Meski bermazhab Hambali, tapi para murid-muridnya berasal dari berbagai mazhab.
Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dikenal sebagai salah satu “imam” dalam Islam pada zamannya. Yakni pemimpin dari ranah keilmuan, amalan, fatwa, dan kedudukan agama lainnya. Imam Dzahabi menyatakan, beliau adalah seorang syaikh, imam, ulama, teladan, serta orang yang zuhud, pandai, dan mengetahui para wali. (Siyar A’laam Nubala’: 20/439).
Pada masanya, dia termasuk ulama yang agung dalam mazhab Hambali. Imam as-Sam’ani berkata, “Abdul Qodir termasuk penduduk Jaelan, imam dari mazhab Hambali, menjadi guru mereka pada masanya, ahli fiqih, shalih, agamawan, baik, banyak berzikir, selalu berpikir, serta mudah menangis.” (Siyar A’laam Nubala’: 20/441).
Dalam kesehariannya, dia selalu melakukan serta menyerukan untuk amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat. Juga memberi nasehat serta mengajak orang untuk bertaubat.
Ibnu Qudamah, pengarang kitab al-Mughni, mengatakan bahwa, “Saya tak pernah melihat orang yang besar perjuangannya melebihi beliau. Aktivitas kesehariannya hampir tidak mengenal istirahat. Di siang dan malam hari, dia selalu mengadakan pengajian. Materi yang disampaikan meliputi tafsir, Hadist, ushul fiqih, dan ilmu lain yang berkaitan dengannya.
Setelah shalat Zhuhur, dia memberikan fatwa berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Sore hari sebelum shalat Maghrib, dia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Usai shalat Maghrib, dia selalu makan malam karena berpuasa sepanjang tahun. Sebelum berbuka, dia menjamu tetangganya makan malam. Ba’da shalat Isya’, dia beristirahat sejenak di kamarnya sebagaimana layaknya tradisi para wali. Dia mencurahkan waktu siang harinya untuk mengabdi kepada umat manusia. Sementara malam harinya untuk mengabdi kepada pencipta-Nya. (Al-Nadwi, Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam, hal. 253-254).
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa dia memiliki perangai yang baik, pendiam, cepat melakukan amar ma’ruf dan mencegah sesuatu yang mungkar, dan tampak sekali kezuhudannya. Dia juga punya perangai yang shalih dan penerawangan. Pengikut dan para sahabatnya banyak yang menuliskan tentangnya. Mereka menyebutkan ihwal beliau dengan perbuatan, perkataan, serta penerawangan yang kebanyakan terlalu berlebihan.
Dia termasuk orang shalih dan wara’ (hati-hati dalam masalah yang syubhat). Dia telah mengarang buku “Al Ghunyah” serta “Futuh al-Ghaib”. Di dalam kedua buku itu ada banyak kebaikan. Dia juga menyebutkan di dalam kedua bukunya Hadits-hadits yang dha’if dan maudhu’ (palsu). Secara umum, dia termasuk pemuka dari para syaikh.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/768).
Pada zaman Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, kondisi kaum Muslimin tidak kondusif. Pemerintahan dipimpin orang-orang zhalim serta terjadi perselisihan yang tajam di antara mazhab yang ada. Sebab itu dia uzlah selama 20 tahun. Selama uzlah dia mengarungi panas dan dinginnya musim di tanah Irak tanpa alas kaki (sandal) dan makan minum yang tak menentu.
Suatu ketika datanglah seseorang yang menaruh belas kasihan kepadanya serta memberikan uang. Dia pun menerima pemberian itu satu dirham untuk membeli roti. Tapi tiba-tiba jatuhlah secarik kertas di hadapannya, sehingga dia tinggalkan rotinya.
Kertas itu bertuliskan, “Keinginan memakan itu dijadikan untuk hamba-hamba-Ku yang lemah imannya agar mereka dapat menambah kekuatan berbakti serta taat kepada-Ku. Adapun bagi orang yang kuat imannya, tentu tidak memiliki keinginan yang sedemikian.” (As-Sya’rani, Thabaqat al-Kubra, hal. 108).
Usai uzlah, dia berdakwah ke masyarakat. Dakwahnya membawa pengaruh besar terhadap masyarakat luas. Banyak kalangan Kristen dan Yahudi yang masuk Islam karena seruannya. (H.A. R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, hal. 6).
Syaikh Umar al-Kaisani mengatakan, majelis pengajiannya dipenuhi orang-orang yang baru masuk Islam dari kalangan Kristen dan Yahudi, bekas para perampok, pembunuh, serta para penjahat. Dan disebutkan, bahwa dia telah mengislamkan orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih dari 5.000 orang, juga menyadarkan lebih 100.000 orang dari kalangan penjahat. (An-Nadwi, Rijal al-Fikri, hal. 257).
Dia termasuk tokoh shufi yang bersandar kepada al-Qur’an dan Sunnah, disertai banyak perhatian pada masalah-masalah hati. Hanya saja hampir semua karamah yang dinisbatkan kepadanya terlalu berlebih-lebihan, dan sebagiannya tak benar.
Adapun yang diterima, bisa jadi karena firasat ataupun sebab karamah yang Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini masih dapat terjadi sesuai dengan koridor-koridor syar’i yang dijelaskan di dalam risalahnya. (Sa’id bin Mufassir, Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani wa Aara’ahu al-I’tiqadiyah was Shufiyyah, hal. 660-661).
Kesibukannya berdakwah membuatnya hampir lupa berumah tangga. Beliau baru menikah umur 51 tahun serta memiliki 4 orang istri. Dari keempat istri tersebut, dikarunia 49 anak. Yakni terdiri 20 putra dan selebihnya adalah putri. Di antara 49 putranya, ada 4 orang yang termasyhur. (Al-Barzanji, al-Lujjain al-Dain). *Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022