Awal bulan Oktober 2021 lalu, mantan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Ustadz Ahmad Sobri Lubis, bebas dari Rutan Bareskrim Mabes Polri. Selama 8 bulan, ia menempati salah satu kamar tahanan di bawah tanah.
“Jangankan cahaya matahari, suara hujan pun tak pernah terdengar,” akunya.
Ustadz Sobri ditahan akibat kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Barat, beberapa waktu silam. Ia menempati blok narkoba bersama Habib Rizieq Shihab (HRS) dan menantunya, Habib Hanif Alatas. Sementara tokoh FPI lainnya, yaitu Habib Idrus al-Habsyi, Habib Ali bin Alwi Alattas, Ustadz Haris Ubaidillah, dan Ustadz Maman Suryadi berada di blok kriminal umum.
Bebas dari tahanan, Sobri mengaku senang. “Melihat sinar matahari dan hujan lebat saat kembali ke rumah, senangnya bukan main,” ujarnya saat ditemui Suara Hidayatullah satu hari setelah bebas (7/10).
Ia langsung menuju kediamannya di Pondok Pesantren an-Nur, Ciseeng, Bogor (Jabar). Kemudian berkumpul dengan keluarga besar di rumah orangtuanya. “Juga menemui anak yang sedang belajar di pondok pesantren, menguatkan kembali motivasinya,” ujar ayah enam anak ini.
Namun di balik rasa bahagia itu, ia juga merasa sedih karena harus berpisah dengan HRS. Katanya, andaikan masa tahanannya bisa digantikan, biarlah dirinya yang terus ditahan.
“Yang penting Habib Rizieq bisa bebas. Ilmu dan perjuangan beliau lebih utama daripada saya,” ujar Sobri yang sadar bahwa perkataan itu tak akan mengubah sedikit pun keputusan hukum.
Ketika berada di dalam tahanan, dakwah jalan terus. Tiap ba’da Maghrib, misalnya, Sobri rutin mengajar Hadits tentang akhlaq. Lanjut setelah Isya’ mengajar baca al-Qur’an. Bahkan ia membuka kelas Iqra’.
Ia juga mengaku banyak belajar. “Misalnya ketika Habib Rizieq mengajar, saya ikut mendengarkan. Begitu juga ketika Habib Hanif sedang mengajar.”
Suasana terjalin akrab di antara tahanan. “Kalau malam Jum’at setelah tadarusan, kami makan nasi kebuli bareng tahanan lain. Alhamdulillah, selalu ada yang membawakan.”
Saking akrabnya, kata Sobri, ada tahanan yang bilang, “Nggak sangka kalau FPI kayak begini orangnya. Ternyata selama ini kita salah menduga. Kirain orangnya garang-garang.”
Bagaimana kisah Sobri selama di Rutan? Bagaimana pula kronologi sampai ia ditahan?
Pertengahan bulan Oktober lalu, pria berdarah Batak dan Mesir ini berkisah kepada wartawan Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, Nisky H. Permana, Azim Arrasyid, dan fotografer, Ismatullah, di sebuah rumah berarsitektur Jawa di daerah Megamendung, Bogor.
“Sekalian doakan ya, insya’ Allah di sini akan dibangun Pesantren an-Nur 2,” pinta pria kelahiran Jakarta, 22 Juli 1975 ini.
Berikut wawancara selengkapnya.
Apa saja kegiatan Anda setelah bebas dari tahanan?
Sementara ini masih menata dulu, melihat pondok, bertemu keluarga, teman-teman dekat. Pengajian di pondok sudah siap dimulai, termasuk pengajian ibu-ibu. Pengajian umum seperti tabligh akbar, insya’ Allah saya sudah siap untuk menghadiri. Hanya saja, kita tetap harus memperhatikan aturan yang sekarang berlaku.
Maksud Anda, apakah berkaitan dengan soal kerumunan?
