25.7 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Toxic Parenting

Seorang pesohor menjadi bahan perbincangan di media sosial. Ia mengaku mimpi bertemu Tuhan dalam nuansa hitam duduk di atas awan buram. Sebelum mimpi ia mendapat beberapa tanda seperti suara petir dan merasa ibunya akan menancapkan benda tajam padanya. Menurutnya, Tuhan berkata bahwa lebih dosa orangtua yang belum siap punya anak dan kabur dari konflik keluarga.

Sejumlah warganet yang berkomentar menyinggung gangguan mental yang diderita sang pesohor. Sebagian berempati dan mendoakannya karena memahami latar belakang perempuan tersebut.

Ia beberapa kali mengatakan,  dirinya tidak diinginkan, keluarga broken, merasa dieksploitasi, dan lain sebagainya. Berbagai pengalaman buruk di masa kecil itulah yang konon memicu penyakit mentalnya.

Apa yang terjadi pada kisah di atas adalah tentang toxic parents. Istilah  yang tidak hanya disematkan pada orangtua yang memiliki perilaku kasar secara fisik dan verbal. Namun juga terjadi pada orangtua yang tampak normal, tidak menyakiti secara fisik, dan menginginkan yang terbaik untuk anak.

Karena, terdapat sikap dan perilaku orangtua yang secara diam-diam menjadi “racun” pada mental. Sedangkan toxic parenting adalah pengasuhan mengedepankan keinginan pribadi, sangat mengatur anak, tidak menghargai perasaan dan pendapat anak.

Dalam kisah lain juga cukup viral. Seorang remaja pria yang mendapat beasiswa penuh di perguruan tinggi ternama, mengaku lahir dari ibu tuna susila. Bahkan, ia pun memiliki lima ayah tiri dan ayah kandung penyuka sesama jenis.

Dalam videonya ia menceritakan bagaimana awalnya berontak dan marah pada nasibnya. Sebab, tinggal di tempat prostitusi dan sering diejek temannya. Kemudian ia memilih berdamai menerima keadaan. Ia melihat sisi baik sang ibu, yang bekerja keras berjuang untuk menghidupi keluarganya.

Ia perlahan mengajak ibunya ke jalan lurus. Ia sering ke masjid, mengaji keras-keras saat di rumah, dan memasang ayat kursi di dinding rumahnya. Atas izin Allah sang ibu akhirnya meninggalkan profesinya itu.

Kisah kedua tersebut juga tentang toxic parents. Namun pada kisah kedua, si anak menyadari bahwa tak ada  gunanya untuk saling menyalahkan siapa pun termasuk keadaan. “Yang broken adalah masa lalu, Kita bisa membangun masa depan. Lakukan dan fokus,” katanya.

Dalam videonya, ia membagikan pesan, “Kita bisa memilih baju sepatu yang disuka, namun tak bisa memilih takdir yang disuka. Jalani saja, pilih yang bisa dipilih. Yang gak bisa dipilih, jalani saja.”

Anak tidak bisa memilih orangtua seperti apa, begitu juga orangtua tidak bisa memilih anak yang diinginkan. Akan tetapi, kita bisa memilih melakukan yang terbaik untuk dunia dan akhirat. “…dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (Al-Furqan [52]:2).

Penulis: Ida S Widayanti (Pegiat parenting dan praktisi pendidikan)

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles