Apakah Taliban sama dengan ISIS dan al-Qaeda?
Pada tahun 1989, penjajah Uni Soviet mundur dari kawasan pendudukan Afghanistan. Perjuangan kaum Mujahidin melawan komunis akhirnya membuahkan hasilnya.
Rupanya muncul masalah lain. Kekacauan merajalela. Hanya dalam tempo tiga tahun, pemerintahan baru runtuh. Kelompok Mujahidin yang dulunya berjuang bersama mengusir penjajah, malah kemudian saling bertikai.
Di masa itu, generasi muda Afghanistan banyak yang dibesarkan di kamp-kamp pengungsi, utamanya di Pakistan. Mereka belajar di berbagai madrasah berasrama.
Salah satu mantan komandan Mujahidin, Mullah Mohammad Omar, melihat potensi besar generasi muda ini. Dia dan beberapa tokoh kemudian mendirikan Taliban (tahun 1994).
Taliban dalam bahasa Arab dan Pashtun berarti “pelajar”. Jadi, sebagian besar anggota Taliban bukanlah dari kalangan pejuang ketika melawan Uni Soviet. Mereka adalah generasi berikutnya yang lebih banyak menghabiskan waktu menuntut ilmu.
Taliban terus menarik anggota dari kamp-kamp pengungsi dan madrasah selama medio tahun 1990-an. Mullah Omar, dari benteng di Kandahar, perlahan-lahan mengambil alih lebih banyak wilayah di Afghanistan.
Gerakan Alternatif
Salah satu kunci keberhasilan Taliban pada 1990-an, menurut Ali Olomi, sejarawan Timur Tengah dan Islam di Penn State University, mereka menawarkan alternatif. Ketika Afghanistan menjadi zona perang akibat perselisihan antar faksi pejuang, Taliban berusaha menawarkan keamanan. Rakyat yang lelah akibat pertikaian, umumnya menyambut kehadirannya.
Taliban semakin popular. Mereka terbukti berhasil memberantas korupsi, membatasi pelanggaran hukum, dan membuat daerah-daerah di bawah kendali mereka aman untuk perdagangan.
Posisinya semakin kuat karena Taliban selalu melibatkan potensi lokal. Di setiap desa yang dimasuki, Taliban menambah barisan gerakan dengan orang-orang setempat. Gerakan ini akhirnya menjadi jaringan yang terdesentralisasi. Mullah Omar adalah sang pemimpin, tetapi dia juga mempercayakan kepemimpinan wilayah kepada komandan lokal dari faksi lain yang selaras dengan ideologi Taliban.
Pada bulan September 1995, Taliban berhasil merebut Provinsi Herat, kawasan perbatasan dengan Iran. Satu tahun kemudian, mereka merebut Kabul, menggulingkan rezim Burhanuddin Rabbani –salah satu pendiri kelompok Mujahidin yang menentang penjajahan Uni Soviet.
Pada tahun 1998, Taliban menguasai hampir 90% wilayah Afghanistan. Hingga pada Oktober 2001, Taliban diruntuhkan oleh operasi militer Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Beda dengan ISIS dan al-Qaeda
Dalam perbincangan internasional, sempat dihembuskan opini bahwa Taliban itu sama saja dengan kelompok ISIS dan al-Qaeda. Benarkah?
Dalam diskusi online yang digelar oleh Channel Suara Hidayatullah pada 25 Agustus 2021 lalu, peneliti Center for Islam and Global Studies, Pizaro Ghozali, mendeskripsikan setidaknya ada tiga hal yang membuat Taliban beda dengan ISIS dan al-Qaeda.
Pertama, dalam perkembangan dan sejarahnya, Taliban bukanlah kelompok transnasional.
“Mereka bukan kelompok yang memiliki jaringan di banyak negara atau cabang, sebagaimana yang terjadi di kelompok lainnya. Misal al-Qaeda yang memiliki banyak cabang, seperti di Suriah yang kemudian memisahkan diri dan membentuk kelompok-kelompok perlawanan lokal seperti Jabhatun Nusrah dan sebagainya,” ujar Pizaro yang juga jurnalis Anadolu Agency ini.
Kedua, Taliban bukan kelompok yang mudah menyerang sesama Muslim.
“Jika kita lihat saat Taliban menduduki suatu wilayah, tak ada eksekusi seperti yang dilakukan ISIS terhadap orang-orang di luar kelompoknya,” ujarnya.
Ketiga, Taliban tidak melakukan instruksi untuk melakukan aksi-aksi di luar negeri. Beda dengan ISIS yang sering mengklaim aksi bom bunuh diri di berbagai negara.
Sedangkan, Shofwan Al-Banna, Associate Professor Hubungan Internasional Universitas Indonesia mengatakan, Taliban hadir dari gagasan yang berbeda dengan ISIS maupun al-Qaeda.
“Gagasan Islam Taliban kuat dipengaruhi oleh gagasan Islam pedesaan Afghanistan, maka dia tidak membayangkan perlawanan terhadap modernitas itu keluar dari imajinasi kewilayahan,” ujar Shofwan.
“Dia (Taliban) tidak bicara tentang khilafah. Dia bicara tentang imarat. Maka dari itu namanya bukan khilafah Islam Afghanistan, tetapi imarat Islam Afghanistan.”
Paham keagamaan yang berbeda, menurut Shofwan, memberi konsekuensi pada visi politik yang berbeda. ISIS dan al-Qaeda keluar dari visi negara-bangsa, sedangkan Taliban berfokus pada perjuangan berlandaskan pemahaman Islam untuk bangsa dan negaranya.
Kembali Setelah Disingkirkan
Tahun 2001, Taliban disingkirkan dari kekuasaan oleh invasi pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Sejumlah tokohnya gugur dan sisanya terpaksa hidup dalam pengasingan atau persembunyian.
Selama hampir 20 tahun, sebanyak 34 ibukota provinsi berada di bawah kekuasaan rezim pemerintah Afghanistan yang dikendalikan oleh pasukan AS dan NATO. Pasca penarikan pasukan AS secara bertahap, Taliban ternyata mampu “kembali” secepat kilat.
Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, Taliban menaklukkan Afghanistan hanya dalam 10 hari. Pada 6 Agustus 2021 mereka mengambil alih ibukota provinsi pertama. Pada tanggal 15 Agustus 2021, mereka sudah berada di gerbang ibukota, Kabul.
Diumumkannya penarikan pasukan AS oleh Presiden Joe Biden membuat Taliban bertindak cepat. Menurut beberapa analisis, AS telah lelah dengan perang yang dimulainya sendiri.
“Rekan-rekan Amerika saya, perang di Afghanistan sekarang sudah berakhir. Saya menolak untuk melanjutkan perang yang tidak lagi melayani kepentingan nasional vital rakyat kita,” kata Biden di Gedung Putih (31 Agustus 2021).
Seperti telah diketahui khalayak ramai, AS dan sekutunya melancarkan serangan besar-besaran ke Afghanistan pasca peristiwa WTC 11 September 2001. Afghanistan dituduh melindungi pimpinan al-Qaeda, Osama bin Laden. Akibatnya, ribuan orang jadi korban. AS dan sekutunya pun menghabiskan dana dan energi yang amat besar.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2021.