0.2 C
New York
Rabu, Februari 12, 2025

Buy now

spot_img

Ustadz Hamzah Akbar Hampir Jadi Juragan Sapi

Ustadz Hamzah Akbar tak pernah terpikir akan mendapatkan amanah sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Ummul Qura Balikpapan, Kalimantan Timur. Menurutnya, yang pantas menduduki amanah ini adalah sosok yang mempunyai keilmuan mumpuni, karakter yang kuat, dan segalanya.

“Tidak memadai jika mengukur pada diri saya sendiri,” aku alumnus Jurusan Administrasi Negara Universitas Kutai Kartanegara ini.

Sebelum menduduki amanah tersebut, Hamzah pernah menjalani berbagai tugas dakwah. Misalnya, saat masih menjadi santri pernah menjadi petugas “kartu kuning”, istilah di kalangan para santri untuk pencari dana ke donatur.

Hamzah yang juga pernah mendapat tugas berjualan sapi. Namun ketika sedang asyik menjalani tugas sebagai “juragan” sapi, mendadak ia mendapat mandat untuk menjadi Ketua Yayasan Hidayatullah Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara.

“Saya ditugaskan oleh Pemimpin Umum, Ustadz Abdurrahman Muhammad, menjelang Munas Hidayatullah tahun 2000,” ujar pria yang menikah dalam program Pernikahan Mubarakah 61 pasang (1994).

Hamzah juga sempat menjalani tugas sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Kutai Kartanegara selama satu periode. “Selesai amanah di Kutai Kartanegara, berturut-turut saya menjadi Sekretaris dan Ketua DPW Hidayatullah Kalimantan Timur,” papar suami dari Rahmawati dan Hely Yulanti ini.

Yang paling tidak bisa dilupakan adalah ketika harus pindah ke Jakarta. Hamzah diamanahi sebagai Ketua Departemen Ekonomi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah.

Bagaimana ceritanya kok tugas ke Jakarta disebut tak terlupakan?

Bagi saya, pindah ke Jakarta bukan hal yang sederhana. Ketika itu anak-anak masih sekolah. Umumnya teman-teman bawa istri satu, kalau saya bawa istri dua. Saat itu di Jakarta belum ada rumah dinas. Jadi, kami harus cari kontrakan, tapi alhamdulillah semua bisa terlewati.

Bisa dikisahkan, bagaimana dulu Anda menjadi petugas “kartu kuning” dan juragan sapi?

Iya, betul. Waktu awal (jadi santri) cari dana door to door keliling Balikpapan, bersama beberapa teman. Termasuk mencari kupon beras dari gudang Pertamina. Saya beli kuponnya dari tengkulak, setelah terkumpul, saya ambil beras di gudang pakai kupon. Setiap pekan saya antar beras ke pesantren di Gunung Tembak.

Dahulu warga (Gunung Tembak) tidak beli beras, dan beras menjadi bagian dari natura (fasilitas) untuk para pengajar. Ini bagian dari pendidikan yang saya terima, rasanya tidak ada dalam metode pendidikan modern.

Bagaimana dengan berdagang?

Iya, kalau itu awalnya karena kenal dengan seorang pengusaha sapi potong di Balikpapan. Saya tertantang untuk bisa menguasai juga Balikpapan. Sejak itu saya berdagang mulai dua ekor sapi yang saya distribusikan ke pasar. Sapi itu sampai saya beli dari Sulawesi Selatan. Terus lanjut dengan menjual hewan qurban. Ketika itu bisa menjual sebanyak 150 ekor. Sampai-sampai ketika itu di Gunung Tembak penuh dengan sapi. Waktu itu saya ditempatkan sebagai bagian ekonomi pesantren.

Tapi lagi getol jualan, saya ditugaskan ke Tenggarong. Bisnis sapi di Gunung Tembak dilanjutkan teman-teman. Mungkin kalau saya tidak pindah ke Tenggarong, saya sudah jadi juragan sapi.

Di Tenggarong pun saya masih jual sapi, tapi hanya bertahan 2 tahun. Setelah itu, saya lebih fokus dengan santri dan berbagai kegiatan akademik.

Sebagai Ketua YPPH Ummul Qura, Anda mengurus banyak hal, mulai santri sampai soal digitalisasi. Bagaimana menghadapi semua urusan itu?

Secara pribadi bersyukur dari satu periode ke periode berikutnya, dari satu profesi ke profesi berikut, atau dari satu tingkatan institusi ke institusi lainnya. Selain membaca literatur terkait problem solving (penyelesaian masalah), banyak juga berasal dari pengalaman hidup dalam menyelesaikan masalah.

Saya sering pesankan kepada para pengurus, “Harus dilalui hal-hal yang rumit, karena sebagai pemimpin pasti kita akan berhadapan dengan keadaan yang rumit.”

Intinya, kepemimpinan itu seni, maka semua proses hidup itu menjadi sebuah seni, sehingga dapat menjadi alat menyelesaikan problem.

Bisa ceritakan bagaimana orangtua Anda mendidik hingga seperti saat ini?

Alhamdulillah, orangtua saya dididik oleh para ustadz dari Hidayatullah, seperti Ustadz Amin Bahrun, Ustadz Abdul Karim Bonggo, dan lain-lain. Orangtua suka ke masjid, ikut pengajian. Dia aktif memberikan pelayanan kepada para ustadz. Ustadz-ustadz sering tidur di rumah, sehingga saya banyak mendapatkan energi positif dari perbincangan mereka.

Saya tidak diorientasikan ke pendidikan umum, meski orangtua pegawai negeri semestinya cukup untuk membiayai. Tapi kami ke Pesantren Hidayatullah.

Suatu saat orangtua saya menyampaikan, “Nak, kamu tidak sekolah kalau mau sekolah SMP-SMA. Kamu ke Gunung Tembak ya. Kalau tidak, aku tidak punya pilihan ke tempat yang lain.”

Anda sering mengatakan bahwa selain sukses di organisasi, juga harus sukses di keluarga. Bagaimana penjelasannya?

Alhamdulillah, anak-anak semuanya sekolah dan kuliah di Hidayatullah. Yang tertua lulusan dari Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim (STAIL) Hidayatullah Surabaya, sekarang menjadi Sekjen Asosiasi Pengusaha Hidayatullah (APHIDA).

Saya juga mendorong istri pertama saya mengajar di MI Gunung Tembak. Istri kedua sedang kuliah S2 Peternakan di Universitas Islam Kalimantan di Banjarmasin.

Berorganisasi harus fokus agar bisa sukses. Kita sudah menjual diri untuk agama ini. Seperti saya, sudah tidak berpikir apa-apa lagi terkait karir. Kami semua sudah diorientasikan, jadi tidak membangun orientasi sendiri. Semua terbingkai dalam kepemimpinan. Di situlah sukses organisasinya.

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,200PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles