21.4 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Saleha: Saya Lebih Memilih Cadar daripada Kepala Desa

Cadar

Keteguhannya dalam mempertahankan cadar daripada jabatan sebagai kepala desa itu merupakan hasil dari didikan sang ayah

Mata Saleha (38 tahun) mulai berkaca-kaca ketika bercerita tentang almarhum ayahnya, sosok teladan yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupnya.

Sang ayah mendidiknya dengan penuh ketegasan dan mengajarkan untuk tidak pandang bulu membantu orang lain, hingga membuat perempuan bercadar ini menjadi wanita yang mandiri dengan jiwa sosial tinggi.

Akhir Desember 2019, ia baru saja dilantik menjadi Kepala Desa Pallantikang, Kecamatan Bangkala, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Awak Suara Hidayatullah menyambangi kediaman Daeng Sakking—panggilan akrabnya—beberapa hari setelah ia dinyatakan menang dalam pemungutan suara.

Ibu dari 2 orang anak ini pun memulai cerita tentang sosok ayahnya. “Daripada saudara-saudara yang lain, saya lebih dekat dengan bapak. Ketika waktu masih sekolah, hanya saya yang sekolah di kampung, sedangkan saudara-saudari saya sekolah di kota.”

Daeng Sakking mengaku sering merasakan ketegasan ayahnya dan memahami betul bagaimana beliau menumbuhkan kesadaran kepada anak-anaknya untuk membantu orang lain yang kesusahan.

“Padahal, waktu itu keluarga kami sangat pas-pasan. Dibalik ketegasan bapak, selalu dibarengi kelembutan ibu,” kenangnya dengan logat khas Jeneponto.

Tak sekadar mengajari, tetapi sang ayah juga selalu memberi contoh langsung. Contoh sederhana, jika ada tamu yang datang ke rumah, tamu tersebut belum boleh pulang sebelum kenyang. Bapak selalu berusaha untuk membantu orang yang kekurangan, sekalipun kondisi keluarga sebenarnya juga butuh bantuan.

“Dan bapak selalu menyuruh saya untuk memberikan bantuan itu,” lanjutnya.

Dididik untuk menjadi pribadi mandiri dengan keluarga pas-pasan, membuat Daeng Sakking dan saudara-saudarinya, sejak kecil terbiasa ikut mencari rezeki untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

“Saya dan saudara-saudara dulu menjual pakaian. Kakak menyetok dari Jakarta dan saya jual di sini. Alhamdulillah, lambat laun jerih payah kami membuahkan hasil, meski bapak sudah tak bersama kami. Hasil didikannya membuat seluruh anak-anaknya bisa mengangkat derajat keluarga,” paparnya.

Cadar Bukan Penghalang

Daeng Sakking sudah lebih dari 2 tahun memutuskan untuk bercadar. Ia juga sudah lama menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia mengaku, keputusannya bercadar sama sekali tak menghalangi aktifitasnya, baik di tempat kerja atau lingkungan masyarakat.

Masyarakat mengenalnya sebagai sosok dermawan karena ia kerap membantu warga yang kesusahan. Dari situ, masyarakat Desa Pallantikang mendorongnya untuk maju dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

“Saya tidak pernah punya niat untuk menjadi kepala desa, tapi warga berkali-kali mendesak agar saya ikut Pilkades. Setelah didiskusikan dengan keluarga, saya mengiyakan untuk ikut,” kenangnya.

Warga pun banyak yang mempercayainya untuk memimpin Desa Pallantikang. Hal itu terbukti saat pemungutan suara. Ia menang telak dari 3 lawannya yang salah satunya merupakan petahana.

Armin, salah satu warga Desa Pallantikang membenarkan, bahwa warga justru yang memintanya untuk maju dalam Pilkades. Bahkan, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Jeneponto ini mengibaratkan warga rela menangis sejadi-jadinya hanya agar permintaan mereka itu dikabulkan Daeng Sakking.

Selain membantu warga yang kesusahan, Armin menambahkan, Daeng Sakking juga banyak membantu pesantren. Salah satunya yaitu, pesantren Hidayatullah Janeponto. Salah satu anaknya memang ada yang sekolah di pesantren dengan program tahfidz ini.

“Daeng Sakking cukup banyak membantu perkembangan pesantren ini, mulai dari operasional, pembangunan, hingga mewakafkan mobilnya. Selain itu, juga banyak menetap di pesantren bahkan membuat sebuah rumah di pesantren ini agar bisa lebih dekat dengan anaknya yang masih usia SD,” ceritanya.

Teguh Pendirian

Ketika ditanya, memilih cadar ataukah melepasnya, seandainya terbit larangan bercadar bagi ASN ataupun kepala desa? Dengan tegas Daeng Sakking memilih akan tetap mempertahankan cadarnya.

“Penampilan saya tidak mungkin diubah lagi. Ini sudah menjadi pendirian saya. Jika dilarang saya pasti memilih cadar daripada kepala desa. Waktu mendaftar menjadi calon kepala desa, cadar saya dipermasalahkan. Cuma saya bilang jika itu dipermasalahkan terus, mending saya mundur,” tegasnya.

Ia pun menegaskan, seandainya peraturan itu direalisasikan, ia lebih memilih untuk melepas jabatannya sebagai kepala desa serta atributnya sebagai ASN.

“Bahkan, kalau larangan itu diberlakukan sekarang, saya lebih baik keluar dari ASN. Intinya rezeki itu sudah diatur. Kan masih banyak cara untuk membantu masyarakat dan negara ini,” tegasnya.

Ia berpesan kepada Muslimah di penjuru Indonesia, terutama yang bercadar supaya mempertahankan keyakinan serta keteguhan hati. “Jangan termakan ancaman atau cercaan orang lain,” imbaunya menegaskan.

“Apapun tanggapan orang tentang cadar, kita tetap bersikap baik, membantu orang, berkarya dan beraktifitas seperti biasa saja. Pada akhirnya yang berhak menilai semua amal kita itu Allah, bukan manusia. Kalau memang bercadar itu identik dengan radikal dan terorisme, masyarakat tak mungkin memilih saya,” tutupnya.

Ke depan, amanah Daeng Saking semakin besar. Semoga Allah SWT memberi kekuatan serta keistiqomahan kepadanya agar mampu menjalankan amanah dari masyarakat Desa Pallantikang.

*Sirajuddin Muslim/Suara Hidayatullah

Noted: Tulisan ini telah terbit di rubrik Profil Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2020

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles