“God is unfair,” ujar seorang remaja yang kehilangan ibunya secara mendadak. Selama ini ia hanya dekat dengan ibunya. Sang ayah seorang yang sangat sibuk, Demikian juga kakak-kakaknya, sudah punya kehidupan dan keluarga masing-masing.
Ia merasa kesepian. Tak ada tempat untuk mencurahkan isi hati dan membantu menyelesaikan masalahnya. Sekian lama ia mengalami depresi sehingga harus selalu konsultasi ke psikolog. Ia merasa Tuhan tidak adil karena merenggut ibunya secara tiba-tiba dari sisinya, di saat ia begitu memerlukannya. Ia tak mau lagi menjalankan agamanya dan lebih banyak menghibur dirinya dengan main game berjam-jam.
Kisah lain adalah tentang perjalanan seorang ‘hijab traveler.” Cantik, muda, dan ternama. Dalam satu kesempatan, ia mengumumkan di media sosialnya bahwa ia bukan saja sudah meninggalkan Islam, namun sudah tidak percaya Tuhan. Menurutnya, anggapan bahwa tanpa Tuhan tidak akan bahagia adalah hal yang benar-benar keliru. Sebaliknya, ia menemukan kebenaran dan kebahagiaan dalam dirinya melalui pertemuan dengan sesama manusia.
Pernyataannya itu banyak mendapat perhatian dan pujian anak-anak muda lainnya. Ribuan orang me-Like– postingannya itu.
Ia juga mengatakan, sesungguhnya saat ini banyak yang sudah meninggalkan agama dan Tuhan. Namun mereka bersembunyi, karena khawatir mendapatkan pengucilan, hujatan, dan kebrutalan keluarga dan lingkungannya.
Syukurnya, ia kemudian tersadar, “Saya menyadari sekarang, itu adalah gangguan untuk menjauhkan saya dari masalah yang lebih dalam; identitas saya yang sebenarnya,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Agama memberi saya perasaan damai, menjadi tahu apa yang benar atau salah, atau dengan beriman saya akan merasa lebih baik.”
Saat ini, sangat mudah menemukan tokoh berpengaruh (influencer) apakah yang positif maupun negatif di media sosial, google, youtube, podcast, dan lain sebagainya. Mencari orang yang menyeru pada agama dan Allah SWT semudah mencari tokoh yang agnostik dan ateis.
Seorang remaja merasa skeptis dengan agama dan kehidupannya. Dalam sesi pelatihan terungkap pertanyaan-pertanyaan yang ada di lubuk hatinya “Kenapa aku dijadikan manusia, kan aku nggak minta. Kalau saya ditanya mungkin saya akan pilih jadi tumbuhan aja yang hidupnya nggak ribet seperti halnya manusia.”
Remaja lain mengatakan saat ini ia menjalankan shalat hanya karena perintah orangtuanya. Namun saat jauh dari keduanya ia tak menjalankan perintah agamanya.
Saat ini, di era bonus demografi, maka komposisi penduduk bangsa Indonesia didominasi oleh angkatan muda atau milenial. Prediksi tahun 2030, milenial ini akan mencapai angka 70%. Satu hal tentang milenial ini, mereka tidak mudah dipaksa oleh cara berpikir para orangtuanya, sebagaimana begitu banyak kasus seperti di atas.
Keyakinan pada Allah SWT sesungguhnya sudah di-instal di dalam ruh manusia jauh sebelum ia dilahirkan. Kebenaran sesungguhnya sudah ada di dalam jiwa manusia, tinggal bagaimana mengeluarkan nilai fitrah itu. Diperlukan cara dakwah yang tepat untuk para milenial ini agar ber-Islam secara ikhlas. Salah satu metode yang sedang berkembang adalah coaching, yaitu dengan cara ditanya dan didengarkan hingga ia menemukan kejernihan fitrah di dalam dirinya.
“Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya..” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).
* Ida S Widayanti (Pegiat parenting dan Praktisi Pendidikan)
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2020