Ada sebuah tulisan di twitter dengan alamat https://twitter.com/MahameruLee, berisi “Apa saja pelajaran dari cerita Hajar? 1. Penting untuk diingat bahwa Hajar adalah seorang budak kulit hitam yang hanya memegang fungsi reproduksi bagi keluarga Ibrahim. Dalam sistem perbudakan patriarkal, ia tidak lebih dari pemuas keinginan Ibrahim dan Sarah akan seorang putra.”
Terlepas dari motif si penulis, perlu ada pelurusan terhadap tulisan itu. Isinya pun mengandung banyak kekeliruan. Sebutan Hajar sebagai budak tidak sepenuhnya benar. Sebab ada juga riwayat yang menyebutkan kalau Hajar tak pernah menjadi budak, bahkan dia putri seorang raja terkemuka di Mesir. Ada yang mengatakan putri Raja Fir’aun ketiga. Ia tertarik bergabung dengan keluarga Nabi Ibrahim dan istrinya dalam kapasitasnya sebagai seorang pengikut ajaran Tauhid yang dianut Nabi Ibrahim.
Karena itu, sumber yang menyebutkan Hajar sebagai budak perlu dipertanyakan. Sebab al-Qur’an dan Hadits sama sekali tidak pernah menyebutnya sebagai budak atau mantan budak. Demikian juga Bible tidak ada penyebutan seperti itu.
Bahkan Bible memperlakukan Ismail, hasil pernikahan Ibrahim dengan Hajar sama dengan Ishak, hasil pernikahan Nabi Ibrahim dengan Siti Sarah. Hal ini dijelaskan di Kitab Kejadian yang berbunyi: “Abraham mencapai umur seratus tujuh puluh lima tahun, lalu meninggal….. Dan anak-anaknya, Ishak dan Ismael, menguburkan dia dalam gua Makhpela…..” (Kejadian 25 : 7-9).
Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ishak serta Ismail statusnya sama, yaitu sebagai anak Nabi Ibrahim. Artinya, ibu Ishak, Siti Sarah dan ibu Ismail, Siti Hajar, memiliki kedudukan yang sama, yaitu sebagai istri sah Nabi Ibrahim.
Dalam Bible juga tak ada ajaran tentang perbudakan berdasarkan ras. Perbudakan merupakan status sosial. Orang menjual dirinya sebagai budak saat mereka tidak sanggup membayar utang atau untuk menyediakan nafkah bagi keluarga mereka. Misal perbudakan juga dialami oleh orang-orang Ibrani saat mereka masih berada di Mesir. Orang-orang Ibrani adalah budak, bukan karena pilihan mereka sendiri, melainkan karena mereka adalah orang-orang Ibrani. (Keluaran 13: 14).
Status budak juga dapat diperlakukan apa saja oleh majikannya. Hal ini ditegaskan dalam Bible bahwa hamba-hamba (budak) hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah. (Titus 2: 9).
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang budak tak boleh melawan terhadap tuannya dan dianjurkan untuk mematuhi ‘segala hal’ yang diinginkan tuannya. Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa menggauli budak dibolehkan. Karena seorang budak tak boleh membantah apapun yang tuannya inginkan termasuk saat tuannya mau menggaulinya. Jadi seandainya Siti Hajar sebagai budak, dia bisa digauli oleh Nabi Ibrahim kapan saja. Tetapi faktanya Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar secara resmi.
Dari penjalasan di atas jelas bahwa Siti Hajar statusnya bukan seorang budak Nabi Ibrahim. Demikian juga tuduhan penulis yang menilai Siti Hajar sebagai pemegang fungsi reproduksi bagi keluarga Nabi Ibrahim tidaklah tepat. Seandainya Siti Hajar dianggap sebagai pemuas keinginan Nabi Ibrahim dan Siti Sarah untuk mendapat seorang putra, tentu Nabi Ibrahim bisa menikah awal-awal pernikahan keduanya, ketika diketahui dia tidak akan membuahkan anak. Namun faktanya Nabi Ibrahim menikah lagi di usia pernikahan sudah berlangsung lama serta berjalan harmonis.
Dan hal yang terpenting, Siti Hajar termasuk seorang perempuan yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Bahkan perbuatan Siti Hajar ketika mencari air antara bukit Safa dan Marwah dijadikan sebagai syraiat agama Islam.
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, “Ini adalah kejadian yang mendasari tradisi jamaah haji berjalan antara Safa hingga Marwah. Ketika Siti Hajar mencapai bukit Marwa (untuk terakhir kali), ia mendengar sebuah suara, kemudian ia diam serta mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia mendengar sesuatu itu terus-menerus dan berkata, “Wahai (siapapun engkau)! Engkau telah membuatku mendengarkan suaramu; apakah kamu memiliki sesuatu yang dapat membantuku?” Dan ajaib! Ia melihat satu malaikat di lokasi zam-zam, sedang menggali tanah dengan tumitnya (atau sayap), hingga air memancar dari tempat itu. Ia lalu membentuk tangannya seperti mangkuk, dan mulai mengisi tempat air minumnya yang terbuat dari kulit dengan air menggunakan tangannya, dan air itu lalu mengalir keluar setelah dia menciduk sebagian di antaranya.” (Riwayat Bukhari).
Ini menunjukkan Siti Hajar ditunjuk oleh Allah Ta’ala sebagai wasilah mengalirnya air zam-zam yang tidak akan pernah habis sampai hari kiamat.
Karena itu sangat disayangkan tuduhan negatif dari penulis di twitter itu terhadap perempuan yang dimuliakan Allah SWT. Padahal ia sendiri belum tentu mendapat kemualiaan seperti Siti Hajar di mata Allah Ta’ala. Semoga kita termasuk orang-orang yang terjaga pikiran serta tangan kita dari hal-hal yang merusak keimanan.
*Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2022