Muhammad Ghazali al-Hidayat tidak pernah menyangka akan menjadi seorang pengusaha. Kisah perjalanan menjadi pebisnis sukses, bermula dari ketertarikannya terhadap perusahaan franchise keripik singkong di Yogyakarta. Ia menerawang ada peluang sukses yang cukup tinggi, kalau membuka franchise ini di kampungnya, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Saya coba mengambil satu paket franchise senilai 7 jutaan. Karena, nggak dapat tambahan modal dari orangtua, akhirnya saya gadaikan laptop,” terang lulusan dari Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (STTN-Batan) Yogyakarta ini.
Namun, karena waktu itu ia masih kuliah serta sedang mengerjakan skripsi, ia pun tak bisa mengelolanya. Tak habis akal, ia mengajak teman dekat ketika SMP/SMA di kampungnya untuk kolaborasi dan bekerjasama.
“Alhamdulillah, teman saya tertarik. Apalagi, ia juga lagi menganggur. Setelah itu, saya datangkan ke Jogja untuk training. Selesai training, kami pulang ke Mataram untuk survei lokasi, mencari bahan baku, membuat gerobak, dan lainnya,” kenang Ghazali.
Tak tanggung-tanggung, ia langsung membuka 2 outlet di Kota Mataram. Peluang yang ia baca sejak awal benar-benar terjadi. Karena waktu itu belum ada franchise keripik singkong, maka usahanya berkembang pesat bahkan ia sampai kuwalahan.
“Akhirnya, saya mengontrak sebuah rumah dan mempekerjakan 5-6 orang ibu-ibu sekitar untuk tenaga produksi. Mulai dari mengupas singkong, mencuci, merajang sampai menggoreng,” jelasnya.
Karena kegigihan serta kerja kerasnya—bolak-balik Mataram-Yogyakarta, kuliah sambil memantau usaha—dari 2 outlet itu, akhirnya berkembang menjadi 25-an dan tersebar di penjuru Pulau Lombok.
“Alhamdulillah, saat itu kita bisa memproduksi singkong satu mobil pick-up sehari. Singkong saya datangkan dari Lombok Utara,” jelas Ghazali.
Berpikir Kedepan
Setelah berjalan setahun, karena booming sehingga merangsang orang lain untuk menduplikasi. Maka, saat itu mulai muncul kompetitor-kompetitor dengan usaha serupa meskipun menggunakan brand yang berbeda.
“Sebelum usaha ini redup, saya kembali berpikir kedepan untuk mencari peluang bisnis lain. Waktu itu, di Jogja booming usaha warnet. Di Jogja kan barometernya usaha-usaha kreatif. Maka, saya berpikir, ini waktu yang tepat untuk melepas hak franchise ini. Waktu itu saya jual diangka 40 juta, diambil alih orang lain,” jelasnya.
Tak banyak berpikir, Ghazali menggunakan uang 40 juta itu buat modal membuka warnet. Lagi-lagi, ia merangkak dari bawah karena minimnya ilmu. Terlebih lagi di Pulau Lombok sudah banyak kompetitor dengan peralatan yang canggih-canggih.
Dengan uang 40 juta ia mampu membeli 12 unit komputer monitor tabung. “Sekat untuk bilik-biliknya, saya masih pakai kere (anyaman bambu). Di sini namanya BD. Makanya, saya kasih nama Warnet BD,” bebernya.
Di tengah perjalanan, muncul masalah besar. Bahkan kelanjutan usaha warnet BD menjadi taruhannya, ketika ia tak mampu mencari jalan keluar. Sambil berdoa, ia terus berusaha mencari solusi, sampai akhirnya Allah mendatangkan pertolongan.
“Lalu, saya optimasi. Dan alhamdulillah, warnet berjalan baik sampai kita punya 2 cabang dengan 80 unit komputer. Itu prosesnya panjang, sekitar 4 tahun,” ujarnya bersyukur.
Taubat Riba
Sambil terus mengamati perubahan zaman, Ghazali berpikir, warnet adalah bisnis yang juga ada masanya, karena pasti akan kena dampak perkembangan teknologi. Dari situ, ia mulai mencari bisnis lain. Karena terbentur modal besar, maka ia pinjam uang.
Tak sekadar tambahan modal, tetapi ia meminjam uang ke bank juga untuk membeli Ruko. Waktu itu, ia belum kenal riba. “Pikiran saya waktu itu buat aset,” katanya.
Tak berselang lama, Ghazali mencoba membuka usaha baru. Satu dari dua warnet miliknya ia jual untuk modal. Setelah melakukan survey, ia putuskan untuk membuka warung steak. Namun, ia tutup setelah tiga bulan berjalan karena besar pasak daripada tiang.
Setelah tutup sekitar setahun, Ghazali mulai membuka warung lagi dengan konsep yang berbeda, namanya Resto Ayam Square. Ia merasa beruntung, karena saat membuka warung steak chiefnya open resep sehingga ia bisa banyak belajar berbagai menu masakan. Selama setahun, resto mengalami peningkatan.
“Awal-awal, omset bisa 1 sampai 2 juta/hari. Pernah juga 600ribu/hari. Kini sudah stabil,” katanya.
Dan puncaknya, setelah resto berjalan setahun, Ghazali menjadi distributor daging. Selain menambah pemasukan, juga buat menyediakan bahan baku untuk restonya. Ibaratnya, dia harus menguasai hulu sampai hilir usahanya.
Benar saja, dengan menjadi distributor daging, ia mampu meraup omset 3 sampai 4 miliar. Dua kali lipat dari omset resto dan warnet. Tapi sayang, ia tak pernah merasakan ketenangan dalam hidupnya, meskipun memiliki penghasilan yang sangat besar.
“Justru saya nggak bisa tidur setiap malam. Karena harus setoran ke bank 50 juta/bulan. Itu pun hanya untuk bayar bunganya,” akunya.
Akhirnya suatu ketika Ghazali ketemu komunitas Pagari (Paguyuban Anti Riba). Ia ikut gabung dan banyak sharing dengan teman-teman Pagari. Dari situ, ia makin menyadari dampak negarif dari riba.
“Selain karena dilarang agama, saya berpikir kondisi besar pasak daripada tiang juga tidak menyehatkan dalam sebuah bisnis,” jelasnya.
Menurutnya, masalah takkan pernah selesai hanya dengan berdoa. Bunga bank hanya bisa dilawan dengan produktifitas usaha dan berani menempuh cara-cara ekstrim seperti yang dilakukan beberapa pengusaha di antaranya, sedekah ekstrim.
“Ramadhan 2 tahun lalu, saya sengaja tidak menyetor angsuran 50 juta itu ke bank, tetapi saya belikan 2 ton beras, minyak goreng, gula, sirup dan lain sebagainya. Lalu, saya bagi-bagikan ke kampung sampai benar-benar habis dibagikan,” kenangnya.
Sebulan kemudian, Allah SWT memberikan gantinya berkali-kali lipat. Tapi, bagi Ghazali, berkah yang paling ia rasakan dari taubat riba dengan melalui sedekah ekstrim itu kemudahan dalam menjalankan usaha. “Alhamdulillah, saat ini saya mampu menekan angsuran hinggal tinggal 10 juta/bulan,” tutup Ghazali.
*Achmad Fazeri/Suara Hidayatullah
Note: Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2020