Setiap anak lahir dalam jujur. Maka tugas orangtua dan guru bukan menumbuhkan kejujuran, sebab anak memang lahir dalam keadaan jujur. Tidak ada anak yang pandai berbohong semenjak bayi. Tugas pendidiklah (guru maupun orangtua) untuk menjaga sekaligus mengokohkan kejujuran dalam diri anak di kehidupan sehari-hari. Tanpa kejujuran, anak tidak akan memiliki integritas pribadi.
Saya termasuk orangtua yang sangat keras terhadap masalah ini. Saya menghindari hukuman fisik, tetapi untuk masalah kejujuran, saya dapat bersikap keras kepada anak. Salah seorang anak saya pernah berbohong kepada saya. Ini terjadi ketika dia masih SD. Dia berbohong karena tahu apa yang dilakukannya itu salah dan dia bermaksud menutupinya dengan kesalahan berikutnya, yakni berbohong. Saya bersikap keras kepadanya, meskipun sesudah dia mengakui kesalahannya, saya memeluk dia.
Mengapa memeluknya? Ketika anak melakukan kesalahan, jangan memberi hukuman berlapis-lapis. Kehangatan tetap diperlukan, termasuk untuk meneguhkan semangatnya berubah dan menginsyafi kesalahan.
Saya teringat dengan peristiwa ketika Rasulullah mengeluarkan kurma zakat dari mulut cucunya, sebab keluarga Nabi saw diharamkan memakan harta zakat. Ini sikap sangat tegas dari seorang kakek kepada cucunya. Dan kakeknya adalah sebaik-baik pemberi petunjuk, yakni Rasulullah SAW yang beliau tidaklah bertindak dengan hawa nafsu. Tindakan yang cenderung keras untuk masalah tersebut, hikmahnya menjadikan anak menghindari syubhat. Jangankan yang haram, syubhat pun dihindari dan dijauhi sejauh-jauhnya.
Kasusnya memang sangat berbeda. Tetapi saya mengambil sikap keras untuk ketidakjujuran yang dilakukan anak saya, sebab ini induk perbuatan dosa. Dari aspek yang lain, kejujuran -lebih-lebih di masa kecil—sangat penting bagi terbentuknya kompetensi personal, yakni kecakapan mengelola dirinya. Ini berpengaruh besar terhadap karakter.
Jika kejujuran sudah tidak ada, mudah baginya untuk lepas tanggung jawab dan tidak mau mengambil risiko atas kesalahannya sendiri. Hilangnya kejujuran juga memudahkan anak untuk melempar tanggung jawab, mengorbankan teman, lalu melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya. Boleh jadi sebuah kesalahan, termasuk yang cukup fatal, awalnya anak melakukan secara tidak sengaja. Tetapi jujur dan tanggung jawab tetap penting.
Bahaya Hilangnya Kejujuran.
Boleh jadi anak memang tidak sengaja melakukan kesalahan. Tetapi membiarkan anak mengelak dengan melakukan ketidakjujuran, ini justru berakibat fatal. Ini membahayakan kepribadiannya di masa yang akan datang maupun imannya. Ingat, masalah terbesarnya justru menjadikan kesalahan anak (yang mungkin tidak sengaja) sebagai jalan untuk melakukan kesalahan yang lebih serius.
Apa akibatnya jika kita biarkan? Pertama, anak memperoleh hadiah atas kesalahannya dan ketidakjujurannya. Ini dapat membawa kepada serangkaian akibat serius berikutnya. Anak merasa tidak bertanggungjawab atas berbagai kesalahan, baik yang sengaja atau apalagi yang tidak sengaja. Atau anak membiasakan diri melempar tanggung jawab, meskipun dia tahu itu sebenarnya merupakan kesalahan dan tanggung jawabnya. Apa pun itu, keduanya cenderung menyebabkan anak melakukan kecerobohan terhadap kesalahan, sebab kesalahan tidak membawa risiko.
Akibat lebih serius, anak ringan mengulang kesalahan serupa atau kesalahan lain yang lebih berat karena merasa aman. Ia tahu cara mengelak. Pada saat yang sama, dan ini merupakan akibat kedua, tindakan seperti itu dapat menginspirasi anak lain melakukan hal yang sama, terutama ketika mereka ikut terkena risiko. Karena itu, jika anak-anak lain pun melakukan hal serupa, yakni menutupi kesalahan dengan melakukan ketidakjujuran, guru maupun orangtua perlu segera bertindak. Yang terbaik tentu saja tindakan preventif, yakni tidak menunggu masalahnya berkembang, guru sudah bertindak manakala anak menampakkan ketidakjujuran untuk mengelak dari tanggung jawab.
Jika ini tidak segera kita tangani, besar sekali peluangnya untuk terjadinya satu di antara dua: lingkungan kelas yang submisif atau bahkan menimbulkan dendam pada anak-anak yang tidak bersalah, tetapi ikut menanggung akibatnya. Apalagi jika ada akibat lanjutan, semisal anak dimarahi orangtuanya di rumah padahal ia tidak bersalah. Khusus tentang ini, saya ingin membahas secara lebih khusus dalam artikel berjudul Menghukum yang Tak Bersalah. Insya Allah.
Lingkungan submisif merupakan salah satu perusak iklim kelas.
Baik buruknya iklim kelas sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran. Bukankah keberhasilan kelas dipengaruhi oleh iklim kelas, manajemen kelas, kurikulum kelas (jabaran kurikulum di kelas) serta kecakapan guru menyampaikan materi kepada anak didiknya (classroom instruction)? Jadi, meskipun guru sangat terampil mengajar, jika iklim kelas buruk, maka pembelajaran tidak efektif. Mungkin saja ada satu dua anak yang menonjol, tetapi secara umum prestasi kelas kurang menggembirakan. Lebih buruk lagi jika iklim kelasnya buruk dan guru pun tidak terampil mengajar. Mungkin saja saat ujian semester hasilnya bagus, tetapi bukan karena anak menguasai betul pelajaran yang diujikan dan memahami konsepnya, tetapi karena anak sudah banyak berlatih mengerjakan soal.
Itu sebabnya membangun iklim kelas agar positif-konstruktif sangat penting. Begitu pula menjaga dari hal-hal yang merusak, tak kalah pentingnya. Di luar itu, lingkungan yang submisif maupun dendam merupakan dua dari empat penyebab kenakalan anak di kelas.
Baca Juga : Bahaya Kecanduan Gadget Pada Anak.
Membiarkan kenakalan berlanjut akan menyebabkan masalah meluas ke siswa lain dalam berbagai bentuknya. Salah satu akibat yang mungkin terjadi adalah sikap pasif pada diri siswa saat mengikuti pelajaran di kelas atau bahkan kegiatan di kelas secara keseluruhan.
Apa saja penyebab kenakalan itu? Pertama, mencari perhatian.
Anak melakukan kenakalan untuk memperoleh perhatian yang diinginkan. Akar masalahnya bisa berasal dari rumah, bisa juga berasal dari sekolah. Kedua, motif kekuasaan. Anak melakukan kenakalan karena ingin pegang kendali, menang atau kuasa. Akar masalahnya lingkungan submisif di rumah, sekolah atau lingkungan bermainnya. Ketiga, balas dendam. Anak merasa sakit hati terhadap perlakuan yang ia terima di rumah atau kelas, sehingga timbul dendam pada dirinya. Dorongan ini menyebabkan anak ingin melakukan tindakan yang merugikan dan ia tidak peduli dengan risiko yang akan ia hadapi, termasuk risiko gagal naik kelas. Keempat, anak melakukan kenakalan karena ingin menghindari kegagalan. Maknanya, anak merasa tidak dan sulit sekali meraih kesuksesan, lalu bertindak nakal agar dengan itu dimaklumi kegagalannya.
Nah, dari empat sebab tersebut, dua di antaranya dapat dipicu oleh penanganan yang salah dari guru ketika ada anak yang melakukan kesalahan-sengaja atau tidak sengaja— lalu menimpakan risiko pada semua anak, termasuk yang tidak bersalah. Guru melakukan tindakan tersebut, misalnya gagal mengungkap siapa yang melakukan kesalahan. Tindakan ini kemudian dapat memicu dua sebab kenakalan, yakni motif kekuasaan karena lingkungan kelas yang cenderung submisif serta dorongan balas dendam. Wallahu a’lam. OLEH MOHAMMAD FAUZIL ADHIM