Usaha bertahun-tahun tetapi tidak kelihatan hasilnya. Uang yang diperoleh pun seolah lewat begitu saja. Kenapa?
Pria paruh baya itu baru saja keluar dari sebuah gedung, ketika adzan Dzuhur berkumandang. Gedung dua tingkat itu adalah kantor Baitul Maal Hidayatullah (BMH) yang ada di Jalan Veteran Barat, Sidomakmur, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Orang akan mengira, Jumadi, nama lelaki itu, sedang membayar zakat karena ia datang dengan mengendarai mobil mewah.
Tapi ternyata, ia baru saja ikut rapat bersama pengurus BMH Sukoharjo untuk membahas program pembangunan sekolah tahfidz. Ia diikutsertakan dalam rapat, karena merupakan salah satu penasehat program itu. Ia mengaku ingin selalu terlibat dalam setiap program lembaga amil zakat nasional tersebut.
Jumadi adalah seorang pengusaha roti sukses. Selain menjadi muzakki di BMH, ia juga aktif sebagai amilnya. Ia kerap menawarkan program-program BMH ke kolege-kolega bisnisnya. Tak hanya itu, gedung yang dipakai BMH Sukoharjo itu juga termasuk wakaf darinya.
Meninggalkan Riba
Jumadi banyak menghadapi lika-liku perjuangan ketika merintis usahanya. Di antaranya, setiap membuat adonan roti harus membayar, karena ia memakai mesin orang lain, pemanggang roti yang bekerja kurang maksimal, sehingga ia harus membeli oven seharga 10 juta rupiah demi untuk memperoleh hasil yang memuaskan, dan sebagainya.
Pelan tetapi pasti, usahanya kian berkembang. Bahkan, ia bisa membeli tanah dan mobil. Kendati uangnya bukan dari hasil usaha seluruhnya, melainkan juga pinjam ke bank.
“Kami tidak menggunakan uang pinjaman dari bank untuk membeli bahan roti atau peralatan, melainkan untuk membeli tanah dan mobil sebagai aset kami nantinya. Saat itu, kami juga belum tahu kalau itu termasuk riba,” ungkapnya.
Selain meminjam bank, ia juga bergabung dengan lembaga asuransi kesehatan dengan saldo simpanan akhir mencapai 87 juta rupiah.
“Namun kami bersyukur karena Allah tidak langsung mengazab kami waktu itu. Tapi malah Allah SWT memberi saya hidayah dan kesempatan untuk memohon ampunan. Sekaligus memperbaiki diri dengan berhijrah ke jalan yang benar,” akunya.
Tahun 2017, menjadi titik awal Jumadi berhijrah. Ia bertekad meninggalkan riba. Ia tidak lagi meminjam uang dari bank dan keluar dari asuransi kesehatan. Meski tidak mudah untuk melepaskan itu semua, karena ia harus menghadapi berbagai godaan dan cobaan.
“Karena rayuan syaitan saya sempat tergiur dan mundur dari pengajuan untuk keluar dari asuransi. Semakin bingung dengan keputusan mana yang akan saya ambil,” katanya menghela nafas.
Di tengah kebingungan, ia dipertemukan dengan seorang pegiat anti riba yang juga seorang pengusaha kaya dari Yogyakarta, adalah Saptuari Sugiarto. Ia pun menjadikan Saptuari sebagai inspirasi dalam berhijrah, bahkan mentor berbagi.
Suatu kesempatan, ia ceritakan apa yang dialaminya kepada Saptuari. “Setiap hasil dari apa yang kami usahakaan seperti tidak terasa keberadaanya. Semua uang habis begitu saja. Uang yang dihasilkan seperti tidak bisa terkumpul. Kami berpikir ke mana uang-uang yang kami hasilkan? Hanya seperti lewat saja dan keuntungannya tidak kelihatan,” bebernya heran.
Dari situ, tekad Jumadi untuk berhijrah semakin kuat. Ia jadikan pengetahuan yang diperoleh dari menghadiri kajian-kajian sebagai bekal serta motivasinya dalam berhijrah.
“Mulai sejak itu saya resmi keluar dari asuransi. Saya hanya mendapatkan uang sekitar 30 juta dari asuransi. Jika dihitung-hitung, ruginya sekitar 50 juta. Saya sampaikan kepada istri, nggak masalah hari ini kita rugi 50 juta, daripada kelak kita mati menanggung dosa riba yang lebih besar,” kenangnya.
Mengerjakan Amalan Sunnah
Setelah urusan asuransi selesai, lalu tinggal melunasi hutang bank sebesar 250 juta. Untuk mendapatkan tambahan suntikan motivasi, ia pun membeli buku karya Saptuari yang berjudul “Kembali ke Titik Nol”.
Tak sekadar membaca buku itu, ia juga berusaha mengamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menjaga sholat lima waktu secara berjamaah di masjid, sekalipun dalam keadaan sangat sibuk. Karena, sebelum berhijrah ia kadang hanya sekali sholat berjamaah di masjid. Lalu, ia juga memperbanyak infaq. Tak main-main, kalau dahulu hanya ratusan ribu, kini bisa sampai jutaan.
“Sejak itu, kami berusaha mengerjakan amalan-amalan sunnah seperti puasa Senin-Kamis dan Sholat Tahajud. Bahkan, agar lebih khusyu’ serta fokus dalam beribadah, kami mandi lebih dahulu. Setiap harinya, kami bangun sekitar jam 3 pagi. Itu kami kerjakan hingga hari ini. Dan dengan tekad yang kuat agar kami mampu melunasi hutang dalam waktu tidak lebih dari setahun,” kenangnya.
Dengan izin Allah SWT dan berkah ikhtiranya, Jumadi sanggup melunasi hutang hanya dalam waktu 4 bulan. Bahkan, tanpa menjual sedikitpun aset serta harta yang dimiliki.
Masalah pun tak selesai sampai situ. Rupanya hutang Jumadi di bank berbunga hingga 300 juta lebih. Mau tidak mau ia harus membayarnya. Beruntung pihak bank bersedia memberi kesempatan untuk menyelesaikannya dalam tenggat waktu tertentu.
Kendati demikian, Jumadi sangat bersyukur, setelah berhijrah serta lepas dari semua hal yang berhubungan dengan ribawi, omset usaha roti Permata Bakery yang dikelolanya terus mengalami peningkatan.
“Dan daerah pendistribusian roti kami, juga semakin meluas. Sampai ke daerah Purwodadi, Cepu, Muntilan, Wonogiri, Ponorogo, Pacitan, hingga Kota Batu,” ujarnya.
Per hari, Jumadi bisa memproduksi sebanyak 12.000 roti, di luar dari pesanan. Sedangkan pesanan bisa mencapai 3.000 sampai 6.000 roti. Ada 12 macam roti yang diproduksi oleh sekitar 16 karyawannya. Sebagian hasil keuntungan usaha ia infaqkan secara rutin ke sejumlah lembaga zakat.
*Ismail, Mahasiswa STAIL Surabaya/Suara Hidayatulah
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020