23.3 C
New York
Kamis, November 7, 2024

Buy now

spot_img

Setiap Anak Itu Baik dan Mencintai Kebaikan

Karena anak lahir di atas al-fithrah, yakni al-Islam, maka setiap anak itu baik dan mencintai kebaikan. Tidak ada anak yang lahir dalam keadaan buruk. Tidak pula ada anak yang sedari awal menyukai keburukan. Apa pun zamannya mereka lahir, tetaplah anak itu lahir dalam keadaan di atas kebaikan, condong kepada kebaikan dan mencintai kebaikan.

Sesungguhnya kebaikan itu melekat pada diri anak, baik laki-laki atau perempuan. Tidaklah ada anak berbuat keburukan, kecuali karena ada sebab-sebab yang para orangtua perlu mengurainya dengan segera agar tidak berlanjut.

Nabi ﷺ bersabda:

الْخَيْرُ عَادَةٌ وَالشَّرُّ لَجَاجَةٌ وَمَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Kebaikan itu ‘aadah dan keburukan itu lajaajah dan barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (HR. Ibnu Majah).

Ungkapan ‘aadah (عَادَةٌ) pada asalnya bermakna kebiasaan, tetapi dalam Hadits ini maknanya ialah bahwa setiap manusia itu pada dirinya melekat kebaikan. Artinya, kebaikan itu sesuatu yang memang ada pada diri manusia, terlebih lagi anak-anak, semenjak usianya yang paling awal. Tapi pengertian ini tidak meninggalkan makna asalnya, yakni kebaikan itu tak menetap pada diri seseorang dengan kokoh kecuali apabila ia men-dawam-kan amal yang baik, yang menjaga kebaikan maupun yang memperbaiki (ishlah) diri seseorang.

Yang dimaksud mendawamkan amal yang baik ialah menjadikan berbagai bentuk kebaikan sebagai kebiasaan yang dicintai serta dijaga. Bukan sekadar dibiasakan, karena semata-mata pembiasaan tidak dengan sendirinya melahirkan kebiasaan. Terkadang hanya melahirkan perilaku berulang, yakni perilaku yang muncul setiap hari selama ada faktor pemaksanya ataupun faktor yang menjadikan perilaku itu muncul. Begitu ada di tempat berbeda, maka yang kita sangka sebagai kebiasaan itu tidak muncul lagi.

Adapun amal yang menjaga kebaikan ataupun memperbaiki diri seseorang, lebih tepat apabila kita bicarakan berkenaan dengan orang-orang yang sudah terkenai hukum, yakni mukallaf. Membicarakannya berkenaan dengan anak, perlu bahasan tersendiri. InsyaAllah di lain kesempatan. Kali ini, kita fokuskan pada pembahasan mengenai apa yang menyebabkan anak berbuat keburukan (الشَّرُّ).

Mengacu kepada Hadits di atas, manusia berbuat keburukan (الشَّرُّ) karena adanya lajaajah. Apa itu lajaajah? Ada dua makna dalam hal ini. Pertama, lajaajah adalah keterjajahan dari tipu daya syaitan sehingga dapat menggelincirkan manusia pada keburukan; baik syaitan dari golongan jin maupun manusia (مِنَ ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ). Maka, kita senantiasa butuh isti’adzah sekaligus mohon perlindungan kepada Allah SWT bagi anak-anak kita dari tipu daya syaitan.

Kedua, lajaajah itu suatu keadaan ketika seseorang merasa terdesak, gengsi serta takut atau malu yang tidak pada tempatnya. Maka, saat anak berbuat keburukan, yang pertama kali perlu kita lakukan bukanlah menjelaskan buruknya perbuatan itu beserta akibatnya, melainkan menggali apa yang menjadi lajaajah sehingga anak berbuat keburukan itu, termasuk mengapa sampai merasa gengsi, misalnya.

Merasa terdesak itulah yang menjadikan seseorang merasa sangat memerlukan sesuatu—menganggapnya sebagai kebutuhan—meskipun sebenarnya ia bukanlah merupakan kebutuhan. Ini bisa terjadi karena kita lalai mendidik anak-anak untuk memahami mana kebutuhan, mana keinginan, sekaligus mengenali tingkatannya. Tapi bisa terjadi juga, bahkan seorang anak yang telah mengerti bahwa itu bukan kebutuhan, ia menyadarinya, tetapi tetap terjatuh melakukan keburukan karena ia merasa terdesak oleh gengsi.

Adakalanya seorang anak merasa terdesak, adakalanya benar-benar terdesak oleh keadaan yang datang dari luar, sedang ia tidak punya kesiapan untuk menghadapi desakan tersebut. Di antara contoh desakan dari luar ialah tekanan atau ancaman dari teman.

Terlepas dari apakah anak melakukan keburukan sebab merasa terdesak ataupun sungguh-sungguh terdesak oleh keburukan dari luar yang tidak mampu dihadapi, tetap saja kita perlu membantu anak agar dapat memperbaiki dirinya. Kita perlu menggali, misalnya, mengapa anak tak mengambil sikap tegas ketika memperoleh tekanan dari temannya.

Jadi yang perlu kita gali saat anak melakukan keburukan bukan hanya apa lajaajah yang menjadikan anak tergelincir berbuat keburukan, melainkan lebih penting lagi adalah apa sebabnya ia dapat menjadi lajaajah pada diri mereka.

Contoh, anak berbuat curang saat ujian. Maka kita perlu tahu, kenapa dia berbuat curang; apa lajaajahnya. “Takut dimarahi orangtua.” “Takut diejek teman.” “Takut dihukum guru.” Ini semua tampaknya telah cukup untuk menjadi jawaban. Tetapi belum. Kita masih perlu merunut lebih jauh. Takut diejek teman misalnya, kenapa ini mengganggu buat dia, apa yang menjadikannya takut, apa yang ia alami ketika diejek. Selanjutnya kita perlu menata diri cara berpikir dan bersikap anak, semisal apakah temannya pasti akan mengejek, kapan ia pernah diejek, apakah pernah ia tidak diejek, apakah kalau diejek akan merugikan dia.

Selain menggali, kita perlu mengokohkan dengan pegangan yang kuat, bersumber dari agama ini. Misal, “Tugas orang lain komentar, tugasmu bersungguh-sungguh dengan kebaikan. Kalau kamu melakukan amal karena takut dicela manusia, maka ucapan manusia tidak ada habisnya. Dan kalau kamu belajar karena menginginkan pujian manusia, maka ilmumu tidak akan barakah. Maka belajarlah semata karena mengharap ridha Allah Azza wa Jalla.”

Anak tidak bergeser kepada keburukan sehingga fitrah pada dirinya sakit, kecuali karena adanya talqin kepada kesesatan beserta tarwiij (seruan, ajakan, provokasi) kepada kebatilan. Dan kita perlu melakukan ishlah supaya mereka kembali kepada keadaan yang bersih di atas al-Fitrah.

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,100PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles