10 C
New York
Minggu, Maret 23, 2025

Buy now

spot_img

Sertifikasi Pernikahan, Perlukah?

Pemerintah hendak mengeluarkan sertifikasi pernikahan bagi pasangan yang akan menikah. Mereka wajib mengikuti kelas dan bimbingan pra nikah untuk mendapatkan sertifikat yang dijadikan sebagai syarat pernikahan Jika belum mengantongi sertifikat nikah, mereka belum bisa menikah.

Program ini rencananya akan mulai di berlakukan tahun 2020, bertujuan agar calon pasangan calon pengantin mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan pasangannya.

Program ini juga merupakan penguatan terhadap sosialisasi pernikahan yang sebelumnya dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga para calon pengantin diwajibkan untuk menjalani sertifikasi perkawinan selama 3 bulan.  Jika belum  memiliki sertifikat atau belum lulus pelatihan, calon pengantin tidak boleh menikah.

Program sertifikasi pernikahan ini salah satu dari upaya pemerintah mewujudkan ketahanan keluarga yang kuat, harmonis dan sejahtera. Beberapa fakta yang melatarbelakangi pemerintah untuk memprogramkan sertifikasi nikah adalah:

Tingginya Angka Perceraian

Kasus perceraian yang tercatat berdasarkan data yang dikutip Detik.com dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Tingginya Kasus Stunting 

Di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting (kurang gizi) atau sekitar 35,6 persen. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk. Ada yang berpendapat ketidakpahaman orangtua dalam memenuhi asupan gizi bagi keluarganya menjadi penyebab utama stunting. Sehingga dengan pemberian informasi seputar kesehatan keluarga pada saat pelatihan pranikah bisa mengurangi angka stunting.

Perlu dipahami, stunting pada anak itu disebabkan karena pemberian nutrisi yang buruk. Selain itu, juga bisa disebabkan oleh kebersihan lingkungan yang kurang terjaga, sehingga anak sering terkena infeksi. Pola asuh yang kurang baik juga ikut berkontribusi atas terjadinya stunting.

Dengan adanya pelatihan pranikah, negara berharap para pasangan muda memiliki pemahaman yang benar tentang berumah tangga.

Wacana sertifikasi pernikahan ini menimbulkan pro dan kontra di sejumlah pihak, karena dipandang belum menyentuh akar persoalan lemahnya ketahanan keluarga hari ini.  Wakil komisi VII Marwan Dasopang berpendapat, pemerintah seharusnya tidak masuk dalam ranah privat masyarakat dengan menambah persyaratan pernikahan dalam  kelas pra nikah.

Menurut Marwan, ada banyak persoalan apabila sertifikasi ini diterapkan. Misalnya, apabila pasangan yang tidak lulus kelas pra nikah dan tidak mendapat sertifikasi, maka dikhawatirkan akan melakukan perzinaan.

Hal senada di sampaikan pula oleh Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily, ia meminta agar wacana seritifikasi pernikahan ini dikaji lagi baik dari segi prosedur maupun substansi, karena dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat terutama dari segi biaya.

Sedangkan MUI mengatakan mendukung program ini. Hanya saja MUI lebih mendorong keberadaan pelatihan pranikah ketimbang sertifikasi nikah. MUI memandang pelatihan pranikah lebih penting agar pasangan memahami esensi menikah dan dapat mengurangi tingginya angka perceraian.

Hal senada diungkapkan Menteri Agama Fachrul Razi. Ia mendukung rencana itu agar calon pasangan mendapat nasihat seputar keluarga, kesehatan, hingga agama. Ia tak sependapat jika sertifikat nikah menjadi prasyarat menikah.

Lebih tepat disebut kursus pranikah. Sedangkan Komnas Perempuan pun mengamini program yang digagas Muhadjir Efendy asalkan kurikulum dalam kursus pranikah itu mengajarkan kesetaraan antara suami dan istri secara adil.

Sebenarnya tujuan adanya sertifikasi kawin ini baik. Namun, perlu adanya penelaahan yang mendalam apakah jaminan jika calon pengantin sudah mendapat pelatihan pra nikah dan mengantongi sertifikat, ketahanan keluarganya sudah pasti kuat. Karena sebenarnya persoalan ketahanan keluarga yang makin rapuh hari ini bukan dikarenakan pasangan suami istri tidak tahu hak dan kewajiban berkeluarga.

Akan tetapi ini dikarenakan nilai dan landasan ketakwaan individu masyarakat sangat kurang menghujam kuat di dalam dirinya, sehingga pengetahuannya tentang boleh tidaknya sesuatu menurut agama tidak dijadikan landasan dalam mengarahkan biduk rumah tangganya. Buntutnya,  masih banyak yang melalaikan hak dan kewajibannya di dalam keluarga.

Walhasil, sebenarnya untuk mengatasi persoalan lemahnya ketahanan  keluarga  tidak cukup dengan memberi pelatihan pranikah saja.

Demikian juga untuk mengatasi persoalan kesehatan keluarga, sebenarnya tidak cukup hanya dengan memberikan pelatihan memanagerial keuangan di dalam keluarga agar ibu bisa memberikan gizi seimbang pada anak.  Pada faktanya angka kemiskinan memang masih tinggi di negeri ini. Yang ada  di pikiran keluarga hari ini adalah bagaimana uang cukup untuk makan dan belum sampai pada  apa yang dimakan bergizi apa tidak, karena memang kurangnya kemampuan finansial sehingga menyebabkan hidup dengan pola yang kurang sehat dan bersih.

Demikian juga untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang rata-rata pemicu awalnya karena percekcokan suami istri lantaran masalah finansial, serta mulai bertukar perannya suami istri di keluarga.

Ini juga bukan karena suami kurang serius bekerja, tapi lantaran memang gaji yang didapatkan tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga dan bahkan para suami sekarang sulit mencari lapangan pekerjaan tersebab ide liberalisme perempuan dan gender (kesetaraan perempuan dengan laki-laki) yang diaruskan oleh Negara.

Sehingga banyak perempuan yang bekerja, sedangkan laki-laki di rumah. Yang terjadi adalah kehancuran keluarga karena tumpang tindihnya fungsi dan peran masing-masing anggota keluarga.

Pengetahuan tentang pernikahan jika tidak dibarengi dengan hadirnya negara dalam memberikan sistem kehidupan yang kondusif, mulai dari penciptaan suasana iman dan Islam, sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, maka bak panggang jauh dari api. Hasilnya nihil. Bahkan akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Program sertifikasi nikah ini sangat mungkin menjadi lahan baru korupsi. Tak lulus sertifikasi, jalan suap bisa saja dilakukan demi hajat menikah.

*Penulis: Irma Setyawati, S.Pd (Aktivis Muslimah Pasuruan)

*Tulisan ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2020

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles