15.3 C
New York
Minggu, Maret 23, 2025

Buy now

spot_img

Metafisika dalam Kajian Filosof Islam

Jika kebanyakan ilmuwan Barat meragukan objek-objek metafisik, maka para ilmuwan Muslim justru punya kepercayaan yang kuat.

Dalam sejarah pemikiran Islam, di antara objek studi yang paling hangat dan dinamis, yaitu pembahasan mengenai metafisik. Objek ini termasuk paling istimewa dalam filsafat Islam.

Sebagaimana diketahui, bahwa tema-tema filsafat berawal dari isu metafisik. Sebelum mengkaji tema-tema lainnya, perlu menyelesaikan persoalan “ada”, sebagai isu sentral dalam metafisik.

Kalau dikatakan sesuatu itu “ada”, lantas “bagaimana dia ada?”, “dari mana munculnya?”, “keberadaannya sejak kapan bermula dan kapan berakhir?”, “sebab keberadaannya apa?”, “adanya itu tunggal atau ada jenis-jenisnya?”.

“Jika bukan tunggal, lalu suatu yang ada itu dengan sesuatu yang ada lainnya terpisah atau menyatu?”, “apakah di luar sesuatu yang terlihat ada, adakah sesuatu yang ada lainnya?”, “saat suatu telah dipastikan ada (terdefinisikan), apakah kepastiannya itu secara tersendiri ataukah ada pihak lain yang musti memastikan adanya?”, dan pertanyaan-pertanyaan metafisik lainnya.

Jika pertanyaan-pertanyaan tentang ada ini diabaikan, maka kajian mengenai sesuatu itu sudah pasti tidak ada, dan itu artinya penelitian ilmiah berhenti.

Memang harus diakui bahwa filsafat berasal dari luar. Saat ilmu filsafat yang berasal dari Yunani masuk ke wilayah Islam, maka para cendekiawan Muslim melakukan kajian dengan metode tersebut.

Mereka berusaha mengkaji salah satu cabang ilmu filsafat, yaitu metafisika yang mempelajari dan memahami tentang penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu jadi ada. Metafisika objek kajiannya meliputi “Yang ada sebagai yang ada” dan “Yang ilahi”.

Menariknya, mereka memakai istilah yang berbeda dari konsep yang menjadi objek pembahasan sebelumnya. Karenanya tidak salah jika dikatakan secara tak langsung, Islam telah memiliki konsep metafisikanya sendiri yang berbeda dengan makna teks Yunani dan lainnya.

Sebagai contoh, dalam literatur bahasa Arab, metafisika seringkali disebut dengan ungkapan, ma’ba’d al-thabi’ah (sesuatu yang berada setelah alam), al-falsafah al ula (filsafat pertama), illahiyat (teologi, ketuhanan) atau bahkan hikmah (kebijaksanaan).

Jika kebanyakan ilmuwan Barat meragukan objek-objek metafisik, maka para ilmuwan Muslim justru punya kepercayaan yang kuat terhadap objek-objek metafisik “gaib” yang disebut ma’qulat. Yaitu objek-objek yang tidak dapat ditangkap panca indra, tetapi dapat dipahami oleh akal manusia.

Para filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari filosof-filosof lain. Ini yang membuat mereka tetap memegang prinsip-prinsip agama dan etika masyarakat Islam.

Cendekiawan Muslim yang mempelajari filsafat pertama kali, yaitu al-Kindi. Pria yang lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah ini berjasa membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dengan memberinya corak Arab keislaman.

Selanjutnya muncul al-Farabi yang lahir tahun 257 H (870 M) dari Turkistan. Dia diakui sebagai peletak fondasi filsafat Islam sehingga mendapat gelar al-Mou’allim al-Thani, Sang Guru Kedua setelah Aristoteles Guru Pertama dalam bidang filsafat.

Ia mendapat julukan tersebut karena berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato.

Dalam masalah metafisika, pemikiran al-Farabi sama dengan al-Kindi yang terpengaruh oleh Aristoteteles. Mereka menggunakan penjelasan tentang hubungan Tuhan dan alam dengan menggunakan teori emanasi (al-faid), bukan penciptaan. (Abu Nasr al-Farabi, Ara ’Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal 6).

Menurut mereka, Tuhan menciptakan alam ini dengan metode emanasi (pancaran) guna mencegah diri-Nya dari sikap yang baru. Konsekuensinya, alam memiliki sifat abadi (qadim) yang sama sebagaimana Tuhan, karena segala sesuatu yang tumpah dari yang qadim, juga qadim.

Dengan kata lain, Allah tidaklah menciptakan alam, tetapi sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Tuhan mencipta sesuatu dari yang sudah ada dengan cara pancaran.

Pemikiran ini kemudian juga dilanjutkan oleh filosof Islam berikutnya, yaitu Ibnu Sina. Pemikir yang lahir tahun 370H/980M ini hanya memiliki perbedaan sedikit, yaitu karena yang pertama mengalir dari Allah, maka memiliki aspek “ada karena keperluan” atau “ada yang mungkin ada” serta “ada yang wajib ada”.

Pemikiran al-farabi maupun Ibnu Sina itu, berawal dari keyakinan bahwa sifat  Tuhan tidak berbeda dengan zat.

Pemikiran ini mendapat kritikan yang keras dari filsof Islam berikutnya, yaitu Imam Ghazali. Ulama yang lahir pada tahun 450H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran) mengktirik pedas pemikiran itu karena dianggap dipengaruhi Aristoteles.

Menurut al-Ghazali, paham ini bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan, bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam. Alam haruslah tidak qadim dan ini berarti bahwa awalnya Tuhan ada, kemudian Tuhan menciptakan alam seperti yang sekarang ini.

Bagi Ghazali, apabila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam diciptakan oleh Tuhan. Menurut Ghazali, sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak telah ada, dan kehendak pun telah ada.

Bahkan hubungan kehendak sama objeknya pun telah ada. Kehendak Tuhan tidak bersifat sementara. Tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Tuhan untuk melakukan sesuatu. (Tahafut al-Falasifah, hal.96).

Begitulah tradisi Islam di dalam melihat serta memahami sebuah ilmu. Meski bukan dari Islam, bukan berarti ditolak, tetapi diseleksi dulu sesuai dengan syariat Islam.*Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2022.

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles