13.9 C
New York
Minggu, Oktober 13, 2024

Buy now

spot_img

Memelihara Semangat Juang

Sungguh kasih sayang dan pertolongan Allah SWT tidak pernah putus dirasakan oleh manusia. Sekian banyak capaian prestasi bisa diraih dalam kehidupan sehari-hari, tentu layak untuk disyukuri.

Bantuan dan pertolongan Allah mutlak dibutuhkan oleh siapapun dari hamba-Nya, tanpa kecuali. Dan dengan memperbanyak rasa syukur, maka akan semakin mengundang nikmat dan karunia yang lebih banyak pula.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim [14]: 7).

Potensi Iman

Bagi orang beriman, sikap mental seperti di atas harus senantiasa dihadirkan. Apalagi terkait dengan amanah dakwah yang memang ujian dan tantangannya tidak sedikit. Kondisinya pun seringkali penuh dengan keterbatasan. Meskipun demikian, tetap saja ada hiburan-hiburan dari Allah berupa prestasi gemilang yang dicatatkan.

Prestasi semacam itu kadang tak terbayangkan sebelumnya. Kalaupun terbayang, mungkin saja  jauh lebih indah daripada yang dibayangkan. Namun dengan tekad yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh, sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau khayali belaka.

Itu semua bisa muncul jika didasari oleh kesadaran potensi besar iman dan hidayah yang dioptimalkan untuk misi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) dan kaffatan linnas (seluruh umat manusia). Keyakinan tersebut akan semakin menguat manakala ada totalitas bergantung kepada Allah SWT. Sebab satu sisi, manusia kian menyadari lemahnya diri dalam menggapai cita-cita dan tanggung jawab yang begitu besar.

Sebagian orang barangkali menganggap cita-cita besar itu adalah sesuatu yang fantastis atau khayalan. Apalagi jika diketahui bahwa ternyata tekad itu nyaris tak bermodal, fasilitas yang begitu minim, serta sumber daya insani yang sangat kurang. Lalu darimana orang itu bisa pede berdakwah di lapangan dan tandang ke gelanggang menyelesaikan urusan umat?

Itulah kekuatan iman dan hidayah. Iman yang bersemayam di dada niscaya sanggup mendorong dan melahirkan tanggung jawab keumatan yang besar. Muncul keprihatinan dan kepedulian melihat nasib umat yang begitu menyedihkan. Selanjutnya akan timbul empati dan keinginan kuat untuk berbagi dan berkontribusi demi maslahat yang lebih besar dalam kehidupan ini.

Inilah modal pertama seorang Muslim dalam mengawali jejak perlangkahan dakwah. Dan keprihatinan tersebut bukan sekadar prihatin begitu saja. Namun benar-benar karena dorongan tanggung jawab hidayah yang mesti dibuktikan serta iman yang wajib diperagakan dalam kehidupan sehari-hari.

Nyaris tak ada alasan untuk merasa sombong atau melampaui batas (thaga) dan ujub (bangga diri) apalagi sampai lupa daratan. Karena itu berarti mengecilkan arti karunia Allah yang telah dicurahkan.

Sungguh sifat takabbur itu sangat berbahaya, seolah yang Allah berikan kepada manusia dianggap satu hal yang biasa-biasa saja, terkesan berjalan begitu saja. Atau bahkan ada yang beranggapan kalau seluruh nikmat itu memang kewajiban Allah untuk menunaikannya sebagai hak yang harus diterima oleh manusia. Itu tentu anggapan yang keliru dan bisa berakibat fatal.

Sikap mental penuh syukur harus dipelihara setiap waktu agar manusia tidak jatuh terpeleset karena sifat sombong. Saat yang sama, dengan memperbanyak syukur, keyakinan itu akan semakin menguat, bahwa selama orang itu sabar dan bekerja terus-menerus, atas izin Allah, dia akan mencapai yang dicita-citakannya.

Tensi Perjuangan

Jika mental syukur dirawat dengan baik, sangat mungkin kerja dakwah yang terbilang sederhana bisa melahirkan prestasi yang lebih baik lagi. Syaratnya, orang-orang tersebut mampu memelihara bobot keyakinannya kepada Allah SWT.

Di saat yang susah misalnya, ia selalu bersemangat dan punya gairah tinggi lagi menggebu-gebu. Pelan tapi pasti, Allah akan menurunkan bantuan-Nya.

Tensi perjuangan dan rela berkorban harus senantiasa terpelihara. Ia tidak boleh tergerus dan terciderai hanya gara-gara merasa sudah sejahtera alias tidak butuh pertolongan lagi. Inilah jati diri pejuang dakwah yang selalu siap berkorban.

Gunung betapapun tingginya, akan dilompati. Tak ada tantangan yang perlu ditawar apatah lagi sampai lari dari barisan pengusung dakwah.

Setiap tantangan berarti peluang besar yang menggiurkan. Ini kesempatan untuk semakin mendekat dan “bermesraan” dengan Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Pantang bagi orang beriman, yang berjuang di jalan dakwah, untuk mampir berleha-leha. Apalagi hanya duduk termenung, memikirkan dan menangisi nasib dirinya sambil mengkhayal yang bukan-bukan.

Penting diingat, setan tak pernah beristirahat dan mundur dari menggoda dan giat menggelincirkan manusia. Ia terus siaga, mengintai tanpa jeda saat-saat yang tepat untuk menjungkirkan keyakinan seseorang.

Godaan setan mungkin terbilang sederhana, namun bisa telak mengena. Ibarat pukulan mematikan, bukan saja pertahanannya yang goyah, tapi sang korban juga tersungkur seketika. Inilah yang perlu diwaspadai.

Orang yang termakan rayuan setan bisa berubah jadi ragu. Apa yang dulu diyakininya berubah menjadi pesimis dan tak punya nyali sama sekali. Ia berubah jadi sosok yang banyak melamun, seolah menyesali apa yang telah dikerjakan selama ini.

Dalam waktu yang sama, dirinya merasa tidak mendapat apa-apa dari perjuangannya di jalan dakwah. Tak sedikit ia juga menyalahkan pihak lain dan orang tertentu.

Sikap mental yang demikian ini hanya akan merugikan diri sendiri. Ia telah kehilangan waktu juga kehilangan tenaga. Konsentrasinya buyar. Dakwah yang seharusnya berjalan lancar, akhirnya terhambat.*

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles