Peran MUI dikerdilkan dan sangsi juga dikurangi
Untuk mengatasi persoalan ekonomi Indonesia, Presiden Joko Widodo berkali-kali mengatakan ingin merevisi UU yang menghambat investasi. Dia berniat merampingkan peraturan yang berorientasi pada percepatan investasi.
Keinginan itu lantas diwujudkan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun dengan model Omnibus Law (UU baru yang memuat beragam subtansi aturan yang keberadaannya mengamendemen banyak UU).
Lewat RUU Cipta Kerja, ada 1.244 pasal dari 79 UU akan direvisi. Tentu banyak UU terdampak di dalamnya, termasuk UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Secara garis besar, RUU Cipta Kerja membuat sejumlah perubahan signifikan pada UU JPH.
Di antaranya soal kemudahan bagi pelaku usaha mikro dan kecil, pelibatan ormas Islam berbadan hukum dalam proses sertifikat halal, pemangkasan jangka waktu pengajuan dan proses sertifikasi halal, serta pengubahan sejumlah sanksi terkait regulasi itu.
Menghilangkan Peran MUI
RUU Cipta Kerja akan menghapuskan otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam penerbitan sertifikat halal. Hal ini tertuang dari definisi baru sertifikat halal yaitu pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. Sebelumnya, fatwa halal itu dikeluarkan oleh MUI.
Hal inilah yang membuat protes Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah. Menurutnya, dampak Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada UU JPH ini berpotensi menghilangkan peran ulama dalam penetapan fatwa atas produk halal. Menurutnya, hukum agama telah dikooptasi oleh hukum negara.
Hal tersebut dapat dicermati pada RUU Cipta Kerja yang berkaitan dengan pemfatwaan produk halal yaitu pada Pasal 1 angka 10 yang menyatakan: “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal.”
Pemerintah memberikan kewenangan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkan kehalalalan suatu produk. “Inilah masalah yang mempunyai potensi perlawanan dari umat Islam. Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama. Justru negara harus memperkuat posisi ulama dengan fatwanya, bukan malah mendelegitimasi apalagi menghilangkan,” ujar Ikhsan.
Sesuai dengan UU JPH Pasal 1 angka 10 bahwa “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI”. Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat ini harusnya diperkuat lagi oleh negara, bukan dicabut.
Bila RUU Cipta Kerja mengesahkan ketentuan pasal tersebut, maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan negara telah mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan, khususnya MUI.
Perubahan signifikan juga terdapat pada perubahan Pasal 7. Pada UU JPH, dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH hanya bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja aturan barunya adalah, “Ormas Islam yang berbadan hukum” juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama BPJPH.
Dalam RUU Cipta Kerja, ormas Islam akan dilibatkan mengeluarkan fatwa hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk (Pasal 32), kemudian penetapan fatwa kehalalan produk (Pasal 33). Dalam UU JPH, sidang fatwa halal itu hanya bisa dilakukan MUI.
Masih menurut Ikhsan, peraturan ini membuat pemerintah sedang dalam fase kemunduran 30 tahun ke belakang dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menganggu ketentraman masyarakat.
“Selama ini, masyarakat telah diberikan jaminan kenyamanan dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk yang berlogo halal MUI sebagai penanda jaminan kehalalan suatu produk yang tidak berdasarkan pernyataan sepihak dari pelaku usaha (self declare), meskipun pada dasarnya semua pelaku usaha ingin melakukan self declare atau menyatakan kehalalan produknya sendiri,” ujar Ikhsan.
Justru guna menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain. Bila ketentuan ini dipaksakan, negara sedang meruntuhkan bangunan moral yang selama ini dilakukan oleh para ulama.
Akibatnya, hal ini dapat menciptakan disintegrasi antar-ulama dan ormas Islam karena Ketentuan Pasal RUU Cipta Kerja membuka ruang kepada semua ormas Islam untuk memberikan fatwa tertulis atas sebuah produk.
Ini sangat berbahaya karena ulama yang selama ini telah bersatu dalam rumah besar MUI akan terpecah-pecah karena semua diberikan ruang untuk berfatwa. Maka persatuan umat Islam tidak akan pernah terjadi. Ini justru kemunduran cara pandang pemerintah yang akan memboroskan anggaran negara untuk memperbaikinya.
Sertifikat Auditor MUI Dihilangkan
Selanjutnya, Pasal 14 UU JPH yang mengatur Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH harus memenuhi persyaratan, antara lain: warga negara Indonesia; beragama Islam; berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi; memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan memperoleh sertifikat dari MUI.
Dalam RUU Cipta Kerja persyaratan tersebut ada yang dipotong yaitu memperoleh sertifikat dari MUI.
Tugas auditor halal harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi, memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk dan pengetahuan syariah, dengan standar yang telah dimiliki oleh MUI selama lebih dari 30 tahun.
Perubahan signifikan juga terdapat pada ketentuan pidana UU JPH. Pada Pasal 56, pelaku usaha yang tak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal diancam “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah)”.
Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, pelanggaran serupa hanya diganjar denda paling banyak Rp 2.000.000.000. Hanya jika denda itu tak dibayarkan, barulah pelaku usaha terkait bisa dikenai pidana penjara paling lama lima tahun.
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020