0.2 C
New York
Rabu, Februari 12, 2025

Buy now

spot_img

Melihat Dunia dengan Cara Baru

Saat pembelajaran berlangsung, seorang anak merasa kebingungan. Ia tak bisa melihat papan tulis dengan jelas. Pinjam catatan teman yang paling pintar pun ia tak bisa membacanya.

“Saya akhirnya sering di-bully teman-teman,” ujarnya mengenang pengalaman buruk tersebut.

Hal itu membuat nilainya selalu pas-pasan. Sampai suatu hari diketahui bahwa, matanya silindris dan minus cukup besar. Karena dari keluarga kurang mampu, ia berjuang hingga dapat membeli kacamata. Akhirnya, kemampuan belajarnya melesat, termasuk nilai-nilanya.

Singkat cerita, sang anak menjadi orang sukses. Ia bertekad ingin membantu anak-anak sekolah yang mungkin tidak menyadari bahwa matanya mengalami gangguan dan memerlukan kacamata.

Ia juga aktif di dalam lembaga kemanusiaan. Salah satu kegiatannya melakukan pemeriksaan mata secara gratis sekaligus membelikan kacamatanya. Ia datang dari satu sekolah ke sekolah lain, khususnya di daerah pemukiman anak-anak kurang mampu.

Banyak orangtua baru menyadari bahwa mata anak-anak mereka bermasalah. Selama ini anak-anak mereka dicap bodoh karena tak bisa mengikuti pelajaran. Mereka pun sangat terharu dan berterimakasih kepada pemberi bantuan.

Sang penggagas merasa sangat bahagia dapat membantu dan menyelamatkan ratusan anak. Dari beberapa sekolah ada sekira 15% yang mengalami gangguan penglihatan.

Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa setiap memberikan bantuan kacamata ke sekolah-sekolah, selalu terbayang pengalaman pahit masa lalu. Ia berharap semakin banyak anak yang dapat terselamatkan pendidikannya.

Kisah ini mengajarkan bila pengalaman buruk tidak selamanya membuat masa depan seseorang menjadi suram. Kita bisa memilih apakah pengalaman buruk itu membuat kita terpuruk, atau justru  memberi manfaat.

Banyak cara untuk bahagia, salah satunya dengan berbagi. Pendiri The Center for Neuroeconomics Studies dari Claremont Graduate University mengatakan bahwa, ketika seseorang berbagi, tubuh akan melepaskan hormon oksistosin. Hormon ini juga dilepaskan ketika seseorang berpelukan, dan bisa mengurangi stres.

Berbagi menimbulkan perasaan bermakna (meaningful) yang memacu jumlah konsentrasi berbagai neurotransmitters serta hormon pada otak. Dampaknya dapat meningkatkan kesehatan dan kemampuan fungsi otak. Kinerja otak pun jadi lebih harmonis karena hanya fokus pada hal-hal positif yang diciptakan hormon-hormon yang timbul dari aktivitas berbagi.

Pengetahuan ini sangat penting untuk diajarkan dan dibangun pada anak-anak di rumah serta sekolah. Sehingga alih-alih mem-bully, mereka akan berlomba berbagi. Mereka sadar kalau berbagi bukan sekadar untuk mencari pahala, tapi juga berfaedah. Jika kesadaran ini terbangun, maka mereka akan berlomba-lomba berbuat kebaikan setiap hari.

Cara pandang ini sangat bermanfaat seperti halnya bermanfaatnya kacamata bagi anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan.

Penulis: Ida S Widayanti (Pegiat parenting dan praktisi pendidikan)

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,200PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles