“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 221)
Kalau ada beberapa orang pemuda datang kepada seorang ayah, menyatakan keinginannya untuk menikah dengan putri sang ayah, maka tak ada seorang ayah pun yang langsung menerima lamaran itu tanpa terlebih dulu mengetahui identitas atau jati diri para pemuda itu, kemudian dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan sang ayah untuk menjadi suami dari putrinya.
Mungkin ada seorang ayah yang menetapkan calon menantunya harus kaya, cerdas, tampan, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Silakan saja, asalkan putrinya memang pantas mendapatkan pemuda yang sesuai dengan kriteria itu. Karena memang tidak ada ayat al-Qur`an dan Hadits Nabi yang secara tegas melarang seseorang menetapkan kriteria menantunya seperti itu.
Yang jelas-jelas dilarang adalah menikahkan seorang perempuan Muslimah dengan laki-laki musyrik atau menikahkan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan musyrikah. Alasan larangannya juga jelas tertulis pada akhir ayat, laki-laki musyrik dan perempuan musyrikah berpotensi besar untuk menyesatkan pasangannya dan keturunan mereka, hingga akhirnya mereka semua masuk ke dalam neraka.
Dalam hal ini identitas keagamaan seorang calon menantu menjadi amat sangat penting. Keislamannya menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Begitu pentingnya identitas ini hingga Allah menjelaskan bahwa seorang budak atau hamba sahaya—kelompok masyarakat dengan status sosial yang paling rendah di masyarakat—yang beriman lebih baik untuk dipilih menjadi menantu, daripada seorang multi milyuner cerdas dan tampan tapi musyrik.
Pemilihan menantu ini sangat strategis, karena menantu akan menjadi pemimpin keluarga, yang akan menentukan nasib seluruh anggota keluarganya, termasuk nasibnya kelak di akhirat.
Kalau untuk pemilihan calon kepala keluarga identitas agama harus sangat diperhatikan, padahal keluarga adalah sebuah organisasi sosial terkecil di masyarakat, maka bagaimana mungkin kita mengabaikan identitas agama untuk memilih pemimpin organisasi yang lebih besar?*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022