Renungkanlah untaian kata-kata dalam lagu kebangsaan berikut ini:
(1) “Tanah airku Indonesia. Negeri elok amat kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia. Yang kupuja sepanjang masa. Tanah airku aman dan makmur. Pulau kelapa yang amat subur. Pulau melati pujaan bangsa. Sejak dulu kala …”
(2) Dari yakin kuteguh. Hati ikhlasku penuh. Akan karunia-Mu. Tanah air pusaka. Indonesia merdeka. Syukur aku panjatkan. Ke hadirat-Mu Tuhan.”
Kita cinta tanah air. Kita cinta Nusantara yang indah ini.
Mengapa kita cinta tanah air kita? Apa karena subur dan makmur? Apa karena indah? Bagaimana jika suatu ketika tanah kita tak subur dan tidak makmur lagi? Apa kita tidak cinta lagi?
Haji Agus Salim, salah satu cendekiawan Muslim terbesar Indonesia, pernah menulis artikel “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928). Isinya, mengkritisi cara pandang sekular yang memuja ibu pertiwi secara berlebihan sehingga sampai menjadikannya sebagai “Tuhan”.
Agus Salim menulis, “… demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batas dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat, buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Itulah cinta tanah air yang adil. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Negeri ini bukan ada dengan sendirinya. Kita pun, manusia Indonesia, bukan hasil evolusi dari makhluk bernama hominid (sebangsa kera). Kita ada, karena ada yang meng-ada-kan. Bukan karena kehendak kita sendiri. Allah SWT-lah yang meng-ada-kan, sehingga kita menjadi ada.
Karena itulah bangsa Indonesia sepakat menjadikan Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sila pertama.
Agus Salim, sebagai salah satu perumus Pembukaan UUD 1945 – yang memuat teks Pancasila – menulis tentang maknanya: “… saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu maksudnya aqidah, kepercayaan agama, dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air suatu hak yang diperoleh dari rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa…”
Tentang manusia yang berpura-pura mengakui ber-Ketuhanan Yang Mahaesa tetapi perilakunya justru mengajak manusia membesar-besarkan hawa nafsu, loba, dan tamak terhadap kebendaan, Agus Salim menyeru, “… hendaklah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa hidayah petunjuk dan bimbingan taufik-Nya.”
Manusia yang adil dan beradab itu dapat menempatkan dirinya dengan benar, tahu siapa dirinya, saat berhadapan dengan Tuhannya. Ia meyakini dan merelakan dirinya diatur oleh Allah. Itulah adab kepada Sang Pencipta. Juga tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Itu aqidah. Itu makna Ketuhanan Yang Mahaesa.
Bung Hatta, mencatat: “Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.” (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm 31-33).
Kata Prof Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, “Yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’.” (Hazairin, Demokrasi Pancasila, hlm 31).
LOYALITAS
Dalam ceramahnya di Festival Islam Internasional di Manchester (1975), cendekiawan Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan hakikat loyalitas seorang manusia kepada Tuhannya, yang jika diterjemahkan kira-kira artinya sebagai berikut:
“Negara dan pemerintahan datang silih berganti. Jika loyalitas tertinggi diberikan kepada mereka, maka nilai-nilai pun akan selalu berubah, sebagaimana yang biasa terjadi di Barat. Tidak ada kepastian nilai baik-buruk di sana. Itu berbeda dengan Islam, yang memiliki kepastian nilai baik-buruk karena bersumber pada ajaran wahyu Allah.”
Jadi, loyalitas tertinggi seorang manusia sepatutnya diberikan kepada Tuhan. Dialah yang menciptakan tanah air kita yang indah ini. Namun tanah air kita bukan Tuhan. Karena itu jangan dijadikan Tuhan.
Sebagai manusia cerdas, almarhum BJ Habibie memberikan pelajaran bagaimana mendudukkan cinta tanah air secara adil. Dalam wawancara dengan Majalah Forum Keadilan (20 Januari 1994), dia ditanya: “Anda ini siapa, insinyur, Muslim, atau Indonesia?”
Habibie menjawab: “Kalau saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, Muslim, ataukah Indonesia, saya jawab, ‘Saya Muslim.’ Kenapa? Karena kalau saya mati nanti, saya tidak lagi berwarganegara … Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan warga negara kamu apa. Kamu mempunyai kedudukan apa.
Karena itu saya jawab, “Saya Muslim.” Itu bukan emosional, saya jawab rasional. Kalau kita percaya, pada hari akhir, saya mati tidak akan ditanya paspor. Tapi, kalau saya jawab demikian, jangan lalu ada yang bilang Habibie tidak nasionalis. No …”
Kasman Singodimedjo, pahlawan nasional dan pejuang hebat yang terlibat dalam perumusan Pancasila, mengajak umat Islam Indonesia untuk menerima Pancasila. Tetapi, sepatutnya umat Islam meyakini bahwa Pancasila tidak dapat melebihi Islam.
Tulis Kasman: “Bahwa umat Islam di samping itu masih punya anggapan bahwa Islam itu adalah lebih sempurna dari Pancasila, hal itu tentunya tidak akan, dan tidak seharusnya dianggap salah oleh siapa pun… Umat Islam keliru jika menganggap Pancasila lebih tinggi dari Islam. Sebab, Islam itu didekritkan langsung oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. (QS 3: 19).” (Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, hlm 53-54).
Dengan meletakkan kecintaan dan loyalitas tertinggi kepada Tuhan Yang Mahaesa, seorang Muslim tetap bisa menjadi orang Indonesia dan sekaligus Muslim yang baik. Bahkan, di Indonesia ini, terbuka peluang besar kita menjadi Muslim dan pejuang kebaikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Kuala Lumpur, 16 Februari 2020.
* Adian Husaini (Direktur Attaqwa College Depok)
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020