28.2 C
New York
Selasa, Juni 24, 2025

Buy now

spot_img

Prof. Dr. Abd al-Fattah El-Awaisi: Insya’ Allah Baitul Maqdis Akan Bebas di Zaman Kita

Namanya Abd al-Fattah El-Awaisi. Lahir di Baitul Maqdis, 62 tahun silam. Inilah sosok yang telah membidani lahirnya program magister dan doktoral bidang studi Baitul Maqdis di beberapa perguruan tinggi di Inggris, Turki, dan Malaysia.

Kerja besar itu dimulai tahun 1986. Kala itu Abd al-Fattah pulang ke Baitul Maqdis usai memperoleh gelar doktor di Universitas Exeter Inggris.

Di beberapa perguruan tinggi, Abd al-Fattah banyak mengajarkan mata kuliah Studi Palestina, misalnya di Universitas Hebron dan Universitas al-Quds. Salah satu yang mengesankan dirinya adalah ketika mengampu mata ajar “Baitul Maqdis Sepanjang Sejarah” kepada para mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas al-Quds.

“Pada saat itu saya bisa mengunjungi situs yang berada di Masjid al-Aqsha,” ujarnya.

Kecintaannya terhadap Masjid al-Aqsha dan Baitul Maqdis membawanya pada pilihan untuk menguatkan pengetahuan para pemuda Palestina tentang sejarah panjang kawasan yang diberkahi itu. Abd al-Fattah bahkan berniat mewujudkan lembaga riset tentang masalah Palestina.

Namun, seiring meletusnya gerakan Intifadhah Pertama tahun 1987, keinginan itu belum dapat terwujud.  Meski begitu, Abd al-Fattah justru mendapat kesempatan untuk berkiprah dalam lembaga riset yang didirikan oleh Asosiasi Ulama Palestina.

Rupanya gerakan keilmuan Abd al-Fattah dianggap berbahaya oleh Zionis. Singkat cerita, pada tahun 1992, ia bersama 400-an putra terbaik Palestina dideportasi oleh Israel menuju Libanon Selatan. Di antara yang dideportasi itu ada tokoh-tokoh ternama seperti asy-Syahid Abdul Aziz ar-Rantisi dan Ismail Haniyah.

“Ternyata pengusiran itu adalah rencana terbaik dari Allah Ta’ala. Dengan cara itu saya akhirnya bisa mengajarkan kepada lebih banyak orang tentang Baitul Maqdis,” ujarnya sumringah.

Dijelaskan oleh Abd al-Fattah, lebih dari 100 tahun, umat Islam terlalaikan untuk memahami keilmuan tentang Baitul Maqdis. Padahal memahami ilmu tentang hal itu merupakan langkah utama untuk melakukan pembebasan.

“Bagaimana mungkin kita bisa mengambil langkah strategis untuk membebaskan Baitul Maqdis dan Masjid al-Aqsha, kalau tidak memahami keilmuannya?” imbuhnya.

Berteriak saat orasi dan berdonasi saja tidak cukup, katanya. Umat Islam perlu kuat dalam pemahaman tentang Baitul Maqdis. Sebab, begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam menyiapkan para Sahabatnya. Agenda pembebasan Baitul Maqdis yang telah dirancang di masa Nabi, dilanjutkan masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA, akhirnya membuahkan hasil –atas izin Allah– di masa ‘Umar bin Khaththab RA.

“Persiapan ilmu juga telah dimulai pada masa Imaduddin dilanjutkan oleh Nuruddin Zanki, hingga akhirnya pembebasan kedua terjadi pada masa Shalahuddin al-Ayyubi,” terang pendiri IslamicJerussalem Research Academy (ISRA) Ankara, Turki, ini.

Lantas, persiapan keilmuan seperti apa yang harus dimiliki oleh umat Islam? Apa saja langkah-langkah beliau dalam menguatkan keilmuan tentang Baitul Maqdis?

Penulis buku Roadmap Nabawiyah Pembebasan Baitul Maqdis ini menjelaskannya kepada wartawan majalah Suara HidayatullahAhmad Damanik, dan penerjemah, Muhammad Amin Insani. Perbincangan berlangsung di sela-sela kegiatan Safari Emas Baitul Maqdis 2022 yang diselenggarakan oleh Sahabat al-Aqsha dan Institut al-Aqsha (ISA )di beberapa kota Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Pekanbaru.

Simak wawancara selengkapnya.*

Seberapa penting fondasi keilmuan tentang Baitul Maqdis harus dikuasai oleh kaum Muslimin?

Kalau kita melihat sejarah Nabi SAW, inilah fondasi pertama yang Nabi prioritaskan. Langkah berikutnya setelah keilmuan itu matang. Makanya, usaha apapun yang kita lakukan kalau tidak berlandaskan keilmuan, akan gagal, baik tentara atau apapun. Sampai sekarang kita lihat gagal terus dan Baitul Maqdis belum merdeka, karena umat belum banyak perhatian terhadap keilmuan.

Bagaimana kita mau membebaskan, kalau kita tidak tahu hakikat ilmu dan ma’rifah Baitul Maqdis? Pengetahuan yang dimaksud adalah tentang seluk-beluk semua hal tentang Baitul Maqdis, kedudukan Baitul Maqdis, dan mengapa kita harus perhatian. Kalau kita sudah paham dan mengerti, pasti akan muncul perasaan harus kita perjuangkan.

Ini juga sesuai dengan firman Allah SWT, belajar atau ketahui dulu, sudah paham baru kerjakan. Ulama juga mengatakan, “Ilmu itu adalah pemimpin amal dan amalan itu mengikuti ilmu.”

Hal-hal keilmuan apa saja yang perlu dipahami? 

Misalnya lokasi geopolitik Baitul Maqdis, pengaruh Baitul Maqdis terhadap dunia, pengaruh Baitul Maqdis terhadap daerah terdekatnya sampai seluruhnya. Kita juga harus mengetahui ayat-ayat dalam al-Qur’an dan Hadits-hadits yang bercerita tentang Baitul Maqdis. Ada juga ilmu-ilmu fiqih tentang Baitul Maqdis, sejarah Baitul Maqdis, juga masa depan Baitul Maqdis dari pandangan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Bukankah selama ini telah banyak ulama yang menyampaikan tentang Baitul Maqdis?

Belum banyak ulama yang memperhatikan, belajar, dan meneliti tentang keilmuan tadi. Paling banyak membaca Hadits tentang kecintaan terhadap Baitul Maqdis.  Hal ini saya rasakan pada tahun 1964, makanya saya menghabiskan waktu dua tahun untuk membaca semua buku literatur tentang Baitul Maqdis, baik yang bahasa Arab maupun Inggris.

Belum ada yang menulis secara memadai buku tentang hasil penelitian yang resmi dari hasil pendidikan yang diakui.

Upaya pembebasan Baitul Maqdis terus diperjuangkan oleh segenap umat Islam. Menurut Anda tetap masih ada yang kurang?

Asas keilmuan yang masih kurang. Yang ada masih dalam bentuk rasa cinta. Kita memang tetap cinta dan perhatian pada Baitul Maqdis, tapi harus berdasarkan ilmu.

Misalnya, ketika Gaza diserang oleh Israel, demo terjadi di seluruh dunia. Tapi setelah itu selesai begitu saja. Seharusnya, ketika level keilmuan telah terbentuk, akan melahirkan ma’rifah lebih tinggi. Kita akan menjadi semakin tergerak, bahwa urusan Baitul Maqdis ini bukan sekadar urusan orang Palestina, namun tanggung jawab kita sebagai umat Islam. Dan, kita menjadi bagian orang yang bergerak untuk pembebasan Baitul Maqdis.

Ketika asas keilmuan dan ma’rifah telah terwujud, langkah seperti apa yang harus diwujudkan?

Kalau keilmuan atau ma’rifah sudah sampai ke seluruh umat Islam, tentu pastinya mereka berkumpul untuk membuat satu strategi dalam melakukan pembebasan karena sudah punya satu frekuensi. Memikirkan bersama bagaimana strategi dan caranya. Dan tentunya, membuat strategi yang dibimbing oleh para ulama.

Di Indonesia banyak lembaga yang membawa misi bantuan pada Baitul Maqdis atau Masjid al-Aqsha. Bagaimana menurut Anda?

Banyaknya lembaga-lembaga ini perlu kesatuan visi dalam hal keilmuan tentang Baitul Maqdis. Apa yang dikerjakan harus berlandaskan ilmu tadi, tidak sekadar mengajak orang untuk cinta Palestina dan mengumpulkan donasi.

Kita membutuhkan ilmu bagaimana membebaskan Baitul Maqdis. Ilmu yang bisa diamalkan dalam mengubah pemikiran umat dalam pembebasan Baitul Maqdis.

Strateginya bagaimana agar pondasi keilmuan ini dapat kuat di tengah umat, terutama di Indonesia?

Kita ketuk pintu satu-satu, datangi mereka. Kita kasih buku ini (Roadmap Nabawiyah Pembebasan Baitul Maqdis -red). Buat daurah-daurah keilmuan. Buat training of trainers untuk para pengajar daurah. Setelah belajar semua itu, harus punya agenda kegiatan apa yang akan dilakukan. Tidak sekadar belajar.

Ini salah satu agenda kedatangan saya ke Indonesia. Insya Allah, saya siap mendatangi lembaga apapun atau personal siapapun yang siap untuk belajar. Begitu pun yang belum bisa dipahami, kita datangi terus.

Inilah contoh tahapan pembebasan Baitul Maqdis yang dilakukan sejak zaman Nabi dan zaman Shalahuddin al-Ayyubi, yaitu dengan penguatan keilmuan.

Tahapan tersebut akan mempercepat pembebasan Baitul Maqdis?

Benar sekali, insya’ Allah itu otomatis. Saya sangat fokus dengan keilmuan, karena setelah ini kita buat strateginya dengan cepat. Siapa yang mau buat strategi? Tentunya adalah umat Islam bersama para ulama dari Indonesia, Malaysia, Arab, dan dari seluruh dunia. Ulama mempunya peran yang sangat penting.

Insya’ Allah pembebasan yang ketiga ini akan terjadi pada zaman kita. Bukan pada zaman Imam Mahdi atau Nabi Isa AS, bahkan bukan zaman Dajjal seperti yang banyak orang kira.

Anda menjelaskan bahwa langkah yang perlu dilakukan di antaranya dengan melahirkan sarjana yang ahli Baitul Maqdis. Mengapa demikian?

Buku ini merupakan ringkasan dari penelitian saya selama kurang lebih 30 tahun. Menyampaikan keilmuan ini harus kepada semua level. Level yang paling tinggi adalah ulama. Kemudian, para penuntut ilmu, yaitu mahasiswa-mahasiswa yang kelak mereka akan menjadi ulama. Tidak semua universitas mempunyai perhatian terhadap hal ini. Dan yang termasuk level paling tinggi, selain ulama adalah para pemegang amanah kekuasaan.

Bisa diceritakan bagaimana Anda membuka bidang studi Baitul Maqdis di beberapa universitas?

Saya memulai hadirnya bidang studi Baitul Maqdis ini dari Britania, tepatnya di Universitas Aberdeen, Skotlandia. Saya memulai banyak penelitian tentang Baitul Maqdis dari negeri yang menjajah Baitul Maqdis. Di situlah saya banyak menghasilkan sarjana magister dan doktoral bidang studi Baitul Maqdis.

Dari situ saya mengembangkan negara Muslim lainnya, seperti di Malaysia dan Turki. Di Turki saya mendirikan program studi di dua universitas sekaligus, yaitu Universitas Ankara dan Universitas Mardin. Saya sekali belum ada di negara-negara Arab.

Alhamdulillah, ada beberapa orang Indonesia yang sudah belajar di Malaysia dan Turki. Insya’ Allah nanti kembali ke Indonesia menjadi ahli di bidang keilmuan Baitul Maqdis.

Sebelum itu, saya telah menjadi profesor di Universitas Stirling, Skotlandia. Selama dua tahun saya membuat Academy for IslamicJerussalem Studies. Kemudian, akademi itu saya daftarkan ke Britania secara resmi.

Sambil mengajar di Universitas Stirling, saya mengajukan agar dapat mengajar keilmuan tentang Baitul Maqdis. Awalnya hanya mengajar untuk mahasiswa sarjana, berikutnya dikembangkan untuk mahasiswa magister dan doktoral. Setelah semuanya berjalan baik, saya mencoba untuk mengajukan di 30 universitas yang ada di Britania. Ada yang menolak, ada juga yang menerima. Salah satu yang menerima adalah Universitas Abertay Dundee, Skotlandia pada tahun 2001. Saya menjadi pengajar di sana untuk mahasiswa magister dan doktoral. Tahun 2004, saya pindah ke Universitas Aberdeen.

Menurut Anda bagaimana peluang mendirikan bidang studi tersebut di Indonesia?

Hal ini sudah saya usulkan di beberapa universitas di Indonesia. Baru dijawab, “Bagus ini, tapi nanti-nanti ya.” Kalau ada universitas yang bersedia, saya siap mengajarkan dan memberikan semua materi di S2 dan S3.

Kurang lebih ada 10 universitas yang pernah saya datangi, seperti di Bandung, Pekanbaru, dan Jakarta. Belum ada yang merespons.

Indonesia ini negara Muslim terbesar. Harusnya, bisa buat studi Baitul Maqdis, meskipun hanya satu. Kalau Hidayatullah ingin buat, “Ahlan wa sahlan.”

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,400PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles