Seorang filosof bernama Friedrich Nietzsche menyatakan “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!” (Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya). (Nietzsche Friedrich. Die fröhliche Wissenschaft, Drittes Buch, Aphorismus 125 “Der tolle Mensch” KSA 3, S. 480 ff.).
Pernyataan di atas merupakan kritik Nietzsche terhadap nilai-nilai keberagamaan (Kristen pada saat itu) yang dipengaruhi oleh ajaran Plato. Nietzsche menganggap kekristenan mengajarkan orang untuk menolak, membenci dan melarikan diri dari kehidupan dunia demi akhirat. Padahal, menurutnya, akhirat hanya mitos bersifat imajiner. Baginya, para tokoh agama adalah para pengajar maut karena membuat orang berpindah fokus dari hidup ke kematian.
Nietzsche mengajak manusia lepas dari intervensi ilahi dan nilai tertentu menuju kehidupan tanpa nilai sebagai syarat mutlaknya mewujudkan hidup penuh makna. Ajaran seperti ini melahirkan paham nihilisme dan atheisme.
Nihilisme ini memunculkan perasaan skeptis terhadap semua tatanan Tuhan yang tak relevan dengan perkembangan zaman. Paham itu menganggap Tuhan sebagai penghalang bagi manusia untuk mengembangkan dirinya. Karena itu, Tuhan harus ditiadakan dalam pikiran manusia. Inilah awal munculnya paham athesime.
Bahkan untuk memperkuat argumen Tuhan tidak ada, mereka mempertanyakan adanya kejahatan di dunia ini. Selama masih ada kejahatan, maka segala macam pembuktian adanya Allah, itu menjadi tidaklah berarti. Hans Kung, seorang teolog Katolik terkemuka menyebut, masalah kejahatan dijadikan sebagai, “The Rock of Atheism,” atau fondasi ateisme yang begitu kuat dalam membuktikan kalau Allah itu tidak ada.
Fitrah Manusia Mengakui Adanya Tuhan
Meski hakikat zat Tuhan tidak bisa dikenal secara sempurna, tetapi manusia lewat banyak jalan bisa memperoleh keyakinan terhadap adanya Tuhan. Konsep terkait Tuhan, sesungguhnya mudah dipahami, termasuk oleh mereka yang mengingkari keberadaan-Nya. Sebab, konsep ini sudah ada di dalam benak manusia itu sendiri. Setidaknya manusia mengetahui bahwa Tuhan itu adalah Pencipta seluruh entitas dan eksisten. Tuhan juga Maha Kuasa untuk melakukan segala perbuatan, kendati mereka tak menerima wujud Tuhan seperti ini.
Biasanya mereka akan sadar adanya sebuah entitas di luar kemampuannya ketika mengalami musibah seperti ingin tenggelam di laut atau jatuh dari tempat tinggi. Sebab dalam keadaan terjepit, secara naluria manusia membutuhkan pertolongan dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Hal ini juga terjadi di kebanyakan orang jahat dan tiran, tatkala terjerembab ke dalam pelbagai musibah dan penderitaan, mereka akan mengingat Tuhan dan dengan tulus hati perhatiannya akan tersedot kepada-Nya. Itulah yang disebut fitrah.
Allah menciptakan manusia dengan fitrah butuh kepada-Nya. Hal ini dijelaskan di dalam firman-Nya, “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. ar-Rum: 30). Syaikh Abdurrahman as-Sa’diy menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan fitrah ini, bahkan cinta terhadap fitrah ini. Menurutnya, semua hukum syariat secara zahir dan batin, telah Allah letakkan dalam hati manusia serta hati mereka akan cenderung pada fitrah ini. Allah Ta’ala memasukkan rasa cinta akan kebenaran.” (Tafsir as-Sa’diy, hal.752).
Penetapan sifat wujud (ada) bagi Allah, tidak berarti kita menetapkan harus ada yang mengadakannya. Karena ‘wujud’ (ada) itu ada dua macam. Pertama, wujud zat (ada dengan sendirinya), yaitu kalau keberadaannya bersumber pada dirinya, bukan didapatkan dari yang lainnya. Inilah keberadaan Allah Ta’ala serta seluruh sifat-Nya. Karena keberadaannya tidak didahului oleh ketidakadaan bahkan tidak disudahi dengan tidak ada. Hal ini sesuai firman-Nya “Dialah yang Awal dan yang akhir yang zhahir serta yang bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Hadid: 3).
Kedua, wujud Hadits (yang ada kemudian). Yaitu, sesuatu yang baru ada setelah sebelumnya tidak ada. Macam inilah yang harus mempunyai pihak yang pengada yang mengadakannya ataupun pencipta yang menciptakannya, yaitu Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatunya. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit serta bumi. Dan orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 62-63).
Berdasarkan hal ini, Allah Ta’ala disifati dengan sifat “maujud” (ada) dan dapat dijadikan berita dalam ucapan. Maka dapat dikatakan bahwa ‘Allah itu maujud (ada)’. Akan tetapi ‘wujud’ bukan nama, dia hanya sifat. (Fatwa Lajnah Daimah, 3/190-191).
Ini artinya setiap manusia itu memiliki makrifat, pengetahuan, dan kecondongan kepada wujud Tuhan Yang Maha Segalanya melalui jalan hati dan fitrah. Mereka lalai adanya Tuhan lantaran pelbagai pengaruh dalam kehidupannya. Jadi bukan lantaran tidak mengetahui Tuhan.
Bukti Rasional
Untuk membuktikan keberadaan Tuhan juga bisa dilakukan dengan cara empirik. Terkadang seseorang dengan observasi akurat dan pemikiran yang teliti tentang berbagai fenomena dapat terbimbing kepada wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Dengan memperhatikan beberapa keutamaan tipikal jalan ini, al-Qur’an memberi perhatian khusus terhadap masalah observasi emprik dan dalam banyak ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk merenungi fenomena-fenomena semesta yang ada di sekelilingnya.
Pada beberapa tempat di al-Qur’an, kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena alam. Isinya merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat atas wujud Tuhan dan mengajak manusia untuk memikirkan dan merenunginya. Mengenal Tuhan melalui fenomena alam merupakan pengenalan tanda-tanda takwini di alam penciptaan yang merupakan contoh nyata jalan empirik.
Adapun dalil logika yang dijadikan sandaran para ulama dalam menetapkan wujud Allah Ta’ala adalah bahwa setiap sebab pasti ada penyebabnya. Dan setiap yang baru pasti apa penciptanya. Orang yang tidak berpendidikan seperti orang badui, juga memahmi bawa anak onta menunjukkan adanya induk onta, jejak perjalanan menunjukkan ada yang berjalan. Demikian pula bumi penuh dengan tumbuh-tumbuhan, langit penuh dengan bintang gemintang, menunjukkan adanya Sang Pencipta.
Menurut Ibnu Taimiyah, semua umat umumnya mengakui adanya pencipta, namun mereka menyekutukan ibadah kepada selain-Nya. Karenanya, terhadap mereka yang mengingkari adanya Sang Pencipta –seperti Fir’aun- para Rasul menghadapainya dengan perkataan kepada mereka yang telah mengetahui kebenaran. Seperti ucapan Musa kepada Fir’aun, ‘Musa menjawab:
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.’ (QS. Al-Israa: 102). Ketika Fir’aun mengatakan, ‘Dan siapa Tuhan semesta alam.’ (QS. As-Syu’ara: 23), maka Musa mengatakan kepadanya, “Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya. Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.” Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.” Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” (QS. As-Syuara: 24-28). (Minhajus Sunnah, 2/270).
Dalil akal lain yaitu adanya keteraturan alam. Banyak ayat yang memerintahkan agar manusia memikirikan adanya keteraturan alam sebagai dalil dan pedoman yang akan membimbing orang-orang berakal mengenal Allah. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai bukti dan tanda atas keberadaan, ilmu dan kekuasaan Tuhan.
Diantaranya berbunyi: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran [3]:190); Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Qs. Al-Dzariyat [51):20-21).
Ayat di atas merupakan bukti bahwa keberadaan alam ini telah diciptakan dengan ukuran yang sangat jitu, penuh hikmah, teratur, sesuai dan harmonis. Pencipta sesuatu itu adalah satu, Dialah yang Maha Pengatur, Pencipta keteraturan dan mengharmonisasikan bagian-bagian ciptaan-Nya.
Karena itu ilmuwan Muslim, dengan bersandar pada salah satu tipologi alam natural menyebut sebagai argumen keteraturan (argument from design). Selain itu untuk membuktikan keberadaan Tuhan bisa melalui argumen para filosof tentang realitas wujud. Menurut al-Farabi, realitas wujud ada dua bentuk.
Pertama, wujud kontingen yaitu ketika memperhatikan esensinya didapati eksistensi baginya tak niscaya. Kedua, wujud wajib yaitu esensinya dapat diketahui eksistensi baginya adalah niscaya. Dalam hal ini bukan hal yang mustahil jika diasumsikan ketiadaan wujud kontingen. Untuk mengadakan wujud kontingen memerlukan sebab dan jika telah berwujud maka eksistensinya menjadi “niscaya”. Esensi wujud kontingen tak abadi dan bersifat sementara. Wujud kontingen mustahil menjadi sebab hakiki bagi realitas wujud lainnya. Oleh karena itu harus berujung kepada wujud wajib yang merupakan ‘Wujud Pertama’ sekaligus ‘Sebab Pertama’. Karena itu mustahil kalau mengasumsikan ketiadaan Wujud Wajib. Wujud Wajib tak memiliki sebab karena Dia adalah sebab pertama untuk semua eksistensi (Abdurrahman Badawi, Mausu’at al-Falsafah, 2/102).
Sedang Ibnu Sina menjabarkan argumen imkan dan wujub untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Menurutnya realitas wujud adalah Wujud Wajib dan wujud kontingen. Jika realitas wujud itu adalah Wujud Wajib maka terbuktilah realitas eksistensi Tuhan, dan jika realitas wujud itu adalah wujud kontingen, dikarenakan kemustahilan daur dan tasalsul, maka niscaya bergantung kepada Wujud Wajib (Al-Isyarat wa at-Tanbihat, 3/20).
Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas dapat pastikan bahwa argumen kaum atheis amatlah lemah tentang ketidakpercayaan terhadap adanya Allah. Tidak salah jika ada yang menilai, paham atheisme secara sembarangan dan sewenang-wenang mengkritik keberadaan Tuhan. Paham ini amat berbahaya karena bisa menghilangkan makna terdalam dari keyakinan terhadap adanya Tuhan. Keyakinan terhadap Tuhan, pun direduksi menjadi sekadar proyeksi, pelarian, neurosis serta cukup membelenggu. Padahal keyakinan terhadap Tuhan melampaui semua itu.
Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita agar hati-hati dengan pemikiran yang mempertanyakan keberadaan Allah. Rasulullah SAW pun bersabda, “Syaitan akan mendatangi salah seorang di antara kalian kemudian ia berkata, ‘Siapa yang sudah menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Hingga ia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan Rabbmu?’ Apabila syaitan telah sampai kepada pertanyaan ini, maka mohonlah perlindungan kepada Allah, dan berhentilah.” (Riwayat Bukhari).
Semoga kita diselamatkan dari pemikiran kaum atheis yang sesat dan sewenang-wenang tersebut.
*Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2022