Desember 2021 lalu, terjadi dua pertemuan tingkat tinggi yang menarik perhatian banyak pengamat hubungan internasional di Timur Tengah. Kedua pertemuan ini, serta kontradiksi yang dihadirkan keduanya, disebut-sebut akan menjadi momen historis yang menentukan wajah Timur Tengah kedepan.
Pertama, adalah pertemuan antara Penasihat Keamanan Uni Emirat Arab, Syaikh Tahnoon bin Zayed al-Nahyan dengan Sekretaris Dewan Keamanan Agung Iran, Ali Shamkhani.
Pertemuan yang terjadi pada 6 Desember 2021 di Teheran itu memberikan sinyal perubahan politik luar negeri Uni Emirat Arab, karena itu merupakan kali pertama seorang pejabat tinggi negara Teluk tersebut melakukan kunjungan resmi ke Iran setelah lebih dari satu dekade.
Pertemuan kedua terjadi tidak lama setelahnya. Pada 13 Desember 2021, Syaikh Muhammad bin Zayed al-Nahyan (MBZ) menerima kunjungan resmi dari Naftali Bennet, Perdana Menteri negara zionis Israel. Ini merupakan pertemuan resmi pertama antara pemimpin kedua negara itu, mengikuti normalisasi hubungan di antara keduanya dalam Kesepakatan Ibrahimiyah (Abrahamic Accord)—disponsori oleh Amerika Serikat pada era Donald Trump.
Dalam pertemuan tersebut, MBZ menyatakan harapan bahwa pertemuan mereka bisa menghadirkan “stabilitas di Timur Tengah,”. Sementara laman resmi Perdana Menteri negara Israel merayakannya sebagai “pertemuan bersejarah” (Reuters, 13/12/2021). Pada saat bersamaan, pertemuan tersebut dikecam oleh berbagai kelompok di Palestina, yang merasa telah dikhianati.
Kedua pertemuan yang hanya berjarak beberapa hari itu memunculkan berbagai pertanyaan tentang masa depan Timur Tengah. Mengingat bahwa pada saat yang bersamaan, hubungan antara dua negara yang ditemui para pejabat UEA itu, Iran dan Israel, justru semakin memanas.
Kementerian Luar Negeri Iran mengutuk pertemuan itu sebagai sesuatu yang akan merusak keamanan Kawasan dan berlawanan dengan kepentingan negara Islam, rakyat di Timur Tengah, dan Dunia Arab.
Pada saat yang bersamaan, berbagai sumber di Israel menyebutkan bahwa lewat pertemuan itu, Bennet memberikan informasi rinci mengenai informasi intelijen Israel tentang milisi-milisi serta drone yang didukung Iran di Kawasan.
PM Israel itu, juga disebut-sebut menekankan bahaya bagi UEA jika berkompromi sama Iran. Berbagai suara dari Israel memperingatkan kalau berkompromi dengan Iran justru akan membuat Iran lebih agresif. Mereka juga mengkhawatirkan upaya Iran yang membuat Abraham Accords tidak berjalan. (Harkov, The Jerusalem Post, 9/12/2021).
Bagaimana kita memahami dua pertemuan yang sekilas terlihat bertentangan itu? Mengapa UEA justru mengirimkan sinyal buat memperkuat hubungan dengan dua kekuatan Kawasan yang bermusuhan?
Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat konteks hubungan internasional di Kawasan, terutama pasca kekalahan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS.
Presiden AS yang menggantikan Donald Trump, Joe Biden, melakukan beberapa penyesuaian dalam kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah. Salah satunya yang paling penting adalah upaya Washington untuk kembali menghidupkan perjanjian nuklir dengan Iran guna mencegah negara itu mengembangkan senjata nuklir.
Pergeseran kebijakan AS ini dilihat oleh sebagian penguasa Timur Tengah sebagai pengurangan kemauan AS untuk jadi “penyedia keamanan” (security provider) di Timur Tengah. Meski Washington menyatakan, Timur Tengah tetap merupakan Kawasan penting yang mendapat perhatian AS, berbagai pihak melihat bahwa AS semakin enggan menggunakan kekuatan militer secara langsung untuk terlibat.
Dalam konteks inilah, para pemimpin negara-negara Teluk yang selama ini sering mengandalkan AS untuk melindunginya dari berbagai ancaman, termasuk Iran, harus berpikir ulang. Karena tidak ada negara yang mempunyai kekuatan militer sekuat sang Adidaya, negara-negara Teluk banyak yang menggeser kebijakannya ke arah “hedging”.
Hedging, di dalam ilmu hubungan internasional, adalah tindakan negara “untuk mengurangi risiko dengan melakukan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat menghasilkan dampak yang saling menyeimbangkan dalam situasi yang dipenuhi dengan ketidakpastian dan pertaruhan yang tinggi.” (Kuik, 2008).
Dengan konsep hedging ini, kita memahami bahwa yang dilakukan UEA bukanlah sesuatu yang bertentangan, namun memang disengaja untuk “menaruh telur di berbagai keranjang”.
MBZ tak berhenti melihat Iran sebagai ancaman dan Israel sebagai salah satu cara untuk meredam ancaman tersebut, namun ia perlu menghadirkan situasi di mana jika AS atau Israel ternyata tak berhasil digunakan untuk melindungi kepentingan UEA, negara teluk itu tidak rugi-rugi amat karena masih bisa mengelola hubungan dengan Iran.
Hal serupa juga dilakukan oleh Arab Saudi, yang memimpin normalisasi hubungan dengan Qatar. Pada saat yang hampir bersamaan dengan kedua pertemuan yang kita bahas, Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) sedang berkunjung ke Qatar dalam kunjungan pertamanya ke negara itu setelah blokade tahun 2017 (Qarjouli, Dohanews, 8/12/2021). Erdogan, Presiden Turki, konon juga berada di Qatar saat MBS hadir ke negara kecil namun kaya raya itu.
Dengan demikian, pada dasarnya politik internasional di Kawasan Timur Tengah tak berubah. Ada poros Iran dengan jejaring Syiahnya yang mencoba memperluas pengaruh untuk melindungi rezim yang berkuasa di Teheran dari gangguan AS.
Ada poros Saudi-UEA yang melihat bahwa Iran, kebebasan pers, beserta gerakan-gerakan akar rumput itu merupakan ancaman bagi kekuasaan monarki. Ada poros Turki-Qatar yang mencoba memperluas ruang manuver dan melindungi berbagai kelompok yang dimusuhi oleh blok Saudi-UEA maupun Iran.
Selain itu, Israel juga masih bercokol sama kekuatan militer yang disubsidi habis-habisan oleh AS. AS sendiri memang semakin tak tertarik terlibat langsung terlalu dalam karena pengalaman buruknya di Irak dan Afghanistan.
Tetapi, nilai penting Kawasan dan peningkatan keterlibatan Tiongkok di Kawasan strategis serta kaya energi tersebut, tentu akan membuatnya tetap ingin hadir di sana. Dalam kondisi dipenuhi ketidakpastian ini, kita akan menyaksikan bahwa aktor-aktor politik di Kawasan akan “menaruh telur di banyak keranjang,” seperti yang pernah dilakukan oleh UEA.
Penulis: Shofwan al-Banna Choiruzzad (Dosen Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat)
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2022.