13.9 C
New York
Minggu, Oktober 13, 2024

Buy now

spot_img

Menimbang Sistem Evaluasi yang Tepat

Ada beragam mekanisme evaluasi di dunia pendidikan. Lantas, mana yang paling tepat untuk anak didik?

Evaluasi Ranking vs Individu

Sistem ranking biasanya dibuat agar anak termotivasi menjadi yang terbaik. Anak didik diharap bisa tahu sampai tingkat manakah dirinya jika dibandingkan dengan teman-temannya.

Sebagian murid bisa menjadi bangga. Tapi, hanya sebagian kecil. Selebihnya tidak. Bahkan efek dari adanya yang tertinggi, itu ada yang terendah. Jika yang tertinggi menjadi bangga, maka yang terendah akan minder.

Ada sebagian anak yang setelah tahu di rangking rendah, maka akan tertantang dan bangkit. Namun itu sangat kecil. Jauh lebih banyak yang justru down (jatuh).

Mari sejenak melirik ke Finlandia, yang disebut punya sistem pendidikan terbaik di dunia saat ini. Di sana, para murid justru diberi kesempatan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan murid lainnya.

Tak ada ranking. Setiap murid diharapkan bisa bangga dengan dirinya dan mampu mengetahui kemampuan sendiri. Bukan membandingkan diri dengan orang lain, tetapi membandingkan kualitas diri kemarin dengan sekarang.

Hasil vs Proses

Indonesia pernah menerapkan ujian akhir nasional sebagai tolok ukur kelulusan. Bagaimanapun prosesnya, enam tahun untuk SD, atau tiga tahun untuk SMP dan SMA, jika tidak lulus ujian yang hanya ditempuh tiga hari, maka dinyatakan tidak lulus. Padahal ujiannya 90% pada aspek kognitif, yang hanya menguntungkan bagi anak dengan kecerdasan linguistik dan eksak matematis.

Dan yang perlu dicermati, adalah merebaknya proses untuk meraih hasil dengan ketidakjujuran. Hal ini memicu gejala di kalangan peserta didik, bahkan pendidik, untuk tidak mementingkan proses. Yang penting hasilnya. Bagaimanapun caranya, tidak masalah. Ini memicu gejala degradasi moral yang lambat laun akan menjadi degradasi kualitas pendidikan.

Mari kembali kita tengok Finlandia. Pernah dikisahkan oleh Syed Abdul Rahman Alsagoff, pendiri Arabic School di Singapura, dalam tayangan Channel News Asia (6 Mei 2009), di sana tak ada standar ujian negara. Yang ada standar berbasiskan proses hasil pembelajaran dari hari ke hari masing-masing anak.

Tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan anak yang terbaik sesuai bidang yang diminati beserta kemampuannya sendiri, bukan mengejar peringkat. Prinsip pendidikan adalah mencerdaskan semua anak, bukan untuk meranking dari yang terpintar hingga terbodoh.

Selain itu, di Finlandia tak ada standar nasional kecukupan minimal. Adanya yaitu standar nasional etika moral. Setiap sekolah wajib mendidik seluruh murid untuk memenuhi standar etika sebagai pondasi membentuk bangsa yang cerdas.

Sekolah memiliki kurikulum dengan spesialisasi kecakapan bidang yang berbeda, disesuaikan dengan potensi daerahnya. Namun, setiap sekolah harus menjamin bahwa setiap muridnya memiliki etika moral yang terstandar secara nasional.

Pengetahuan vs Keterampilan

Ujung dari pendidikan semestinya bukanlah “tahu apa”, tapi lebih pada “bisa apa”. Itulah mengapa al-Qur’an menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia, siapa yang terbaik amalnya.

Bukan berarti bahwa tahap “tahu” atau memperoleh ilmu itu tidak penting, tetapi yang ditekankan adalah setelah “tahu” atau mendapatkan ilmu. Kewajiban belum selesai. Tahap berikutnya, mengamalkan yang diketahui hingga menjadi terampil alias bisa.

Daya Saing vs Kerjasama

Sering dikatakan bahwa sekolah yang unggul adalah yang lulusannya memiliki daya saing tinggi. Sekilas ungkapan ini tidaklah salah, namun coba kita cermati.

Jika disebut bersaing, maka ada yang kalah, ada yang menang. Yang menang maju, yang kalah tidak maju atau bahkan dicap mundur. Dalam manajemen diistilahkan dengan win-lose.

Sebaliknya, dalam manajemen win-win, seseorang ataupun institusi tidak perlu memposisikan orang lain sebagai lawan, tapi kawan. Teknisnya adalah, dengan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan.

Paradigma win-lose akan memicu egoisme, kerakusan, atau kekejaman. Sedangkan win-win akan melahirkan sikap menghargai, dermawan, dan lapang dada atau keikhlasan.

Dalam Islam, banyak sekali prinsip kerjasama, seperti mudharabah, murabahah, dan lainnya. Semua itu diajarkan agar sesama manusia mendapatkan kebaikan.

Interaksi antar sesama disertai rasa tulus saling menghormati serta menghargai akan memicu kesadaran bahwa saudara kita punya potensi, bakat, peluang, dan sebagainya. Kesadaran ini akan berlanjut dengan adanya saling kerjasama yang menguntungkan.

Bukan berarti bahwa meningkatkan keunggulan itu tidak penting. Tetapi setelah meraih keunggulan, perjalanan belum usai. Tahap selanjutnya adalah harus bisa menempatkan diri dengan orang lain serta masyarakat atau bekerjasama untuk melahirkan kemaslahatan yang lebih besar.

Keunggulan diri bukanlah bersifat egois, tetapi membawa kebermanfaatan bagi banyak pihak. Sebagaimana filosofi ihdinash shiraath al-mustaqim, seseorang tak diajarkan untuk memohon ke jalan yang lurus sendiri, tapi sebisa mungkin dengan bekerjasama dan berjamaah.

Penulis: Rully Cahyo Nufanto (Pengajar di International Islamic Boarding School ar-Rohmah Putri Pesantren Hidayatullah Malang)

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles