Pariwisata halal di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Banyak penghargaan diraih, di antaranya peringkat pertama dunia tahun 2019 sebagaimana yang dirilis lembaga riset wisata halal Global Muslim Travel Index (GMTI).
Menurut Ketua Perhimpunan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), Riyanto Sofyan, hal ini sangat berpengaruh pada eksistensi wisata halal Indonesia di kancah Internasional. Sayangnya, ujarnya, Indonesia turun ke peringkat empat pada tahun 2021.
“Tidak menutup kemungkinan posisi Indonesia akan turun lagi pada tahun 2022. Lha wong kita tidak mengerjakan apa-apa,” ungkap Riyanto Sofyan, kepada Suara Hidayatullah.
Berbeda dengan Malaysia yang punya komitmen dengan dibuatnya direktorat khusus untuk Islamic Tourism Center. “Otomatis lanjut terus perkembangan mereka,” terang pria kelahiran Jakarta, 26 Juni 1958 ini.
Riyanto menuturkan, pemerintah harus perkuat sisi kebijakan dan kelembagaan. Saat ini, wisata halal tidak pernah ada payung hukumnya. Berbeda dengan pariwisata umum yang sudah diakomodasi dalam undang-undang.
“Regulasi terkait wisata halal sangat minim. Pernah ada peraturan Menteri Nomor 2 tahun 2014 tentang pedoman perhotelan syariah, tapi kemudian tahun 2016 dianulir. Sampai saat ini belum lagi ada aturan wisata halal yang diundangkan pemerintah,” ucap Riyanto
Jika demikian, kata Riyanto, pariwisata halal tidak akan berkembang cepat jika hanya mengandalkan pelaku industri yang gerakannya terbatas tanpa dukungan aturan. “Tidak mungkin dibiarkan industri berkembang sendiri,” tutur Riyanto sebagai pegiat sekaligus pelopor wisata halal.
Bersamaan dengan daya tarik pariwisata dan gaya hidup halal yang terus berkembang, Indonesia sebagai pasar Muslim terbesar tentu dapat mengkapitalisasi posisi pasarnya menjadi produsen dan destinasi unggulan pariwisata halal dunia.
Secara potensi, papar Riyanto, Indonesia memiliki modal besar menjadi penguasa halal global. Bicara pasar halal sudah pasti besar. “Kita realistis saja, sekarang yang punya mall itu siapa? non-Muslim. Tapi di mall, musholanya bagus, layaknya masjid dengan kapasitas sampai 700 orang,” urainya.
Pemerintah, kata Riyanto, mesti realistis jika berambisi jadi pusat produsen halal dunia tahun 2024. “Harus ada di RKP (Rencana Kerja Presiden), kalau tidak ada repot. Jadinya cuma ngomong saja,” tegasnya.
Jadi Komoditas Politik
Umat Islam di Indonesia cukup sensitif ketika menggunakan istilah syariah. Berbeda dengan negara jiran, Malaysia yang bisa menerima syariah jadi hukum positif. Inilah di antara hambatan pengembangan wisata halal.
Riyanto mengungkapkan beberapa kasus pariwisata halal yang dapat penolakan sekitar tahun 2019 lalu, seperti di Bali, di NTT, dan Danau Toba (Sumut). Banyak pihak protes dengan menyebut islamisasi, arabisasi, sampai intoleran.
Menurutnya, semua itu bermula ketika wisata halal jadi komoditas politik. Dibicarakan dalam panggung debat calon presiden. “Dulu-dulu tidak pernah ada masalah, karena masuk ranah politik kemudian jadi masalah yang kontra produktif,” bebernya.
Sebagai industri, ia selalu mengingatkan agar pegiat wisata halal lebih pintar menggunakan bahasa umum. Bicara manfaat, fitur, layanan, apa yang dibutuhkan. “Jadi wisata halal itu sebenarnya wisata ramah keluarga. Halal itu dijual untuk yang Muslim, tapi kalau untuk yang baguskan untuk semua,” ujar perintis hotel syariah di Indonesia ini.
Tetap Optimis
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) belum memberikan perhatian maksimal terhadap wisata halal. Meski begitu, Riyanto bersama PPHI percaya diri mampu bersaing secara global. “Kalau masalah produk, pelaku pariwisata halal Indonesia siap,” ujarnya.
Dia melanjutkan paling tidak ada dua motivasi pelaku industri. Pertama, karena pasar. Kedua, karena komitmen cari rezeki yang berkah.
“Berkembang bisa tanpa didukung, karena pasarnya memang ada. Cuma akan lebih cepat kalau di dukung pemerintah. Bisa lebih optimal. Bagi yang cari rezeki berkah mau didukung pemerintah atau tidak, kita tetap jalan. Kita tetap akan ada inovasi,” terangnya.
PPHI sendiri telah menyusun pedoman penyelenggaraan wisata halal. Seperti untuk pengembangan destinasi, parameter yang dikembangkan, desain strategis rencana aksi, dan standar pedoman usaha. Standar itu seperti hotel, biro perjalanan, spa, restoran, hingga pengembangan sumber daya manusia.
Penyusunan langkah strategis juga diupayakan untuk menyesuaikan dengan parameter Global Muslim Travel Index (GMTI). Perhimpunan ini berharap langkah tersebut bisa didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah. Upaya penguatan sisi supply dan demand ini sangat perlu adaptasi, inovasi, dan kolaborasi, juga penyesuaian produk dan layanan sesuai kondisi kekinian.
Bersaing Dikancah Internasional
Survei terbaru Global Muslim Travel Index (GMTI) tahun 2021 menyatakan bahwa persaingan pariwitasa halal global antara negara sangat ketat. Penilaian di GMTI itu berdasarkan analisis empat kriteria strategis, yaitu akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan.
Negara seperti Malaysia, Turki, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar merupakan pesaing utama. Dengan semua potensi, faktanya Indonesia bisa mendulang posisi pertama. Asal pemerintah mau serius menggarap.
Kini, Indonesia memiliki 10 destinasi prioritas pariwisata halal. Sepuluh destinasi, seperti: Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Lombok, dan Sulawesi Selatan.
Menurut Riyanto, ada beberapa tantangan pengembangan pariwisata halal di Indonesia Pertama, isu mengenai pemahaman, wawasan, paradigma, stigma, apriori, dan perspektif. Kedua, tingkat kesadaran, komitmen dan kompetensi untuk menggarap prospek pasar industri pariwisata dan gaya hidup halal. Ketiga, kondisi ekosistem pariwisata dan gaya hidup halal (standarisasi, sertifikasi, peningkatan kapasitas. Keempat, tingkat kegiatan branding dan promosi Indonesia sebagai Halal Tourism Destination.
Penulis: Azim Arrasyid/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022