan pihaknya masih butuh riset lebih lanjut  terkait ganja untuk medis. Ia mengaku IDI masih mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis.

Adib mengatakan ketika suatu hal baru dijadikan pengobatan, pasti akan memiliki efek samping sendiri. Karenanya, semua butuh waktu untuk diperhitungkan lebih matang demi keamanan.

“Kita coba elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Harus melihat juga dari sisi keamanan, karena dalam pengobatan ada namanya efek samping yang juga harus diperhitungkan,” kata Adib Khumaidi.

Penulis: Azim Arrasyid/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2022

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles