Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag) telah menyertifikasi 27.188 produk dalam program sertifikasi tahap pertama. Hal ini tertuang dalam laporan Kemenag hingga bulan Oktober 2022.
Pada tahap pertama itu, BPJPH memberikan sertifikasi halal terhadap produk pelaku usaha yang memiliki produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Dan tahap berikutnya akan dilanjutkan dengan produk obat-obatan, kosmetik dan barang gunaan.
Hal ini melengkapi data yang dimiliki oleh Sistem Informasi Halal (SiHALAL), di mana selama kurun waktu 2019-2022, tercatat sebanyak 749.971 produk telah tersertifikasi halal. Jumlah ini masih jauh dari target 65,5 juta pelaku usaha yang memiliki kewajiban untuk melakukan sertifikasi halal.
Di saat bersamaan, per Oktober 2022 ini juga, Indonesia sudah memiliki 28 Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang terakreditasi dan siap beroperasi melayani masyarakat dan pelaku usaha dalam mendapatkan sertifikasi halal. LPH sendiri merupakan lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), kewenangan ini dilakukan hanya oleh satu lembaga yaitu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Selain itu, UU JPH ini berdasarkan amanahnya mengatur bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Aturan berkenaan dengan kewajiban memiliki sertifikat halal ini paling lambat harus dipenuhi oleh pelaku usaha pada tahun 2024.
Dengan melihat sisa waktu yang tersedia, keberadaan pelaku usaha yang wajib disertifikasi, dan keberadaan jumlah LPH yang sangat terbatas, hal ini bukan masalah yang sederhana. Diperlukan akselerasi kebijakan strategis dan komprehensif agar keberadaan produk halal dan sertifikasi halal dapat dirasakan masyarakat pada tahun 2024 nanti.
Akselerasi Sebuah Keharusan
Dengan melihat realitas di atas, maka upaya percepatan sebagaimana dimaksud, memang perlu segera dilakukan. Jika tidak, maka waktu kurang dari 2 tahun ini akan menjadi bom waktu.
Oleh karenanya, kami memandang adanya model akselerasi sertifikasi halal yang lebih down to earth, dengan melihat realitas kekinian dan tantangan di depan. Rumusan akselerasi ini diharapkan melengkapi beberapa rekomendasi dan usulan yang sudah ada, termasuk dari DEKS (Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia).
Adapun strategi akselerasi sertifikasi halal yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal. Hal ini selain menyangkut prosedur juga terkait dengan pembiayaan. Kebijakan yang sudah ada perlu ditingkatkan lagi sehingga bagi pelaku usaha akan mendapatkan akses yang mudah, murah, cepat dan penuh dengan kepastian dalam proses dan prosedurnya hingga keluar sertifikasi.
Kedua, mengoptimalkan LPH yang eksisting. Yaitu dengan memberikan target pencapaian yang proporsional dengan jumlah auditor halal serta peralatan pendukung yang dimiliki.
Ketiga, menambah jumlah LPH. Kehadiran LPH baru, dikaitkan dengan cakupan yang lebih terdesentralisasi berdasar wilayah (regional) tertentu, sehingga memiliki keterjangkauan kepada pelaku usaha yang membutuhkan. Di lain pihak juga akan memperkecil rasio antara target pelaku usaha yang dilayani untuk sertifikasi halal dengan keberadaan LPH.
Keeempat, menambah dan meningkatkan jumlah SDM (sumber daya manusia) halal, di antaranya: auditor halal, pendamping proses halal, juru sembelih halal, penyelia halal, dan lain sebagainya. Perlu dilakukan kerja sama dengan perguruan tinggi maupun Lembaga Sertifikasi Profesi.
Kelima, memberikan stimulus kepada pelaku usaha. Bagi pelaku usaha yang dengan kesadarannya sendiri melakukan sertifikasi halal, maupun pelaku usaha yang melakukan self declare, perlu dilakukan stimulus berupa berbagai kemudahan dan dukungan kebijakan yang mendukung kemajuan bisnisnya. Dengan sertifikasi halal, pelaku usaha akan terjadi scale up, serta semakin tumbuh dan berkembang.
Keenam, memanfaatkan teknologi dalam proses sertifikasi. Dalam hal ini, termasuk melakukan halal traceability berbasis blockchain. Untuk itu, dapat bekerja sama dengan berbagai pihak terutama dengan perguruan tinggi ataupun industri nasional yang bergerak di bidang teknologi.
Ketujuh, membangun kerja sama antar lembaga dan stakeholders, sesuai dengan peran dan kompetensinya masing-masing dalam sertifikasi halal. Sehingga terjalin sinergi antar berbagai lembaga untuk membangun ekosistem yang saling mendukung.
Lompatan Kuantum
Sekali lagi, tahun 2024 kurang dari dua tahun lagi. Sehingga diperlukan lompatan kuantum untuk memenuhi target dimaksud. Kendati pun demikian permasalahan sertifikasi halal sesungguhnya bukan hanya masalah berapa banyak pelaku usaha dan produk-produknya mendapatkan sertifikasi halal.
Sebab, halal merupakan gaya hidup (lifestyle) yang ditujukan untuk kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan manusia, sehingga sangat relevan dengan semua pihak baik Muslim dan non-Muslim. Demikian halnya, halal ini mencakup beberapa produk yang sering digunakan dalam keseharian seperti makanan, minuman, obat, kosmetik, produk biologi, dan produk kimia yang dapat memperoleh sertifikasi halal apabila proses produksi telah sesuai tata cara pengolahan produk halal. Dan sertifikasi halal merupakan salah satu tahapan bagi warga negara, untuk mendapatkan kepastian terhadap berbagai produk yang akan dikonsumsi dan digunakan. Wallahu a’lam.*
Penulis: Asih Subagyo (Pembina Lembaga Pemeriksa Halal Hidayatullah)
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022