“Ustadz, saya sedang bingung dan pusing ini.”
“Astaghfirullah, ada apa akhi, baru menikah beberapa bulan pusing, bukannya bahagia bulan madu?”
“Bulan madu sudah sebulan, setelah itu menjadi bulan tak menentu,” kata Adi sambil menutup muka dan menahan sedih.
“Mengapa bulan tak menentu akhi, ada apa dengan istrimu,” kata sang ustadz sambil mendekati Adi. “Bukan istri saya ustadz, tapi ibu. Saya dianggap belum dewasa sehingga beliau ikut campur urusan belanja di rumah. Istri tersinggung dan menyuruh untuk mandiri, tidak bergantung dengan orangtua.”
“Oh, biasa itu. Ibu tidak salah, istri juga benar. Kita laki-laki, sebagai suami tidak lagi jadi ‘anak Mami’. Artinya harus berlatih dewasa. Ibu tetap harus dihormati, tapi istri juga harus diperhatikan.”
Perselisihan antara menantu dengan mertua—terutama menantu perempuan dan ibu mertua, bukan suatu yang aneh. Sebagaimana perselisihan antara anak perempuan dengan ibu kandungnya. Itu konsekuensi logis dari interaksi yang intens dalam keluarga, perbedaan karakter, pendidikan, dan kematangan usia.
Tidak ada mertua yang kejam atau menantu yang kurang ajar. Semua menjadi lahan ujian bagi keduanya untuk belajar saling menghargai dan menempatkan diri sesuai dengan kondisi yang ada. Keimanan, kesabaran beserta akhlaq yang baik menjadi wasilah hubungan yang sehat antara mertua dengan menantu.
Perempuan Cenderungan Posesif
Posesif adalah suatu keadaan mental seseorang merasa memiliki secara total serta ingin mengendalikan atau mendominasi sesuatu atau seseorang. Dalam hubungan antar manusia, arti posesif adalah sikap seseorang dengan perasaan paling berhak memiliki serta menuntut perhatian dan cinta total dari pasangan atau anggota keluarganya.
Dalam sudut pandang ibu mertua, misalnya. Mertua memiliki kecenderungan untuk memastikan apakah putranya sehat, bahagia serta mendapat perlakuan sebagaimana sebelum menikah. Ada kekhawatiran jika anaknya tak mendapat pelayanan dengan baik dari istrinya.
Di sisi lain menantu dengan posesifnya merasa berhak melayani dan mencintai suami sepenuh hati dengan caranya sendiri. Menantu juga ingin membuktikan dirinya mampu menjadi istri yang baik dengan memberikan pelayanan terbaik.
Sifat posesif bukanlah sifat negatif, tapi bawaan yang harus diarahkan menjadi produktif. Wajar sebagai orangtua yang berpengalaman dalam hidup berumah tangga, mertua ingin mengatur dan memastikan kebahagiaan putranya. Tetapi porsinya harus dikurangi agar tak terlalu protektif serta mendominasi sehingga bisa menyinggung menantu karena merasa dikekang dan diatur.
Sebaliknya, menantu harus belajar secara bertahap di dalam menerima nasihat dan arahan dari mertua. Membuka diri untuk mengalah kepada mertua, adalah cara menang yang elegan bagi seorang menantu.
Peran suami sangat penting untuk menyakinkan ibunya kalau dia baik-baik saja dengan menceritakan sisi-sisi positif istrinya. Termasuk juga harus memberikan pengertian terkait karakter ibunya yang unik dan menarik. Suami harus mampu menjadi mediator serta fasilitator yang baik dalam menjembatani sikap posesif ibu dan sang istri.
Kesenjangan Perhatian
Perhatian adalah salah bentuk cinta seseorang. Ketika ia berkurang, maka ada sesuatu yang menjadi kecurigaan. Sebenarnya hal yang wajar ketika anak laki-laki menikah, maka perhatian kepada orangtua akan berkurang sedikit karena harus memperhatikan istrinya.
Di satu sisi, istri juga ingin memperoleh perhatian yang lebih sebagai pasangan hidup. Ada rasa kurang nyaman ketika suami sering atau lebih memperhatikan ibunya. Hal yang wajar, istri sebagai pasangan hidup mendapat porsi perhatian besar dari suami.
Peran suami amat penting untuk mencegah terjadinya konflik antara ibu serta istrinya. Suami harus berusaha untuk adil dalam memberikan perhatian kepada keduanya. Dengan tidak mengalihkan perhatian kepada ibu dalam bentuk lain.
Kemudian saat mendapat informasi negatif (curhat) dari ibu tentang istri atau sebaliknya, maka harus didengarkan dengan baik. Tak perlu merespon dengan panik atau menelannya mentah-mentah.
Salah satu cara mengatasi kesenjangan perhatian, suami dapat menjadwalkan acara rileks seperti jalan bareng dengan ibu dan istri, silaturahim, belanja atau makan-makan.
Seorang istri juga harus membangun koneksi dengan mertua dari hal-hal yang disukai, bertanya kabar, memberikan hadiah, mengirimkan foto kebersamaan dengan suami ataupun video cucunya. Ada banyak cara dalam mengambil hati mertua.
Ketika Tinggal Serumah
Sebagai anggota keluarga baru, saat masuk di kehidupan keluarga sang suami, maka ada norma-norma kesopanan yang kadang berbeda. Sehingga kesalahan sedikit seorang menantu, misalnya menutup pintu kamar terlalu keras, kadang bisa membuat mertua tersinggung. Padahal, mungkin yang dilakukan menantu bukanlah kesengajaan.
Saat menantu (istri,red) tinggal di rumah mertua, maka harus peka dan peduli dalam membantu pekerjaan rumah, mengikuti kultur dan kebiasaan yang ada. Sebaliknya, ketika mertua harus ikut di rumah menantu, juga harus mengalah dan tahu diri untuk mengikuti aturan yang berlaku.
Idealnya memang mertua serta menantu tidaklah tinggal serumah. Bisa ngekos atau ngontrak rumah sekalipun kecil, tetapi istri bisa merdeka mengatur rumah tangga. Daripada tinggal di rumah mertua yang besar, namun hatinya tertekan.
Suami sebagai anak laki-laki sekaligus pemimpin rumah tangga memang punya tanggung jawab besar untuk menetralisir bila ada kesalahpahaman antara istri dan ibunya. Kadang suami dibuat serba salah. Ia tidak mungkin memihak serta menyalahkan salah satunya. Sehingga kedewasaan serta kematangan seorang suami menjadi kunci, sebagai hakim yang adil untuk mendamaikan keduanya.
Sebagai seorang ibu atau seorang istri seharusnya tidak saling mengadu yang menjadinya anak atau suaminya dalam posisi sulit. Pada dasarnya laki-laki itu mencintai ibu serta istrinya, namun karena kesalahpahaman dan komunikasi negatif yang menjadikan cintanya berantakan. Dilematis.
Suami bisa berdiskusi dengan istri untuk kesepakatan dalam membahagiakan ibu mertua. Ini penting untuk mencari titik kesamaan, memunculkan kegiatan positif dan menghindarkan dari prasangka negatif terhadap ibu mertua. Membangun prespektif yang sama antara suami istri tentang ibu mertua adalah yang mendasar untuk menghindarkan serba salah suami.
Penulis: Dr. Abdul Ghofar Hadi, MA
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2021.