Seorang sahabat Rasulullah yang faqih dan shalih. Masuk Islam pada usia 18 tahun bersama tujuh puluh Anshar.
Mu’adz bin Jabal namanya. Beliau meriwayatkan 157 Hadits Rasulullah. Termasuk di antara empat orang yang mengumpulkan al-Quran pada masa Rasulullah. Lalu, diutus Rasulullah ke Yaman untuk mengajak penduduknya kepada hidayah Islam dan syariatnya. Beliau merupakan sahabat yang berfatwa di masa Rasulullah serta menyaksikan beberapa peperangan penting seperti Badar, Uhud, dan Khandaq.
Kelak sejarah akan mencatat nama beliau sebagai guru tahfidz al-Qur’an pertama di Baitul Maqdis, yang diutus oleh Amirul Mukminin ‘Umar bin Khattab pada masa kepemimpinannya.
Ikatan dengan Baitul Maqdis
Mu’adz ikut dalam barisan pasukan pembebas Baitul Maqdis. Beliau turut serta dalam perang Yarmuk, dan mencatatkan aksi heroik dalam peperangan tersebut.
Ketika terjadi perubahan formasi pasukan di akhir-akhir perang Ajnadin, Mu’adz memimpin pasukan sayap kanan. Lalu, di sayap kiri dipimpin oleh Hisyam bin al-‘Ash, saudara Amru bin al-‘Ash. Sedangkan pasukan infanteri dipimpin oleh Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail.
Sementara pasukan kavaleri dipimpin oleh Khalid bin Walid. Di antara pasukan itu yang berada di bawah komando Mu’adz di Ajnadin adalah Safinah, bekas budak Rasulullah.
Abu Ubaidah bin Jarrah memanggil Mu’adz dari front pasukan Yordania untuk bergerak ke Baitul Maqdis. Hal itu dilakukan di tengah proses negosiasi antara dirinya dengan pemimpin kota itu agar menyerahkan kota serta menyepakati bulir-bulir perjanjian damai. Ketika penduduk Aelia (nama lain Baitul Maqdis) melihat Abu Ubaidah tidak menyerah dan mereka tidak lagi mampu berperang melawan pasukan Muslim, mereka berkata, “Kami akan berdamai dengan kalian”.
Abu Ubaidah menjawab, “Saya menerima tawaran damai kalian”, mereka berkata, “Jika demikian, maka kirimkan surat kepada khalifah kalian Umar agar dialah yang memberikan kepada kita jaminan keamanan”.
Abu Ubaidah menerima permintaan penduduk Aelia dan segera menuliskan surat kepada Umar. Dan Abu Ubaidah tidak pernah memutuskan sesuatu kecuali telah mendengar pendapat Mu’adz terlebih dulu. Hampir-hampir Mu’adz tidak pernah meninggalkan Abu Ubaidah karena keinginan kuatnya untuk berjihad.
Maka, Abu Ubaidah menulis surat panggilan kepada Mu’adz yang ketika itu diutus ke Yordania. Saat Mu’adz tiba, Abu Ubaidah mengabarkan kepadanya permintaan penduduk Aelia. Lalu, Mu’adz berkata, “Anda ingin menulis surat kepada Amirul Mukminin dan memintanya untuk datang kemari, tapi tak menutup kemungkinan beliau akan datang, kemudian penduduk Aelia menolak perjanjian damai, hingga perjalanan beliau kemari akan sia-sia.
Karena itu, jangan langsung menulis surat kepada beliau sebelum Anda mengikat janji dengan penduduk Aelia, jika Amirul Mukminin datang, mereka harus menerima jaminan keamanan yang beliau buat dan menyepakati syarat-syarat kesepakatan damai yang beliau tulis.”
Abu Ubaidah kemudian membuat kesepakatan dengan mereka, jika Umar datang menuliskan jaminan keamanan, maka mereka harus menerimanya. Ketika mereka menerima kesepakatan itu, barulah Abu Ubaidah mengirim surat kepada Umar.
Mu’adz termasuk salah satu di antara pasukan yang bersama Umar menyaksikan pembebasan Baitul Maqdis dan menangis ketika mendengar adzan Bilal di Baitul Maqdis.
Setelah Abu Ubaidah wafat, Mu’adz menggantikannya memimpin pasukan, tetapi tidak lama berselang beliau terserang wabah penyakit Tha’un Amwas, menyusul Abu Ubaidah (18 H) pada usianya yang ke-33 tahun.
Al-Baladzri menyebutkan lokasi beliau wafat di al-Oqhwanah. Dan al-Oqhwanah sebagaimana disebutkan Yaqut al-Himawi merupakan sebuah tempat di Yordania, dan terletak di dekat Danau Tiberias. Sementara itu, Abdul A’la bin Mushir dalam kitab sejarah mengatakan, Mu’adz wafat tahun 17 H setahun setelah pembebasan Baitul Maqdis.
Mengajari Penduduk Baitul Maqdis al-Qur’an
Umar bin Khattab mengirim Mu’adz untuk mengajari penduduk Baitul Maqdis al-Quran. Di masa Umar memimpin, Yazid bin Abi Sufyan menulis surat kepadanya, “Sesungguhnya jumlah penduduk Syam semakin banyak serta memadati semua kawasan dan mereka membutuhkan orang yang mengajari al-Quran serta ilmu agama, karena itu bantu saya dengan orang-orang yang bisa mendidik mereka.”
Kemudian Umar memanggil kelima sahabat Anshar itu. Ia berkata, “Sesungguhnya saudara-saudara kalian dari penduduk Syam meminta bantuan kepada saya agar mengirimkan orang-orang yang bisa mendidik mereka al-Quran dan mengajarkan ilmu agama”.
Maka, yang akan berangkat adalah Mu’adz bin Jabal, Ubadah bin Shamit, dan Abu Darda’. Umar berkata, “Mulailah dari Homs, di sana kalian akan jumpai beragam orang yang berbeda. Kalau kalian telah ridha dengan mereka, maka satu di antara kalian menetap di sana, satu yang lain pergi ke Damaskus, dan yang lain pergi ke Baitul Maqdis.”
Mereka pun berangkat ke Homs, dan ketika mereka sudah ridha dengan mereka, Ubadah bin Shamit menetap di sana. Sementara Abu Darda’ pergi ke Damaskus, Mu’adz ke Baitul Maqdis sampai wafat. Lalu, Ubadah pergi ke Baitul Maqdis dan wafat juga di sana. Sedang Abu Darda’ tetap berada di Damaskus hingga wafat.
Dari Abdur Rahman bin Ghanm al-Asy’ari, Mu’adz mendatangi Baitul Maqdis dan tinggal di sana selama 3 hari 3 malam, mengerjakan puasa dan shalat, lalu pergi darinya. Saat berada di sebuah dataran tinggi, Mu’adz menoleh ke arah penduduk Baitul Maqdis dan berkata, “Sesungguhnya apa yang telah berlalu dari dosa-dosa kalian telah diampuni, maka apa yang akan kalian perbuat di sisa umur kalian?”
Ihram untuk Umrah dari Baitul Maqdis
Dan dari Abdullah bin Abi Ammar, ia berkata, “Saya berangkat bersama Mu’adz bin Jabal dan Ka’b. Keduanya dalam keadaan berihram untuk umrah dari Baitul Maqdis. Amir kami ketika itu adalah Mu’adz, dan dia juga yang mengimami kami shalat.” Imam Syafi’i mengatakan, “Di dalam riwayat ini terdapat petunjuk bahwa Mu’adz, Ka’b, dan selain mereka, berihram dari Miqat di Baitul Maqdis.
*Dialih bahasakan dari buku berjudul, “Mu’jam as-Shahabah fii Baytil Maqdis” yang ditulis oleh Dr. Usamah Jum’ah