وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyeru (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran [3]: 104)
Menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) merupakan dua hal yang harus dilakukan secara bersamaan, demi kehidupan yang harmonis dan berkeadilan.
Mencegah kemungkaran memang tak semudah menyuruh pada kebaikan, tetapi keduanya perintah Allah yang akan membawa pada keberuntungan. Faktanya, meskipun zaman terus berganti, tetapi hingga kini kemungkaran masih tetap dikerjakan manusia, baik secara pribadi maupun berjamaah.
Ironisnya, walau kemungkaran itu terang-terangan berada di depan mata, tidak setiap orang berusaha mencegah atau melarangnya dengan berbagai macam alasan.
Padahal, jika perbuatan mungkar sudah menjadi hal yang biasa di tengah masyarakat, maka bisa dipastikan kehancuran yang akan didapat. Karena itu, Islam memerintahkan umatnya agar serius memperhatikan masalah ini.
Makna Ayat
Syaikh as-Sa’di, dalam Kitab Tafsir as-Sa’di 1/42 menerangkan, bahwa ayat di atas merupakan petunjuk dari Allah kepada kaum Mukminin agar mereka mau berdakwah serta mengajak manusia ke dalam agama-Nya.
Ia mencontohkan, seperti ulama yang mengajarkan agama, para penasehat yang mengajak orang-orang non-Muslim masuk agama Islam, orang yang mengajak para pelaku menyimpang agar bertaubat, serta mengajak orang-orang untuk berjihad fii sabilillah.
Kemudian, Dewan Hisbah (lembaga amar ma’ruf dan nahi mungkar) yang ditunjuk pemerintah agar memperhatikan keadaan manusia dan mengajak mereka mengikuti syara’ seperti menunaikan shalat 5 waktu, membayar zakat, berpuasa, berhaji bagi yang mampu, dan mengajak kepada syari’at Islam lainnya.
Demikian juga, memperhatikan pasar, bagaimana timbangan dan takaran yang mereka pakai, apakah terjadi pengurangan atau tidak, serta melarang mereka melakukan kecurangan dalam bermu’amalah. Semua ini hukumnya fardhu kifayah.
Bahkan, tak sekadar itu, segala sarana yang menjadikan sempurnanya amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka harus sama-sama diperintahkan. Misalnya, menyediakan perlengkapan jihad untuk mengalahkan musuh, mempelajari ilmu agar bisa mengajak manusia kepada kebajikan, menuliskan buku-buku yang berisi ajaran Islam, membangun madrasah untuk mengajarkan agama, membantu pihak berwenang (Dewan Hisbah) dalam mewujudkan syari’at, dan sebagainya.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Yakni, memperoleh apa yang mereka inginkan dan selamat dari hal yang mereka khawatirkan.
Ibnu Katsir menerangkan, bahwa Allah memerintahkan kepada sejumlah orang untuk menyeru berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mungkar. Sebab, mereka adalah golongan orang-orang yang beruntung. Ad-Dahhak mengatakan, bahwa mereka adalah para sahabat yang terpilih, mujahidin yang terpilih, dan ulama.
Kemudian, Ibnu Katsir melanjutkan, selain kepada orang tertentu, urusan tersebut juga diwajibkan atas setiap individu dari umat ini.
Hal itu disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika masih tak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan tiadalah di belakang itu iman, barang seberat biji sawi pun.” (Riwayat Muslim)
Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, ”Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya. Kalian benar-benar harus memerintahkan kepada kebajikan dan melarang perbuatan mungkar, atau hampir-hampir Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya. Kemudian, kalian benar-benar berdoa (meminta pertolongan kepada-Nya), tetapi doa kalian tidak diperkenankan.”
Hadis-hadis mengenai masalah amar ma’ruf nahi mungkar cukup banyak. Demikian pula ayat-ayat al-Qur’an seperti yang akan disebut nanti dalam tafsirnya masing-masing. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/91)
Hukumnya Wajib
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama sepakat, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar hukumnya wajib kifayah sesuai kemampuan.
Maknanya, kewajiban ini terbebas apablia telah dilakukan oleh sekelompok orang dari umat Islam. Kendati demikian, kewajiban ini bisa menjadi wajib a’in, bila tidak ada orang yang melaksanakannya di suatu masyarakat atau kampung. Artinya, setiap individu akan berdosa jika melihat kemungkaran, tetapi ia tidak mencegah atau melarangnya.
Mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu sifat orang Mukmin. Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.” (At-Taubah [9]: 71)
Allah SWT telah menjadikan perkara ini sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik. Karena, amalan ini merupakan karakteristik serta keutamaan umat Islam atas umat lainnya.
Allah pun memuji kaum Muslimin dan memberitahukan kepada mereka sebagai umat dan manusia terbaik. Karena, mereka memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri dengan keimanan yang mewajibkan mereka menjalankan segala perintah-Nya. Kemudian, memenuhi kebutuhan untuk selain mereka dengan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Bentuknya yaitu berdakwah dan berjihad, serta menolak kesesatan dan kemaksiatan. Dengan karakter ini, mereka menjadi umat yang terbaik.
*Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2020