Betul. Jangan sampai kita masuk di lubang yang sama dan menghindari fitnah berikutnya. Meskipun kita tahu memang soal kerumunan ini sudah terjadi dimana-mana, bahkan kalangan pejabat dan menteri ada yang melakukan, tapi perlakuan hukum terhadap kami berbeda.
Bagaimana ceritanya sampai Anda ditahan karena kerumunan?
Setelah diperiksa terkait kerumunan di Petamburan itu, saya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, karena soal protokol kesehatan tuntutannya tidak lebih dari 1 tahun, maka tidak ditahan. Ternyata tetap harus masuk proses pengadilan dulu. Saat akan menandatangani proses pemberkasan P21 di Mabes Polri, ternyata kejaksaan menambahkan pasal yang menjerat saya. Sehingga, pada hari itu juga saya ditahan.
Tambahan pasal apa itu?
Kami dianggap melakukan penghasutan dan melawan pemerintah. Padahal, saat acara di Petamburan itu kami kooperatif dan bekerja sama dengan Satgas Covid. Makanya, saat persidangan, Satgas Covid menyatakan bahwa FPI tidak melawan aturan pemerintah. Semua tuduhan terhadap kami mentah di pengadilan. Jadi, kesannya, yang penting kami ditangkap terlebih dulu, urusan lain belakangan.
Bukankah FPI ketika itu sudah membayar denda atas pelanggaran kerumunan?
Benar. Kami akui memang itu kesalahan, makanya kami membayar denda kepada Pemda DKI Jakarta. Tapi kan bukan berarti itu sebagai tindak kejahatan.
Apa yang Anda rasakan ketika akhirnya ditahan hari itu juga?
Jujur saja ada rasa kaget, karena memang tidak ada persiapan. Tidak menyangka sejauh itu. Kalau kasus sebelumnya, saya biasanya sudah ada persiapan jika tak pulang lagi. Misalnya, kaos sudah rangkap dua, bawa surban, imamah, jadi bisa dipakai untuk selimut. Bahkan, termasuk menyampaikan amanat kepada keluarga.
Yang ini betul-betul tidak ada persiapan. Bahkan, saya sempat janji dengan istri setelah penandatanganan P21 akan berangkat ke rumah sakit untuk kontrol kandungan istri yang hamil tua saat itu.
Istri merasa syok ya?
Tidak cuma istri, keluarga besar juga kaget semua. Ternyata itulah waktu bagi saya yang sudah sekian lama mempersiapkan mental untuk menghadapi risiko perjuangan ini.
Persiapan mental seperti apa?
Terhadap diri dan para kader, salah satu doktrin yang kami tanamkan adalah diasingkan itu rihlah, dipenjara kita beruzlah, dan dibunuh itu syahadah.
Apakah risiko ini juga Anda tanamkan kepada istri dan anak-anak?
Iya, kalau keluarga sudah paham tentang risiko ini. Alhamdulillah, diperiksa kepolisian sudah sering, baik sebagai saksi atau tersangka. Namun, tidak sampai menjadi tahanan.
Kabarnya, Anda satu kamar dengan HRS?
Awalnya, semua disatukan dalam kamar tahanan Habib Rizieq. Namun karena di blok narkoba terlalu penuh, esoknya kami dipisah. Saya dan Habib Hanif tetap bersama Habib Rizieq, sementara Habib Idrus al-Habsyi, Habib Ali bin Alwi Alatas, Ustadz Haris Ubaidillah, dan Ustadz Maman Suryadi dipindah ke blok kriminal umum. Di sana banyak tahanan politik.
Saat bersama HRS, apa saja yang kerap dibincangkan?
Waktu pertama kami masuk, kamar itu masih ada CCTV dari dua arah. Ada perekam suaranya juga. Perbincangan hanya biasa-biasa saja. Kami kemudian minta penegakan HAM dijalankan, ini kan privasi orang. Akhirnya CCTV dicabut.
Kami banyak berbincang soal kondisi umat dan langkah-langkah ke depan menghadapi situasi terkini. Namun, lebih banyak soal penyelesaian kasus hukum kami.
Selama berada di tahanan, kegiatan apa yang berkesan?
Hari pertama masuk Rutan, saya langsung ditugasi oleh Habib Rizieq mengajar. Beliau sudah mendapat izin untuk mengajar di masjid. Habib juga meminta agar saya dan Habib Hanif diperbolehkan mengajar. Sejak itu, saya kebagian mengajar Hadits tentang akhlaq sehabis Maghrib sampai Isya’. Setelah Isya’, saya mengajar membaca al-Qur’an.
Kadang-kadang ba’da Ashar kami buka kelas Iqra’. Saya cari penghuni yang sudah bisa membaca al-Qur’an untuk membantu buka kelas Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA).
Adakah pengalaman yang tak terlupakan?
Ada seorang bapak dan anaknya yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Keduanya tahanan narkoba. Si bapak belajar shalat dan rajin ikut pengajian. Suatu hari dia sakit jantung dan dirawat di rumah sakit Polri. Setelah sehat, ia kembali ke Rutan. Belakangan dia merasakan sesak lagi. Akhirnya bapak itu meninggal. Insya’ Allah, husnul khatimah.
Yang belajar Islam juga ada dari agama lain. Alhamdulillah, dakwah tidak berhenti meski dalam tahanan.
Bagaimana respons para penghuni Rutan dalam mengikuti kegiatan tersebut?
Alhamdulillah, mereka antusias. Ada sekitar 60 orang yang rutin mengikuti kegiatan. TPA yang kami buat, sudah ada alumninya. Mereka yang sekarang mengajarkan kepada (tahanan) yang baru dan belum pernah belajar al-Qur’an.
Namun di antara itu semua, saya merasa bahagia bisa membersamai Habib Rizieq di dalam Rutan.
Kok bisa disebut bahagia?
Saat saya dan yang lain masih dalam pemeriksaan kasus kerumunan Petamburan, Habib Rizieq sudah ditahan. Setiap habis shalat, saya selalu berdoa, “Izinkan hamba untuk bisa menemani Habib Rizieq.” Ternyata, akhirnya kami ditahan. Dalam hati saya bilang, “Jangan-jangan nih doa diijabah.”
Begitu masuk satu kamar di Rutan, kami peluk-pelukan gembira bukan main. Pertama, ada rasa kangen. Kedua, memang saat itu Habib sedang sakit.
Apa yang sering disampaikan HRS kepada Anda dan yang lain?
Habib itu mentalnya sangat kuat, maklum beliau sudah tiga kali dipenjara. Mengerti betul seluk-beluknya. Katanya, “Ente tidak boleh sakit. Kalau di penjara ini repot kalau sakit. Dokternya jarang ada dan obat juga susah.”
Tapi, di kamar Habib itu segala macam vitamin ada. Dari mulai madu, habbatussauda, dan segala macam.
Kabarnya Anda sempat terinfeksi Covid-19 ya?
Iya, saya dan Habib Hanif positif terinfeksi Covid-19. Habib Rizieq diperiksa negatif. Saya sempat akan diisolasi bareng sama penghuni lainnya, tapi Habib Rizieq bilang, “Saya yang akan rawat mereka sampai sembuh.” Alhamdulillah, tiga hari saya sudah merasa pulih.
Bagaimana perlakuan pihak Rutan kepada Anda dan kawan-kawan?
Alhamdulillah, kepada kami sangat baik. Kami sangat diperhatikan keperluannya, karena dia tahu ini bukan tahanan kriminal. Narkoba bukan, korupsi nggak. Kami ustadz-ustadz dipenjara begini, bagaimana ya? (Tertawa)
Bagaimana situasi perpisahan saat Anda bebas?
Habis Shubuh, kami perpisahan dengan penghuni Rutan. Masya’ Allah, kami dilepas dengan shalawat badar dan saling berpelukan. Suasananya sudah seperti pesantren.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2021.