Jika mempelajari bahasa asing tidak masalah, lalu mengapa rathanah dibenci? Apa yang membedakan, padahal sama-sama bahasa asing? Apa pula keburukan yang terjadi apabila kita dan anak-anak kita sibuk dengan rathanah?
Secara sederhana, rathanah terdiri dari dua macam. Pertama, penggunaan bahasa asing yang tidak dimengerti dengan berbagai jenjang keburukannya. Kedua, penggunaan bahasa ‘amiyah (bahasa gaul) dalam kehidupan sehari-hari.
Dari dua pengertian di atas, maka kita sekali lagi dapat menyimpulkan bahwa yang dilarang itu bukanlah belajar bahasa asing. Begitu pula berbicara bahasa asing dalam rangka berlatih dan belajar, tidaklah termasuk rathanah. Sebab, sebagaimana Zaid bin Tsabit RA, bagaimana akan menguasai bahasa asing dengan baik untuk kepentingan agama ini jika tidak belajar?
Rathanah: Bangga Berbahasa Asing
Keburukan rathanah bertingkat-tingkat. Yang paling ringan, berbicara menggunakan bahasa asing, tetapi ia sebenarnya tidak mengerti bahasa tersebut. Ia tidak mengerti bukan karena baru belajar, sebab ia memang tidak sedang mempelajari bahasa tersebut. Ia memakai bahasa asing agar tampak hebat dan sejenisnya yang semua itu memudahkan terjatuh kepada penyakit hati.
Lebih buruk lagi ialah berbangga-bangga ketika orang lain tidak mengerti apa yang dibicarakan, disebabkan ia memakai rathanah. Padahal tidak ada keharusan syar’i untuk menggunakan bahasa asing.
Keburukan pada tingkatan sebelumnya jika dibiarkan akan mudah membawa pada keburukan yang lebih buruk lagi, yakni berbangga-bangga dengan rathanah. Dan ini merupakan keadaan yang mengkhawatirkan. Tidak jarang terjadi pada sekolah Islam, seperti pondok pesantren. Seolah belum sempurna kalau tidak memakai bahasa Inggris. Yang ditonjolkan adalah bahasa Inggrisnya, bukan bahasa al-Qur’an atau bahasa setempat.
Keadaan inilah yang tidak boleh menjangkiti sekolah-sekolah kita, terutama sekolah berasrama. Akan kita bawa ke mana anak-anak kita jika selama di pesantren justru pikiran dan jiwa mereka terjajah pelan-pelan melalui rathanah? Ketika mereka tidak lagi memandang bahasa agama ini dengan penuh penghormatan, mereka juga tidak merasa mantap dengan bahasa setempat di mana mereka dibesarkan, maka keburukan tingkat berikutnya akan mudah terjadi. Apa itu? Berbangga dengan rathanah sehingga menyebabkannya enggan terhadap bahasa kaumnya, terlebih bahasa al-Qur’an.
Keburukan ini semakin bertambah manakala sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya kian berbangga dengan rathanah, menganggap hebat dengan berbahasa asing tertentu dan pada saat yang sama meremehkan sekaligus menganggap rendah bahasa Arab maupun hal-hal yang menggunakan istilah Arab.
Saya jadi teringat dengan beberapa peristiwa ketika menjadi narasumber di sejumlah lembaga Islam. Ketika saya menggunakan istilah semisal tarbiyah, ri’ayah, dan sejenisnya, perhatian mereka kurang. Mereka tampak kurang berminat. Tetapi begitu saya memakai bahasa Inggris, menyebutkan rujukan berbahasa Inggris, mereka segera menunjukkan sikap antusias.
Apa maknanya? Pikiran dan jiwa mereka terjajah. Mereka merasa rendah dengan bahasanya sendiri maupun bahasa agama ini. Saya khawatir berbagai sekolah Islam, sedang mengantarkan anak didiknya pada keadaan ini. Betapa banyak pesantren modern yang sepertinya malu kalau tidak menggunakan sebutan-sebutan berbahasa asing.
Keadaan ini jika dibiarkan bisa mengantarkan pada keburukan yang lebih besar lagi, yakni malu dan risih menggunakan istilah atau ungkapan bahasa sendiri maupun bahasa Arab. Dan inilah yang dahulu pernah terjadi pada masa penjajahan. Nenek saya yang literasinya tinggi, setiap hari baca kitab, disebut buta huruf karena tidak mengenal aksara latin.
Perasaan berbangga dengan rathanah dan menganggap hebat, dan meremehkan serta menganggap tidak berharga bahasa Arab. Serta, malu dan risih dengan sebutan maupun ungkapan menggunakan bahasa sendiri maupun bahasa-bahasa agama. Menjadi jalan masuk yang lapang bagi tumbuh suburnya nifaq (kemunafikan), serta berbagai keburukan lainnya. Na’udzubillahi min dzaalik.
Rathanah: Rusak Pemahaman Karena Buruk Bahasa
Makna kedua dari rathanah adalah membiasakan diri menggunakan bahasa gaul, prokem, atau alay. Sekilas tidak ada masalah, tetapi membiarkan anak maupun diri sendiri menggunakan bahasa semacam itu dapat menjadi penghalang untuk dapat memahami ilmu dengan baik. Bahkan, dapat menjauhkan dari makna yang lurus sekaligus memudahkan terjatuh pada adab yang buruk.
Apa tidak boleh sama sekali berbahasa gaul? Sekadar tahu untuk memudahkan berkomunikasi di saat awal –catat: di saat awal—masih dapat kita pakai. Tetapi menggunakannya untuk sehari-hari semakin sulit mendekati ilmu, sulit pula menegakkan disiplin istilah. Padahal disiplin istilah ini penting untuk menjaga ilmu dan agama. Bukankah pintu yang dipergunakan oleh manusia-manusia di akhir zaman untuk “menghalalkan” apa yang haram, khamr salah satunya, adalah istilah?
Bagaimana Seharusnya Anak Kita Belajar Bahasa Asing?
Seperti Zaid bin Tsabit RA, anak-anak perlu kita tanamkan agar bersungguh-sungguh mempelajari bahasa asing dalam rangka dakwah, mengantarkan hidayah kepada orang asing. Belajar bahasa asing dan menguasainya dengan sangat matang demi mengemban amanah agama agar tidak terperdaya oleh tipu muslihat mereka.
Jadi, mereka belajar bahasa asing dengan sungguh-sungguh, senantiasa perlu kita ingatkan bahwa bahasa alat. Alat baru akan membawa manfaat jika dipergunakan untuk hal-hal yang membawa manfaat dan maslahat menurut agama ini. Itulah yang harus kita tanamkan pada diri mereka.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022