Dakwah bagi seorang Muslim bukan jadi tawaran lagi. Ini adalah jalan hidup. Demikian yang tercantum dalam panduan orang beriman, al-Qur’an.
Sayangnya, meski disebut sebagai guidance (panduan), tak sedikit Muslim yang belum peduli dengan tuntunan tersebut. Padahal ayat-ayat al-Qur’an merupakan arahan langsung dari Allah SWT bagaimana seharusnya menjalani dakwah ini.
Harus ada perhatian ulang lebih serius tentang hal ini. Perlu lebih didalami dan diselami agar makna-makna konkret bisa tersingkap dan lebih realistis diaplikasikan.
Tidak mungkin Allah SWT tidak membekali metode atau sistem dakwah yang andal, terjamin, dan efektif. Sebab Allah yang paling tahu persis jiwa dan mental manusia, baik yang sudah mendapat petunjuk maupun yang belum mendapatkan hidayah sama sekali. Metode ini tidak mungkin direka-reka, dikarang-karang, atau sekadar spekulasi semata.
Tentu ada cara yang tepat dan jitu, yang kalau dilaksanakan tidak ada ruginya dan pasti mendatangkan keuntungan. Hal ini ditandai dengan adanya kepuasan bagaimanapun bentuk kejadian dan risikonya. Bahkan rasanya seolah ada bayangan Surga yang melintas dan menyentuh perasaan. Ada sesuatu yang menggores dalam jiwa dan membesarkan hati untuk bersegera menjemput kemenangan.
Namun terkadang umat Islam terbentur situasi dan kondisi serta figur yang mungkin sedang jadi panutan. Tanpa disadari hal ini bisa mempengaruhi strategi dakwah, yang bisa jadi kurang sesuai dengan tutunan Allah dan Rasul-Nya.
Konsep Hidup
Merujuk kepada dakwah Rasulullah SAW, sesungguhnya strategi dan taktik perjuangan begitu praktis dan sederhana. Sayangnya, terkadang otak manusia yang malah lebih ribet. Cenderung menganggap apa-apa yang praktis dan sederhana sebagai sesuatu yang tidak menarik, kolot, dan kurang bergengsi.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat [41]: 33).
Jika ayat ini direnungi, dapat dikatakan begitu sederhana dakwah ini. Meskipun diakui pula tidak sesederhana itu praktiknya nanti. Tapi ayat ini sudah meletakkan satu strategi jitu dan sangat mendasar dalam dakwah, bahwa adakah lagi kata-kata dan konsep hidup yang lebih baik daripada orang yang menyeru kepada Allah SWT?
Terasa ada penekanan makna yang ditancapkan dalam jiwa setiap Muslim. Utamanya, pengakuan langsung Allah SWT bahwa tidak ada pekerjaan yang paling baik selain menyeru umat manusia kembali kepada-Nya.
Jika ini diyakini, niscaya memotivasi mental tersendiri bagi setiap juru dakwah. Ia nyaris tidak lagi dipengaruhi oleh bagaimana reaksi umat, apakah umat ketawa, apakah merajuk, memberi respons yang menggembirakan, atau sebaliknya, menjengkelkan.
Seorang da’i harus canangkan dan kencangkan dalam diri bahwa dia sudah melakukan pekerjaan yang paling baik di sisi Allah SWT. Tidak salah langkah. Ada “amplop” atau tidak ada, tidak jadi masalah.
Baginya, mampu menunaikan pekerjaan yang terbaik, itu sudah luar biasa kemuliaannya. Dan jika Allah telah mengakui dan memberi predikat pekerjaan terbaik, Dia tidak mungkin diam begitu saja. Mustahil pengakuan itu berhenti begitu saja tanpa ada follow up dari-Nya.
Inilah yang harus diyakini dalam berdakwah. Kepuasan yang dirasakan tak mesti menunggu tepuk tangan yang riuh. Sebagaimana nikmatnya dakwah itu tak harus melulu dengan sambutan yang meriah.
Totalitas
Jalan dakwah adalah pekerjaan paling tepat yang terbaik di sisi Allah SWT. Siapapun yang menghabiskan waktu mengurus agama ini, sebenarnya tinggal menunggu hasil yang “dibayarkan” oleh Allah. Tak ada waktu dan tenaga yang sia-sia jika itu diniatkan untuk dakwah.
Terasa ada kepuasan dan nikmatnya melakoni aktivitas ini. Selanjutnya, pelan-pelan senantiasa bersyukur bahwa hidup disibukkan dengan “wa man ahsanu qaulan”, sesuatu yang paling baik dalam kehidupan manusia. Bisa juga terselip rasa bangga dan terhormat, sebab dakwah adalah kemuliaan, bukan sampingan, apalagi jadi merasa rendah diri.
Tentu realisasinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Apakah cukup “da’a ilallah” dengan menyorakkan slogan “mari kita kembali kepada Allah” saja? Tidak demikian tentunya.
Mengajak orang kepada Allah SWT dituntut dengan berbagai persyaratan. Ia harus memahami betul siapa itu Allah, sehingga ketika mengajak orang lain kembali kepada Allah, benar-benar ajakan itu lahir sepenuh hatinya. Bukan karena baru saja melahap bacaan tentang fiqh dakwah, atau mendengar informasi tentang dakwah, lalu ikut berdakwah.
Seorang da’i harus terlebih dulu mengenal dan menghayati keberadaan Allah SWT. Setidaknya ia sendiri pernah merasakan secara langsung “sentuhan” Allah yang paling nyata atas dirinya. Kalau perlu ada testimoni doa yang dianggap paling krusial. Misalnya ada kejadian yang mustahil menurut akal dan pikiran manusia, tapi terbukti nyata sebagai bentuk pertolongan Allah di jalan dakwah.
Jika itu benar dirasakan dan diyakininya, maka ajakan kembali kepada Allah SWT memang didukung oleh seluruh instrumen dalam dirinya. Dakwah bukan lagi sekadar ucapan lisan belaka, tapi sorotan matanya turut mendukung, suaranya, mimik wajahnya, hingga seluruh sikap hidupnya menjadi saksi dan bukti yang turut berbicara.
Apa-apa yang disampaikan kepada orang lain adalah hasil dari apa yang dirasakannya dalam ber-Islam dan ber-Qur’an. Ia memang yakin bahwa peran Allah SWT betul-betul ada dalam kehidupan sehari-hari. Semua potongan episode hidupnya ialah campur tangan dari Allah.
Dengan keyakinan semacam itu, maka apa-apa yang diniatkan untuk kebaikan bisa menjadi ibadah. Semua pekerjaannya menjadi positif dan menggairahkan. Ada kesejukan yang terasa dalam ibadah dan beramal shalih. Itulah yang dinamakan liqa’a Rabbihi, perjumpaan yang mengasyikkan dengan Allah SWT.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2022