Presiden Donald Trump mengumumkan apa yang disebutnya sebagai “Deal of the Century” alias “Kesepakatan Abad Ini.” Dokumen yang judul resminya adalah “Visi untuk Peningkatan Kehidupan Orang-orang Palestina dan Israel” itu menggariskan tawaran AS (Amerika Serikat) untuk permasalahan Palestina. Uniknya, tidak ada seorang Palestina pun yang terlibat. Sementara itu, di samping Trump, Perdana Menteri Benyamin Netanyahu tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya.
Seperti yang diketahui semua orang, proposal yang ditawarkan Trump dan dirancang oleh tim yang dipimpin oleh menantunya, Jared Kushner, sepenuhnya merupakan penerjemahan dari keinginan kelompok-kelompok radikal Yahudi yang menguasai politik Israel.
Palestina jelas menolak. Abbas yang dianggap kompromis pun menyatakan “seribu kata tidak” atas proposal tersebut. “Saya tidak akan membiarkan diri saya tercatat sebagai orang yang menjual Jerusalem,” kata Abbas di sela-sela pertemuan Liga Arab di Kairo yang menyatakan penolakan sterhadap proposal tersebut (DW, 01/02/2020).
Isi Tawaran AS
Berikut ini beberapa hal yang harus kita ingat dari proposal yang konon dirancang sejak tiga tahun lalu ini.
Pertama, dari segi wilayah. Israel diberikan hak untuk menganeksasi sebagian Tepi Barat. Wilayah-wilayah pemukiman ilegal yang selama ini dianggap melanggar hukum internasional dianggap sah. Israel juga akan menguasai wilayah Lembah Yordan, sehingga Palestina tidak punya akses ke Yordania dan menjadi terisolasi. Negara Zionis itu tidak diminta untuk membatalkan pemukiman ilegal yang sudah berdiri sekarang. Sebagai gantinya, Israel memberikan sebagian tanah tandus di Gurun Negev untuk orang-orang Palestina.
Kedua, mengenai persoalan Jerusalem. Israel akan menguasai sepenuhnya kota Jerusalem sebagai ibukota. “Negara” Palestina yang ditawarkan melalui proposal ini akan diberikan wilayah di luar kota Yerusalem, yang sekarang memang sudah dihuni oleh orang-orang Palestina, yang kemudian secara pura-pura akan disebut sebagai “Yerusalem Timur.”
Ketiga, Trump menawarkan “Negara Palestina” yang sebenarnya tidak menjalankan fungsi negara. Hanya nama tanpa arti apa-apa. Wilayah “Negara Palestina” yang ditawarkan akan menjadi wilayah yang “berlubang-lubang” dengan pemukiman Israel di sana-sini dan kendali Israel sepenuhnya di semua aspek kehidupan. Negara tersebut tidak boleh punya tentara dan harus membubarkan semua milisi seperti HAMAS. Israel yang akan mengatur keamanan dan ruang darat, laut, maupun udaranya. Sebagai gantinya, Negara Palestina tersebut akan mendapatkan bantuan ekonomi yang besar. AS juga menjanjikan pembangunan infrastruktur untuk menghubungkan Gaza dengan Tepi Barat. Dari mana dananya? Kemungkinan dari negara-negara Arab sekutu AS.
Keempat, para pengungsi Palestina tidak akan mendapatkan hak untuk kembali ke tanah kelahirannya. Mereka akan diintegrasikan kenegara Palestina baru yang tidak punya kewenangan itu, diintegrasikan sebagai warga negara di negara mereka mengungsi sekarang, atau menjadi warga dari negara ketiga yang lain.
Mengapa Trump Menawarkan Proposal Ini?
Melihat butir-butir tersebut, sangat wajar sebagian pengamat hubungan internasional bahkan menganggap bahwa proposal ini tidak masuk akal dan sudah layu sebelum berkembang. Alih-alih Deal of the Century, ini adalah “Steal of the Century” (“Pencurian Abad Ini”). Namun, mengapa Trump tetap ngotot mengajukannya? Barangkali, memang proposal ini tidak dirancang untuk berhasil, tapi untuk tujuan-tujuan lainnya.
Tujuan pertama berkaitan dengan politik domestik di ke dua Negara sekutu tersebut. Pada awal tahun 2020, Trump sedang menghadapi ancaman pemakzulan (yang kemudian gagal karena Senat AS dikuasai oleh Partai Republik). Pada saat bersamaan, Trump juga sedang berjuang untuk dipilih kembali untuk periode kedua. DI Israel, Netanyahu sedang diselidiki karena korupsi. Ia juga akan menghadapi pemilu pada 2 Maret 2020 setelah pemilu sebelumnya gagal menghasilkan pemerintah Israel yang baru karena ketidak berhasilannya membuat koalisi. Kedua politisi ini membutuhkan panggung untuk memobilisasi pendukungnya. Netanyahu bahkan berjanji untuk menganeksasi Tepi Barat secepatnya sebelum Pemilu, dan proposal ini seakan menjadi lampu hijau untuk tindakan tersebut.
Tujuan kedua, memaksakan proses perundingan yang semakin menguntungkan Israel. Meskipun sejak dahulu selalu membela zionis, AS masih menghitung reaksi dari negara-negara Arab sehingga ada sedikit ruang yang diberikan untuk otoritas Palestina, selama mereka mau tunduk, untuk setidak nya berpura-pura bahwa Otoritas Palestina memiliki otonomi. Namun, Israel dan Trump melihat peta Timur Tengah telah berubah, dengan negara-negara Arab yang paling penting tidak lagi menganggap pembelaan pada Palestina sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Karena itu, mereka hendak membuat “standar baru” untuk tuntutan-tuntutan negosiasi.
Hal ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh lobi Israel di AS. Akun Twitter Perdana Menteri Israel santai saja mengatakan, Israel mendorong pembuatan aturan hukum di AS untuk kepentingan Israel.
Apa konsekuensinya?
Proposal ini memang dirancang tidak untuk menghadirkan perdamaian atau bahkan untuk dibicarakan dalam perundingan serius. Melihat motivasi dari Trump dan Netanyahu, keduanya tidak peduli apakah rencana tersebut akan dirundingkan atau tidak. Yang penting, proposal tersebut memberikan landasan untuk tindakan di lapangan.
Yang jelas, Netanyahu langsung mengumumkan bahwa Israel akan segera menganeksasi Tepi Barat dengan kekuatan penuh. AS yang merasa waktunya kurang tepat karena akan memicu reaksi dari negara-negara Arab meminta Israel untuk menahan diri. Negara zionis menunda untuk sementara, tapi menyatakan dengan jelas bahwa pihaknya akan segera melakukan aneksasi. Tinggal menunggu izin resmi dari Washington.
Dari sisi Palestina, proposal ini menjadi tamparan keras untuk Otoritas Palestina. Zena Agha, penulis Palestina, menuliskan bahwa pelajaran dari peristiwa ini adalah bahwa Otoritas Palestina telah bangkrut (Agha, 2020). Sejak 25 tahun yang lalu, dengan iming-iming kemerdekaan melalui negosiasi, Otoritas Palestina telah menjadi bagian dari upaya melanggengkan penjajahan dengan sikap tunduknya pada Israel, termasuk memata-matai rakyatnya sendiri dan menguatkan kendali Israel atas kehidupan sehari-hari. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Palestina tidak pernah benar-benar didengar dalam “perundingan damai” yang tidak pernah adil itu. Bahkan orang-orang seperti Abbas yang selama ini dianggap dekat dengan AS dan Israel pun bisa dibuang begitu saja saat Israel merasa sudah cukup percaya diri karena kekuatan perlawanan sudah dipreteli melalui pecah belah dan dukungan dari negara-negara Arab melemah.
Apakah zionis akan menang dan Palestina dipaksa tunduk? Hal ini akan tergantung pada respon rakyat Palestina dan komunitas internasional, termasuk umat Islam di seluruh dunia. Jika Palestina mampu mengonsolidasikan diri dan membuka jalan baru yang tidak didikte oleh Israel, insya Allah masih ada harapan.
* Shofwan Al Banna Choiruzzad (Pengamat dunia Islam dari UI)
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020