Para orang tua kita dahulu yang sederhana dan kondisinya terjepit, ternyata sudah bisa membuat bangsa penjajah gentar dan kalang kabut. Penjajah sampai kebingungan, bagaimana cara untuk menghentikan perlawanan yang dipimpin oleh para ulama.
Muncullah ide semisal menghadirkan sosok seperti Snouck Hurgronje. Penjajahan menjadi berubah bentuk. Caranya, menghancurkan agama Islam justru dari internal kaum Muslimin sendiri.
Pelan tapi pasti, metode-metode pertahanan dan pembinaan umat yang dulu didakwahkan oleh para ulama akhirnya ditinggal oleh umat Islam. Zikir, berdoa, dan acara-acara keislaman perlahan mulai diabaikan.
Bukan saja kegiatan syiar yang ditinggal. Sebagian orang mulai menganggap remeh soal ketaatan kepada para kiai dan ulama. Bahkan orang-orang sudah sampai pada tingkat ngolok (mencemooh) dan ngeyel (bandel) kepada kiai dan ulama.
Patut diwaspadai. Boleh jadi inilah cara dan tipu muslihat musuh Islam untuk merusak hubungan antar ulama dengan umat, agar ulama tidak lagi menjadi panutan dan teladan, figur yang bisa dicontoh dan dihormati. Ibarat anak ayam kehilangan induk, umat Islam kini seolah tidak memiliki lagi sosok yang bisa mengayomi mereka.
Siapa yang mampu mengendalikan umat sekarang? Memberi komando untuk kesana dan kemari, yang mereka dengar dan taati setelah suatu fatwa dikeluarkan?
Pada saat yang sama, sistem ekonomi kapital ribawi juga dibuat sedemikian rupa, dari hari ke hari rasanya kehidupan ekonomi semakin terpuruk pula. Golongan kaya semakin kaya dan berkuasa, sedangkan yang miskin kian menderita pula dengan kemiskinannya.
Tergeruslah kekuatan dakwah itu. Berbagai tradisi Islam sebagai benteng pertahanan mulai memudar. Padahal itulah yang menyelamatkan generasi orang tua dahulu, meski dengan pembinaan keislaman yang sederhana.
Sekarang, semua itu dihilangkan dan diganti dengan sesuatu yang belum terasa memberi dampak lebih baik daripada sebelumnya. Jadinya, anak keturunan kita semakin bertambah jauh rasanya dari ajaran Islam.
Senjata dan Pertahanan
Patut disadari, hingga sekarang kita belum mampu menemukan cara atau metode yang jitu dalam menghadapi tantangan dakwah masa kini. Olehnya, hal yang paling utama adalah kembali kepada apa yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat dahulu. Setidaknya, dengan menghidup-hidupkan sunnah-sunnah Nabi.
Salah satu contohnya adalah amalan zikir, khususnya sesudah shalat. Sepintas barangkali ini terlihat remeh dan sederhana. Enteng saja mengerjakannya. Tetapi sesungguhnya, amalan ini bisa menimbulkan dampak luar biasa jika dilakukan secara serius.
Sekali waktu cobalah membaca tahlil 10 kali, yang didahului sebelumnya dengan bacaan istighfar 3 kali. Bacalah dengan perlahan: La Ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, lahu al-mulku walahu al-hamdu wa huwa ala kulli syain qadir.
Rasanya, kalau bacaan ini benar-benar diresapi dengan penuh khusyuk dan dibaca dengan perlahan, insya’ Allah akan mengundang keharuan dan memancing air mata. Apalagi saat mengucapkan “astaghfirullah” lantas terbayang dosa-dosa yang dikerjakan.
Kalau perlu, jangan langsung melanjutkan dengan istighfar kedua. Renungilah lafazh istighfar tersebut. Pastikan bisa membayangkan gerangan apa jadinya nanti kalau ternyata Allah SWT tidak memaafkan dan memberikan ampunan?
Astaghfirullah. Akuilah bahwa diri ini memang penuh dengan gelimang dosa.
Pertajam kembali istighfar tersebut. Bagaimana kiranya agar Allah SWT berkenan membukakan pintu ampunan selebar-lebarnya untuk jiwa yang lemah ini.
Selanjutnya, baca istighfar ketiga. Sampai tiga kali sudah cukup untuk membuat batin dan ruhani seorang Mukmin kembali aktif dan peka.
Berikutnya, bacalah zikir lanjutan, “la ilaha illallah.” Lakukan dengan penuh penghayatan.
Dengan beristighfar tiga kali, apatah lagi sampai sepuluh atau berpuluh kali, seorang hamba akan merasakan betapa seringnya terjerat dengan perangkap setan. Akan tergambar jelas wujud nyata kelemahan manusia. Inilah hendaknya yang semakin mendorong untuk semata-mata berharap bantuan dan pertolongan Allah SWT.
Dalam kondisi puncak demikian, diawali bacaan istighfar, tahlil, dilanjutkan dengan tasbih, tahmid, dan takbir 33 kali. Selanjutnya disusul dengan munajat doa kepada Allah SWT. Maka hati ini benar-benar terasa akan plong dan lapang. Ia siap untuk tandang ke gelanggang, memperagakan dan mendakwahkan ajaran Islam ke tengah masyarakat.
Bacaan zikir yang dilakukan dengan penuh konsentrasi sebenarnya sudah cukup untuk menguras air mata. Syaratnya, jika memang hati yang ngomong. Tetapi kalau sampai tiga kali bahkan berulang kali ternyata terasa tidak mantap atau menancap, berarti bukan jiwa yang bicara, bukan hati yang ngomong. Itulah sebabnya agak sulit jika meminta penjelasan ilmiahnya. Karena apa sih sebenarnya logika zikir sebanyak hitungan itu?
Bisa dibilang bahwa zikir ini memang ibadah lisan dan hati. Bukan konsumsi lisan atau pikiran saja. Sebab mana mungkin otak manusia bisa mencerna bacaan zikir tersebut. Bisa dibayangkan baru beberapa kali berzikir, dijamin rasa bosan sudah menyerang.
Rasulullah SAW yang telah mendapat jaminan langsung dari Allah SWT, memilih untuk memperbanyak memohon ampun hingga 70 kali lebih dalam sehari. Bagaimana dengan kita yang bergelimang dosa?
Tentu ada begitu banyak faidah yang didapatkan dari istighfar. Di antaranya sesuai firman Allah:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh [71]: 10-12).
Dengan zikir dan istighfar, niscaya Allah SWT akan menambah kekuatan seorang Mukmin. Allah juga akan melimpahruahkan sekian banyak nikmat yang tak terbilang.
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022.