15.1 C
New York
Kamis, April 24, 2025

Buy now

spot_img

Ustadz Dimas Kameswara, Pelita di Pesisir Jakarta

Sepeda motor pemuda itu masih terjebak macet sejak satu jam lalu saat memasuki daerah pesisir Jakarta Utara. Selain dekat Pelabuhan, lokasi itu juga terdapat sejumlah pabrik, sehingga akses jalan ke daerah itu menjadi tempat keluar masuknya mobil-mobil kontainer. Alhasil, terjebak macet sudah menjadi rutinitasnya setiap hari.

Dimas Kameswara namanya, pemuda itu baru saja balik kuliah dari kampusnya. Sebelum adzan Maghrib berkumandang, Dimas harus sudah tiba di Rumah Qur’an Salsabila, Penjaringan, Jakarta Utara. Kesehariannya, selain seorang mahasiswa, anak muda itu juga pengelola sekaligus pengajar di Rumah Qur’an itu.

Di tengah glamornya ibu kota Jakarta, Dimas lebih memilih jalan berbeda dengan Generasi Z lainnya. Meniti jalan dakwah adalah pilihannya. Ia memilih mengajar mengaji anak-anak dan remaja di tanah kelahirannya.

Dimas adalah anak asli Penjaringan, besar dan lahir di sana. Rumah Qur’an Salsabila sudah ada sejak tahun 1999. Dulu namanya Rumah Dakwah Hidayatullah.

Dari tempat inilah Dimas mengaji dan belajar banyak tentang Islam. Sedikit banyak, ia tahu betul perjalanan Rumah Qur’an Salsabila itu. Bisa dibilang ia adalah kader asli, dari menjadi santri, kini menjadi pengelola dan pengajar.

Pendekatan yang Cukup Panjang

“Kehadiran Rumah Qur’an ini seakan menjadi pelita bagi masyarakat di pesisir Jakarta yang lingkungannya cukup keras dan padat. Memang di awal tidak semudah membolak-balikkan telapak tangan. Cukup sulit untuk membangun kepercayaan masyarakat di sini,” kisah pria yang menjadi saksi dan pelaku sejarah Rumah Qur’an Salsabila itu.

Ia mengatakan, berbagai pendekatan dilakukan agar bisa merebut kepercayaan masyarakat setempat. Awalnya mendekati para orangtuanya dulu secara personal, mengajak mereka ikut pengajian dan bisa mengenal Alif Ba TA.

“Dulu para senior kami mendekati orangtua kami, dikasih pemahaman dan diajarkan mengaji, sampai mereka mendapatkan kepercayaan untuk mengizinkan kami mengaji di tempat ini,” ungkapnya kepada Suara Hidayatullah beberapa waktu lalu.

Berjalan beberapa waktu, ternyata kehadiran Rumah Qur’an Salsabila itu mendapatkan sejumlah penolakan dari beberapa warga. Sebagian mereka merasa terganggu karena suara berisik anak-anak mengaji.

“Ujian sesungguhnya di sini. Tapi, lama-kelamaan insya Allah mereka terima, karena di sini juga kita memberikan terbaik juga buat masyarakat. Jadi kalau ada bantuan sosial, seperti pembagian sembako, daging qurban, dan lain sebagainya, kita distribusikan ke masyarakat dulu, agar masyarakat itu senang dengan kita. Kalau sudah senang, mereka percaya sama kita,” ujar mahasiswa akhir tersebut.

Ia mengatakan, dulu jika ada sumbangan dari donatur, selalu mendahulukan masyarakat, baru setelah itu kepada para santri. Karena dulu, jika mendahulukan santri, masyarakat tidak terima. Mereka, tambah Dimas, ingin mengambil jatahnya lebih dulu.

Lingkungan di tempat itu, kata Dimas, masih cukup keras premanismenya.

“Namun kalau kita sudah mengambil hati, mereka semakin pengertian. Sekarang masyarakat sudah pada mengerti tentang kondisi kami. Kalau ada sumbangan apa pun itu mereka tenang-tenang saja, bahkan membantu dan mendukung jika kami membutuhkan sesuatu,” jelasnya.

Hadirkan Suasana Pesantren

Dimas dan teman-teman menginginkan anak-anak dan remaja di pesisir Jakarta juga bisa merasakan suasana pesantren. Rumah Qur’an Salsabila ini hadir sebagai jawaban untuk mereka yang ingin belajar di pesantren tapi terkendala biaya dan kondisi keluarga yang tidak bisa ditinggal jauh.

“Beberapa pengajar kami di sini lulusan dari beberapa pesantren, sehingga metode pengajaran yang kami sampaikan kepada para santri juga ala-ala pesantren. Yang membedakan dengan pesantren, mereka tidak berasrama,” lanjut Dimas.

Pelajaran yang diajarkan di antaranya ada Tauhid, Fiqih, Hadits, dan sebagainya. Untuk saat ini, mereka fokus ke tahfiz dan bahasa Arab.

“Jadi kita ada dua kelas, untuk kelas anak-anak setelah shalat Ashar. Mereka diajari mengaji yang benar, target hafalan juz 30, menghafal doa-doa dan Hadits pilihan. Sementara yang remaja, rata-rata setingkat SMP dan SMA mereka belajar ba’da shalat Maghrib, dari menghafal al-Qur’an juz 30, 1, 2, dan 3. Mereka juga belajar bahasa Arab, sebelum pulang mereka wajib menyetorkan tiga mufrodat,” jelasnya.

Selain itu, ada juga pengajian rutin majelis taklim khusus orangtua mereka, juga sekaligus menjalin silaturrahim antar pengurus dan para orangtua.

Ia bersyukur, sebagai santri awal yang kini mengelola dan mengajar di Rumah Qur’an itu, bisa menyaksikan banyak adik-adiknya satu daerah bisa lancar mengaji dan mengenal Islam lebih baik. Bahkan, sudah banyak yang bisa menghafal beberapa juz al-Qur’an.

Perjuangan Dimas dan kawan-kawan melanjutkan dakwah untuk anak-anak pesisir masih membutuhkan waktu dan tenaga yang berkelanjutan. Ke depan mereka berencana merenovasi bangunan tua Rumah-Qur’an Salsabila menjadi lebih layak lagi.

“Untuk saat ini murid kami lebih dari 50 orang. Untuk kegiatan belajar dan mengajarnya kami fokuskan di lantai bawah, karena memang lantai di atas yang hanya terbuat dari papan dan kayu sudah sangat keropos. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, kami tidak memakai lantai atas,” paparnya.

Penulis: Sirajuddin Muslim/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles