Siapa yang sesungguhnya berpotensi makar di negeri ini?
Jasa kaum Muslimin kepada Republik ini tak terbantah lagi. Sungguh aneh bila kemudian umat Islam sering diperhadapkan dengan pemerintah.
Namun begitulah kenyataannya. Kepentingan politik dari kelompok tertentu seringkali memperalat negara untuk memberangus umat Islam. Bukan kepentingan rakyat yang dikedepankan, melainkan kepentingan sesaat para pemburu rente kekuasaan.
Kemelut Politik
Umat Islam mulai disudutkan sejak muncul gerakan Negara Islam Indonesia (NII) Kartosuwiryo (7 Agustus 1949). Para pendiri NII sesungguhnya tokoh-tokoh pejuang juga. Umumnya mereka tergabung dalam Laskar Sabilillah dan Hizbullah bentukan Masyumi.
Tahun 1947 terjadi Perundingan Renville. Berdasar perjanjian ini, wilayah Republik Indonesia (RI) amat sedikit: hanya Yogyakarta dan sekitarnya, Banten dan sekitarnya, serta sedikit kawasan Sumatera. Yang lebih menyakitkan, RI akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan Belanda.
Kartosuwiryo menilai perundingan ini sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan. Wilayah Garut, Bandung, Tasik, dan Ciamis menjadi dikuasai Belanda, dan akan diserahkan kepada negara boneka Pasundan. Inilah yang mendorong Kartosuwiryo terus melawan penjajah, dan akhirnya memproklamasikan berdirinya NII.
Bila dicermati, sebenarnya motif Kartosuwiryo bukan ingin mendirikan negara baru. Hanya saja, ia terpaksa bercanggah jalan dengan kawan-kawan seperjuangan dulu.
Salah satu tokoh Masyumi, Moh Roem, menjadi delegasi dalam Perjanjian Renville. Masyumi sendiri meyakini bahwa diplomasi ini akan berbuah manis. Dan memang beberapa waktu kemudian, Mohammad Natsir melontarkan Mosi Integral. Parlemen RIS akhirnya menyetujui seluruh anggotanya melebur ke dalam Republik Indonesia dengan sistem baru, yaitu “negara kesatuan”.
Tahun 1949, Natsir sebagai Ketua Umum Masyumi berusaha mendekati Kartosuwiryo agar kembali berjuang bersama. Sayang, surat Natsir baru datang tiga hari setelah Proklamasi NII.
Natsir juga mengusulkan kepada Pemerintah RI agar mau berunding. Namun di beberapa kalangan anti-Islam, Kartosuwiryo sudah dicap sebagai ekstrimis dan pemberontak.
Tahun 1950, NKRI resmi berdiri. Natsir menjadi perdana menteri pertama. Pada Desember 1950, ia mengutus Wali al-Fatah dan Kiai Muslich untuk berunding dengan Kartosuwiryo.
Sayang, perundingan itu tidak menemukan titik temu. Salah satu sebabnya, Kartosuwiryo ingin agar NII diakui secara de facto.
Hingga melepas jabatan sebagai perdana menteri tahun 1951, Natsir terus berusaha untuk berdialog. Baginya, dialog masih sangat memungkinkan karena sejatinya Kartosuwiryo bukan orang lain dalam perjuangan. Hanya saja, proses ini tidak didukung oleh elemen Republik yang lain.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih memilih angkat senjata. Tokoh-tokoh politik di luar Masyumi merasa skeptis, apalagi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memang sejak awal memusuhi Kartosuwiryo. Akhirnya, perang saudara tidak bisa dicegah.
Kaum pembenci memanfaatkan situasi untuk menghantam gerakan Islam secara keseluruhan. Seolah-olah bila ada gerakan Islam yang bersikap kritis, pasti akan mengarah pada separatisme, tanpa memperhatikan proses sejarah sebenarnya, dan tanpa meneliti lebih lanjut gerakan yang dituduh itu apakah sama dengan NII atau berbeda sama sekali.
Situasi diperparah dengan agitasi PKI yang menuduh semua gerakan Islam pasti akan melakukan makar. Propaganda semacam ini bahkan masih kerap terjadi hingga kini.
Potensi Makar
Giliran berikutnya, Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri (tahun 1960). Padahal, sejak tahun 1945, Masyumi berperan vital dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus mengakhiri kekuasaan penjajah.
Menurut Soekarno, para pemimpin Masyumi hendak melakukan “makar” karena ikut dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Soal PRRI apakah sebuah gerakan makar atau bukan, sudah banyak dibincangkan oleh sejawaran.
Leirizza dalam buku PRRI-Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (Jakarta: Grafiti, 1997) menyimpulkan bahwa PRRI belum layak dikatagorikan makar dalam sistem pemerintahan parlementer. Ini hanya semacam gerakan protes atas keterlibatan PKI dalam pemerintahan yang dinilai akan menghancurkan NKRI.
Secara organisasi, Masyumi tidak pernah mendukung PRRI. Pemerintah juga tidak menemukan bukti otentik keterlibatannya. Adapun tokoh-tokoh yang diduga terlibat, seperti Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, dan Nastir, saat itu sudah bukan lagi pimpinan Masyumi.
Namun Soekarno telah gelap mata. Alasan makar hanyalah akal-akalan semata. Sebetulnya memang sudah sejak lama ia tidak senang dengan Masyumi. Tambahan lagi, saat itu Soekarno mesra dengan PKI.
Syafi’i Ma’arif dalam disertasinya yang kemudian dibukukan berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985; hal. 191) menulis: “Tapi bagi Soekarno, soal ini sebetulnya tidak begitu penting, sebab yang penting bagi Pemimpin Besar Revolusi ialah bahwa ‘si kepala batu’ Masyumi harus dienyahkan guna melicinkan jalan bagi realisasi sistem politik demokrasi terpimpinnya.”
Itulah contoh sikap represif penguasa di sebuah negara yang sudah menyepakati demokrasi sebagai sistemnya. Ini pula yang akhirnya menjadi sebab jatuhnya Soekarno.
Masyumi sudah lama mengingatkan bahwa PKI tidak akan pernah punya itikad baik untuk bersama-sama membangun Indonesia secara demokratis. Bila berkuasa, penganut ideologi totalitarianisme ini hanya akan menjadikan PKI sebagai satu-satunya partai dan organisasi yang boleh hidup, seperti yang terjadi di China, Rusia, Yugoslavia, Kamboja, dan sebagainya.
PKI-lah yang paling layak untuk diwaspadai akan melakukan makar. Sayangnya, peringatan ini tidak digubris oleh Soekarno. Ia mungkin baru menyesal setelah meletus G 30 S/PKI 1965. Sampai akhirnya, Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto melalui Supersemar 11 Maret 1966.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.