21.4 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Perangkap AS, Ambisi Putin, dan Arah Diplomasi Indonesia

Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyedot perhatian dunia internasional, termasuk Indonesia. Invasi militer yang dimulai Rusia sejak 24 Februari lalu telah menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Ukraina mengklaim belasan ribu pasukan Rusia tewas serta hampir 2.000 unit kendaraan militer Moskow berhasil dihancurkan.

Hingga tulisan ini dibuat, negosiasi antara kedua belah pihak yang berlangsung di Belarusia masih deadlock dan perang terus menjalar hingga ke kota-kota strategis Ukraina, menimbulkan korban sipil. Total sudah lebih dari 1,5 juta jiwa mengungsi ke Eropa. Bila konflik berlanjut, PBB mengatakan jumlah pengungsi, baik di dalam Ukraina atau melintasi benua biru dapat menembus 10 juta orang.

Fluktuasi Hubungan NATO-Rusia

Kalau menilik situasi yang terjadi, konflik ini sebenarnya tidak lepas dari hubungan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara)-Rusia. Moskow mendesak AS serta NATO memastikan bahwa Ukraina tak bergabung dalam aliansi dan berhenti melakukan ekspansi di Eropa Timur. Tapi, keduanya kompak menolak. Menurut Washington, Ukraina berhak menentukan sendiri kebijakan keamanan mereka.

Namun, tidak selamanya hubungan kedua blok ini diwarnai ketegangan. Setelah Soviet runtuh, NATO memiliki kedekatan dengan Rusia. Tahun 1997, NATO serta Rusia menyetujui Undang-Undang (UU) Pendirian tentang Hubungan, Kerjasama, dan Keamanan antara NATO dan Federasi Rusia.

Presiden AS, Bill Clinton dan Presiden Rusia, Boris Yeltsin pada waktu itu sepakat mengenai pentingnya membangun hubungan kerjasama antara NATO dan Rusia. UU itu memberikan dasar untuk kemitraan yang langgeng dan kuat antara NATO dan Rusia.

Setelah UU ini berdiri, kedua ppihak mendirikan Dewan Kerja Sama NATO-Rusia pada tahun 2002 untuk memperat hubungan satu sama lain. Dewan ini memiliki prinsip; NATO dan Rusia tidak menganggap satu sama lain sebagai musuh. Rusia juga menunjukkan keinginannya untuk tetap berada dalam hubungan keamanan yang kooperatif.

Konstelasi berubah saat Putin naik kekuasaan Rusia pada tahun 1999. Hubungan Rusia serta NATO mulai mengalami masalah. Putin mulai melihat NATO menjadi ancaman Rusia. Selanjutnya, Rusia mulai mengeluarkan doktrin militer baru yang mengidentifikasi ancaman potensial bagi Moskow.

Faktor yang membuat retaknya hubungan NATO-Putin, yaitu kegagalan Moskow bergabung ke NATO, permintaan Ukraina dan Georgia (dua bekas negara Soviet) gabung pada tahun 2008, dan terjungkalnya Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang pro Putin pada tahun 2014.

Sejak itu, doktrin militer Rusia berubah. Secara tegas menyebut NATO sebagai ancaman bagi Kremlin. Sebenarnya ini merupakan cara Putin mempertahankan kekuasaannya di Rusia. Sebab mantan intelijen KGB itu melihat posisinya tengah terancam dengan Revolusi Oranye—gerakan pro-demokrasi dukungan Barat, di Eropa Timur. Putin pun khawatir kampanye ini akan mengetuk pintu Moskow.

Alasan AS Enggan Terlibat

Banyak analisa mengatakan bahwa sejatinya perang di Ukraina adalah perangkap yang disiapkan Washington untuk memancing Rusia. AS berupaya memperlemah kekuasaan Rusia yang menjadi sekutu China.

Dengan masuk ke Ukraina, Rusia mendapat gelombang sanksi dari negara-negara Eropa dan Asia Pasifik yang berpengaruh pada ekonominya. AS sengaja mengipasi Ukraina melawan Rusia tanpa berniat terlibat kalau terjadi perang. Setidaknya ada lima alasan kenapa AS enggan terlibat di Ukraina.

Pertama, Ukraina bukan kepentingan nasional AS sebab tak terletak di perbatasan AS. Negara itu juga tidak menjadi tuan rumah pangkalan militer AS. Selain itu, tak memiliki cadangan minyak strategis serta bukan mitra dagang utama Paman Sam.

Kedua, Biden tidak memiliki niat melakukan intervensi karena kebijakannya lebih fokus menangani pandemic, perubahan iklim, dan bersaing dengan China di Indo-pasifik.

Ketiga, warga AS juga menolak perang. Jajak pendapat oleh AP-NORC baru-baru ini menunjukkan 72% warga AS mengatakan negaranya harus memainkan peran kecil dalam konflik Rusia-Ukraina, atau tidak sama sekali.

Keempat, AS lebih fokus menghadapi inflasi. Karena menutup tahun 2021 dengan tingkat inflasi menembus 7 persen, tertinggi sejak tahun 1982. Masih berlanjutnya disrupsi rantai pasok dan gelombang omicron membuat prediksi harga konsumen pada tahun ini masih akan panas.

Kelima, Biden tidak ingin memicu perang dunia. AS tidak ingin mempertaruhkan bentrokan langsung antara pasukan AS dengan Rusia di Ukraina. Menurut Biden, Rusia termasuk salah satu tentara terbesar di dunia. Dan ini menjadi situasi yang sangat sulit jika harus dihadapi AS.

Arah Diplomasi Indonesia

Indonesia perlu melakukan terobosan diplomasi, tidak melulu hanya mengecam, prihatin maupun menyampaikan suara dalam resolusi sidang PBB. Dalam konteks perang Rusia-Ukraina ini, Indonesia harus menjalani door-to-door diplomacy guna meredam gejolak. Presiden Joko Widodo harus berani mendatangi Vladmir Putin, Joe Biden, Boris Johnson, Xi Jinping, dan lainnya.

Hal inilah yang dilakukan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang menghubungi kedua pihak, dan juga negara-negara blok NATO. Belarusia Alexander Lukashenko mengaku bekerja dengan Turki mengatur pertemuan antara pemimpin Rusia dan Ukraina.

Di sini, Turki menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Meski dekat dengan Putin, Turki keras menolak invasi Rusia. Sebaliknya, walaupun Turki anggota NATO, Erdogan berani menyerukan NATO bersikap proaktif meredakan ketegangan.

Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mencegah kepentingan elit NATO dan Rusia untuk menyeret umat Islam dalam perang. Umat Islam sangat rentan dimanfaatkan oleh para penguasa untuk memuluskan kepentingan negara-negara besar. Sebuah video dari saluran berita Rusia, RT, menunjukkan ribuan pasukan Republik Chechnya di bawah Ramzan Kadyrov berkumpul di alun-alun utama ibu kota wilayah itu, Grozny, untuk menunjukkan kesiapan berperang di Ukraina.

Kadyrov memang sudah memiliki rekam jejak membantu Putin ketika Moskow menginvasi Georgia (2008), Krimea (2014), dan Suriah (2016). Di Suriah, mereka terlibat lobi-lobi kepada warga Ahlussunah di Suriah untuk tidak takut terhadap pasukan Putin. Meskipun dalam sejarahnya, ratusan ribu warga Muslim tewas di tangan aliansi Assad-Putin.

Mufti Krimea Aider Rustemov sebelumnya mengimbau agar tentara Muslim yang bertugas di tentara Rusia agar meninggalkan unit mereka karena khawatir dipaksa berperang melawan saudara-saudara Muslim di Ukraina. Sebagai catatan, jumlah Muslim di Ukraina sendiri ada 400 ribu, yang mayoritas berasal dari Muslim Tatar. Pada tahun 2014, saat Krimea dianeksasi Rusia, puluhan ribu Muslim Tatar harus mengungsi dari rumah sendiri.

Penulis: Pizaro Gozali Idrus (Dosen Hubungan Internasional Universitas al-Azhar Indonesia)

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles