Kehidupan seorang Mukmin dituntut merasakan “kecilnya” manusia dan “besarnya” Allah Sang Pencipta. Hendaknya ia merasakan ketiadaan dirinya dan keberadaan wujud Allah yang benar-benar hadir dalam setiap aktivitas sehari-hari.
Setiap saat akan senantiasa terasa, andai Allah SWT sampai tidak berkenan memberikan ampunan, bagaimana jadinya? Sebagaimana akan terasa getar kebahagiaan dan motivasi yang luar biasa jika membayangkan balasan Surga yang dijanjikan oleh Allah kepada yang dikehendaki-Nya.
Demikian jika benteng zikir orang beriman itu berfungsi secara optimal. Sudah cukup dengan berzikir untuk menumbuhkan semangat dan produktivitas mereka.
Ini di antara keutamaan menegakkan shalat berjamaah di masjid. Ada prolog dan suasana zikir yang bisa dikondisikan sebelumnya. Beda halnya jika shalat dan zikir di rumah saja. Mungkin bacaannya bisa lebih banyak tapi dijamin godaannya juga tak kalah dengan jumlah zikirnya. Tak ada jaminan pikiran bisa tetap fokus apalagi sampai menikmati zikir tersebut.
Mungkin baru beberapa kali berzikir, tiba-tiba lewat kucing yang nyolong (mencuri) ikan di dapur. Setelah itu teriak lagi karena teringat kaos kakinya yang hilang sebelah. Tiba-tiba mau juga dibuatkan kopi dan pisang goreng oleh istrinya. Banyak lagi contoh gangguan jika zikir dan shalat di rumah.
Zikir seperti di atas tentu hanya sampai di bibir saja. Tak mampu direkam oleh otak apalagi sampai menimbulkan getaran di jiwa dan menggerakkan panca indera lainnya untuk berbuat kebaikan.
Belum lagi kalau tergoda dengan informasi keliru selama ini: “Ah, ini kan hanya sunnah saja. Kalau dikerjakan dapat pahala dan tidak dikerjakan juga tidak ada masalah.”
Terus terang hal itu juga cukup mengganggu. Sebab ini jelas mengecilkan arti sunnah Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik tuntunan dalam kehidupan manusia.
Di lain sisi, ada juga yang merasa tidak terangsang dan balik bertanya, apa itu pahala? Apakah semacam honor tambahan dari gaji pokok atau bagaimana?
Akhirnya semua yang terbayang adalah hal-hal yang berurusan dengan materi saja. Kalau ada gaji pokok berarti ada tambahan fasilitas atau insentif, dan banyak lagi asumsi-asumsi liar yang cenderung tidak bisa dibenarkan.
Padahal jika hal ini didudukkan dengan tepat, maka zikir bukan cuma ritual agama saja. Juga tidak hanya perkara sunnah atau bukan. Tapi zikir adalah suatu potensi kekuatan sekaligus berfungsi benteng pertahanan yang hebat.
Lafaz zikir yang diucap secara lisan itu dengan sendirinya akan terkoneksi dengan pikiran dan jiwa manusia. Ia melahirkan bayangan sekaligus getaran, betapa Allah Maha Besar lagi Maha Berkuasa. Bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah juga Maha Pemberi rezeki. Pertolongan Allah begitu dekat untuk setiap hamba-Nya.
Jalan Dakwah
Patut diakui kondisi umat Islam saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dimana-dimana kaum Muslimin tertindas dan terzhalimi. Kita semua seperti tak berdaya menghadapi kenyataan ini.
Di saat yang sama, musuh-musuh Islam juga tak henti bekerja secara konsisten. Mereka jeli membaca keadaan.
Sementara sebagian umat Islam justru masih terjebak dengan urusan-urusan dunia. Menganggap remeh keadaan sekarang. Akibatnya, beribadah pun mereka tak pernah bersungguh-sungguh. Berdakwah dianggap hanya sampingan saja, itupun jika masih tersisa waktu kosong dari kesibukan mereka.
Patut direnungkan pula bahwa saat ini umat Islam sedang kehilangan figur pemimpin alias terjadi krisis kepemimpinan. Hampir-hampir tidak ada tokoh, ulama, atau kiai yang bisa jadi rujukan.
Sebagian umat Islam juga terkotak-kotak atas nama kelompok tertentu. Merasa cukup dengan bergabung ke organisasi-organisasi formal. Akibatnya, potensi umat berserak begitu saja tanpa ada yang bisa menggerakkan lebih optimal.
Situasi dan kondisi yang terus berlangsung seperti ini semoga disadari untuk mengembalikan benteng pertahanan umat Islam. Bahwa umat Islam jaya bukan semata karena mereka telah berkiprah dimana-mana. Tidak juga karena semata organisasinya sudah terkenal di tengah masyarakat. Namun agama ini bisa tegak dan umat Islam kembali mulia jika meyakini bahwa Allah SWT akan menolong orang-orang yang ikhlas menolong agama-Nya.
Dakwah adalah jalan terbaik untuk mengembalikan kejayaan umat Islam. Mentarbiyah umat agar kembali meyakini Islam sebagai jalan keberuntungan untuknya, selamat di dunia dan juga di akhirat.
Sebaliknya, apa-apa yang tidak terkoneksi dengan agama dan keimanan, hanya akan menjadi ilusi semata. Hakikatnya kita justru menjadi bola dari permainan lawan. Asyik menari hingga berpeluh keringat, padahal bukan kita yang menabuh gendang dan mengatur pementasan.
Dampak dari kehilangan figur pemimpin dan ulama panutan adalah hilangnya kepercayaan diri umat Islam. Terkadang di antara kita saling mencurigai. Kekuatan kaum Muslimin perlahan menjadi lemah dan melorot drastis. Apa-apa selalu berharap kepada sumbangan dari orang lain. Padahal umat Islam bukan kekurangan dana atau kehabisan orang kaya lagi dermawan.
Zaman dahulu, jangankan minta sumbangan, kiai atau imam kampung jika ingin menggelar acara hajatan, cukup memberitahukan saja acara dan kegiatannya. Seketika warga hingga pelosok di kampung berbondong-bondong mengantar berbagai macam jenis makanan dan aneka masakan ke masjid. Mulai dari yang memikul beras hingga yang memotong ayam. Bagi mereka, ini adalah barakah dari ulama dan syiar agama sekaligus hiburan ruhani buat masyarakat.
Tinta emas sejarah mencatat, umat Islam Aceh bahkan sampai memberikan donasi kepada pemerintah Republik Indonesia. Waktu itu bangsa Indonesia sedang dililit masalah ekonomi di awal kemerdekaan. Ini menggambarkan betapa besar sesungguhnya potensi umat Islam.
Potensi umat Islam yang begitu besar itu memerlukan sosok pemimpin yang dicintai oleh umatnya. Ada komando sehingga tidak berserak. Selanjutnya, seluruh elemen umat Islam akan bersama-sama membangun ketahanan generasi ini dengan dakwah dan membina masyarakat.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022.