Keinginan kuat untuk tetap mengajar selepas dipecat sebagai guru, mendorongnya untuk mendirikan pesantren sendiri.
Sepucuk surat mendarat di tangan Shohibul Lathif. Ia membukanya tanpa rasa curiga. Alangkah terkejutnya, ketika ia mengetahui isi surat tersebut. Ia dipecat sebagai tenaga pengajar dari lembaga tempatnya mengabdikan diri.
Ada yang mengganjal pikirannya karena tak disertakan satupun alasan. Apalagi, sebelumnya tidak terdengar desas-desus pemecatan di lingkungannya bekerja. “Ada 17 guru yang dipecat secara sepihak,” kata sosok yang akrab disapa Lathif ini.
Pria kelahiran 43 tahun silam ini pun dirundung kesedihan. Bukan lataran ‘kran’ pemasukan ekonomi tertutup, tetapi lebih karena hilangnya kesempatan untuk mengamalkan ilmu.
Maklum, mengajar sudah menjadi aktivitas yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupannya. Sejak Tsanawiyah, ia terbiasa mengajar serta membimbing para juniornya.
Tawaran Ide ‘Gila’
Sungguh naas, karena waktu itu masih pertengahan tahun ajaran baru. Dalam benaknya pun bergelayut kegelisahan, “Mau mengajar di mana saya? Sekolah-sekolah pasti tidak membuka lowongan mengajar.”
Selang beberapa waktu, Lathif belum jua menemukan jalan keluar. Dari situ, ia mencurahkan isi hatinya kepada seorang sahabat. Ia sampaikan hajatnya untuk terus bisa mengajar. Dan tak dinyana, karibnya menawarkan ide ‘gila.’ Sebuah gagasan yang sebelumnya tak pernah terbesit di benaknya. “Ya sudah buat saja pesantren sendiri seperti saya.”
Mulanya putra pasangan dari Muhammad Shulhan dan Na’imah ini ragu untuk mengamini. Ketiadaan modal pun menjadi biang keroknya. Menangkap gelagat pesimis, sahabatnya pun menyulut semangat Lathif agar semakin yakin.
“Sudah jangan banyak perhitungan. Dulu lahir nggak bawa kathok (celana) aja kok,” sengatnya.
Setelah 3 bulan lamanya, Lathif belum juga mendapat pekerjaan baru sebagai pengajar, ia bertekad mendirikan pesantren. Langkah pertama yang dilakukan, membicarakan kepada pihak keluarga. Alhamdulillah, seluruh keluarga setuju dan mendukungnya. Saudara-saudaranya pun rela mewakafkan tanah warisan orangtua seluas 2 hektare.
Dibilang Stres
Pada awal penggarapan, Lathif mengaku berpacu dengan waktu. Sebab, masa pembukaan tahun ajaran baru (2016) tersisa 6 bulan lagi. Untuk modal utama, ia pun menjual rumah pribadi. Laku 300 juta. Ia kemudian memilih mengontrak rumah. Karena, lokasi yang akan dibangun pesantren masih berupa hutan serta semak-belukar.
Tak hanya keadaan lahan yang memprihatinkan. Kawasan yang berada di Desa Mojopetung, Dukun, Gresik ini, juga terisolir. Lokasinya, ada di tengah-tengah persawahan. Belum ada jalan. Jaraknya dengan jalur utama sekitar 150 meter.
Kalau sudah tiba musim hujan, jelas bungsu dari delapan bersaudara ini, lokasi sama sekali tidak bisa dilewati segala jenis kendaraan. Penuh dengan lumpur. Karena itulah, Lathif banyak dicemooh masyarakat sekitar.
“Saya pernah dibilang ‘wong stres’ (orang gila). Membangun pesantren kok di lahan kayak gitu. Bagaimana lewatnya,” kata Lathif, menirukan oknum warga yang meledeknya.
Persoalan semakin runyam. Ketika tukang yang bekerja membangun pesantren mendadak mengundurkan diri, karena dilarang melewati persawahan menuju lokasi pesantrennya. “Udah ustadz nggak usah dilanjutkan pembangunannya,” ujarnya kepada Lathif.
Dalam kebuntuan mencari jalan keluar itulah, ia mengaku lebih menggalakkan munajat kepada Allah. Ia meminta jalan keluar. “Ya Allah, aku serahkan urusan akses jalan ini kepadamu,” iba Lathif dalam munajatnya.
Alhamdulillah, berkat kegigihan usaha dan keseriusan dalam berdoa, Allah pun mengijabahi doa Lathif. Pemilik tanah yang lahannya dijadikan akses jalan itu, akhirnya mewakafkan tanahnya secara suka rela. Tak sekedar lisan. Agar tidak ada persoalan di kemudian hari, ia langsung mengurus legalitasnya.
Dari kemudahan itu, 6 lokal kelas berhasil dibangun. Tahun ajaran baru 2016 – 2017, Lathif bisa membuka pendaftaran murid baru. Saat itu, ada 15 anak yang diterima.
Mencetak Dai
Tak selazim nama pesantren pada umumnya. Pesantren rintisan Lathif diberi nama Lembaga Kader Dakwah Islam (eLKaDI). Alasannya, karena sejak awal pendirian, ia berazam melahirkan generasi yang siap mendakwahkan Islam. “Dakwah Islam harus terus disyi’arkan. Itu misi utamanya” katanya.
Untuk menopang kemampuan para santri, urai ayah tiga anak ini, para santri diminta hafalan hadits-hadits madhu’i (tematik). Selain itu, juga menghafal al-Qur’an, mendalami bahasa Arab serta ilmu-ilmu dasar Islam (tauhid, fiqih, dan sirah).
Program pendukung lainnya, juga disediakan waktu untuk latihan berpidato, khususnya ketika menjelang liburan. Para santri harus menyiapkan beberapa naskah. Selanjutnya, Lathif yang mengoreksinya.
“Minimal (tema-tema yang telah disiapkan) itulah bekal mereka, ketika nanti sudah tiba masa tugas dakwah,” papar sosok murah senyum ini.
Meski terbilang masih sangat dini, para santri binaan Lathif siap menjalankan amanah dakwah. Sekalipun, mereka harus bertugas ke luar pulau.
Seperti Zaki Musthofa. Saat itu (2017), ia mendapat tugas berdakwah di NTT. Walaupun usianya baru 13 tahun dan duduk di bangku kelas VII (MTs), tetapi sangat siap untuk menjalankan amanah, tak terlepas dari nilai-nilai yang terus ditanamkan pihak pesantren.
“Ustadz Lathif sering menyampaikan, di manapun berada, seorang muslim harus bertanggung jawab atas agamanya,” ujar santri asal Surabaya itu.
Di NTT, Zaki mendapat tugas untuk mengajar TPA di sebuah masjid. Selain itu, juga dipercaya untuk mengisis ceramah bakda sholat Tarawih dengan ratusan jamaah. “Awal mula kita datang diragukan. Bahkan ada yang memandang sinis. Namun, setelah aktif mengisi TPA dan berceramah, masyarakat mulai menaruh kepercayaan,” kisahnya.
“Bahkan, ketika pamit pulang, banyak masyarakat yang menangis. Tak sedikit pula yang memberi uang saku,” tutupnya.
*Robinsah/Suara Hidayatullah
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020