Hidup-Mati Bersama Kitab
Bagi para ulama, kitab merupakan benda berharga yang tidak pernah terpisahkan dari kehidupan mereka. Inilah teman sejati dalam sehari-harinya.
Keberadaan ilmu memang tidak bisa terlepas dari kitab-kitab. Ilmu dicatat dan tersimpan di dalamnya. Dengan demikian, dalam segala aktivitas, kitab itu selalu bersama dengan para ulama.
Begitu dekatnya para ulama dengan kitab-kitab, sampai ada yang lahir dan wafat di atas tumpukan kitab. Ada pula yang rela menguras harta benda, bahkan menjual pakaian dan rumah, demi bisa membeli kitab.
Bagaimana gambaran kemesraan dan kecintaan para ulama pada kitab-kitab? Mari nikmati rubrik Ihwal edisi ini, yang dinukil dari kitab-kitab klasik.
Kemesraan Ulama dan Kitab
… tidak ada yang paling baik sebagai teman duduk kecuali kitab …
Ulama besar, Imam as-Suyuthi, lahir setelah Maghrib pada awal bulan Rajab tahun 849 H di Kairo, Mesir. Ia dijuluki sebagai Ibnu al-Kutub (anak kitab-kitab) karena ayahnya merupakan seorang ulama yang selalu menelaah kitab-kitab.
Suatu saat sang ayah minta kepada sang ibu yang sedang hamil untuk mengambilkan sebuah kitab yang ada di antara tumpukan kitab-kitab koleksinya. Tiba-tiba sang ibu mengalami kontraksi, hingga akhirnya melahirkan. Imam as-Suyuthi lahir di antara tumpukan kitab-kitab itu. (an-Nur as-Safir, hal. 51).
Uzlah Berteman Kitab
Para ulama tidak pernah terpisah dengan kitab-kitab. Hingga ketika memutuskan untuk beruzlah dari manusia, mereka tetap tidak bisa beruzlah dari kitab.
”Ketika seorang ulama merasa tidak membutuhkan manusia, maka ketika ia memahami kitab-kitab maka sempurnalah kenikmatan. Jika ia memperoleh rezeki kepahaman, maka meningkatlah dalam ibadah kepada Allah dan munajat pada-Nya. Maka ia telah memasuki surga, sebelum ia wafat.” (Shaid al-Khathir, hal. 186).
Khatib al-Baghdadi menyatakan bahwa suatu saat seorang lelaki ditanya, “Siapa yang menemanimu?”
Ia menepukkan tangan pada kitab-kitabnya seraya berkata, “Ini.”
Lantas ada yang bertanya, “(Teman) dari kalangan manusia?”
Lelaki itu pun menjawab, “Ya, yang ada di dalamnya.” (Taqyid al-Ilmi, hal. 125).
Ibnu al-Mubarak juga pernah ditanya, “Kenapa engkau tidak duduk bersama kami? Sedangkan engkau melaksanakan shalat bersama kami?”
Ia menjawab, “Aku pergi bersama para Sahabat dan para Tabi`in.”
“Dari mana para Sahabat dan para Tabi`in?”
Ibnu al-Mubarak menjawab, “Aku menelaah kitab, maka aku pun mengetahui atsar mereka.” (Hilyah al-Auliya, 8/164).
Kitab adalah teman yang paling baik bagi para ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Umari, “Tidak ada yang paling kuat dalam memberikan peringatan kecuali kubur, tidak ada yang paling baik sebagai teman duduk kecuali kitab, dan tidak ada yang lebih selamat kecuali dengan beruzlah.” (Jami` Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, 2/204).
Safar Bersama Kitab
Para ulama selalu bersama kitab-kitab dalam kondisi apapun dan dimanapun. Baik di saat bermukim maupun di saat bersafar.
Qadhi Ahmad bin Yazid bin Baqi al-Umawi pernah menulis sebuah kitab mengenai ayat mutasyabihat. Para penuntut ilmu berlomba-lomba untuk berguru padanya. Bukunya tersebut dinilai sebagai sebaik-baik karya dalam bidang itu. Qadhi Ahmad tidak pernah berpisah dengan bukunya itu, baik dalam kondisi bermukim maupun bersafar. (Tarikh Qudhat al-Andalus, hal. 151).
Syarafuddin Isa bin Ayyub, salah seorang penguasa Damaskus di masa lalu, pernah memerintahkan para fuqaha untuk mengumpulkan pendapat Imam Abu Hanifah dalam satu kitab, yang bernama at-Tadzkirah. Kitab itu selalu dibawanya, baik di saat mukim maupun safar. (Nihayah al-Urb fi al-Funun wa al-Adab, 29/146).
Begitu pula Adhud ad-Daulah, penguasa puncak Dinasti Buwaihiyah. Ia tidak pernah berpisah dengan kitab al-Aghani, baik dalam kondisi bermukim maupun bersafar. (Siyar A’lam an-Nubala`, 16/249).
Ulama yang juga tidak pernah berpisah dengan kitab adalah Imam as-Sarakhsi. Katanya, “Empat jilid yang tidak pernah berpisah denganku baik dalam kondisi bersafar maupun bermukim: Kitab al-Muzani, kitab al-‘Ain, at-Tarikh karya al-Bukhari, serta Kalilah wa Dimnah.” (Tadzkirah al-Huffazh, 3/824).
Dikenal dengan Nama Kitab
Saking “lengket”-nya dengan kitab-kitab, beberapa ulama akhirnya dikenal dengan nama kitab-kitab itu. Nama aslinya kadang kalah tenar.
Misalnya Muhammad bin Habib bin Umayyah bin Amru, yang dikenal sebagai al-Muhabbari. Sebab dalam waktu yang cukup lama ia tidak terpisah dan selalu mengajarkan kitab karyanya, al-Muhabbar. (al-A`lam, 6/78).
Ali bin Muhammad bin Ali dikenal sebagai al-Fashihi karena banyaknya ia mengajar kitab al-Fashih. Kitab itu selalu bersamanya. (Mu’jam al-Buldan, 4/321).
Ahmad bin Muhammad dikenal dengan penisbatan al-Wajizi. Ia hafal dan banyak mengajarkan Kitab al-Wajiz karya Imam al-Ghazali. (ad-Durar al-Kaminah, 1/243).
Ahmad bin Muhammad al-Irbili, dikenal dengan at-Ta`jiz. Sebabnya, ia amat menguasai dan hafal kitab itu. (ad-Durar al-Kaminah, 1/255).
Al-Kuly adalah sebutan untuk Syamsuddin Muhammad bin Ibrahim. Ia hafal kitab Kulliyat al-Qanun karya Abu al-Baqa`. (al-Wafi bi al-Wafayat, 2/5).
Jamaluddin Muhammad bin Abdillah dikenal dengan at-Tanbihi. Ia memang selalu bersama dengan kitab at-Tanbih karya Imam asy-Syirazi. (al-Kitab fi al-Hadharah al-Islamiyah, hal. 130).
Muhammad bin Abdurrahman dikenal dengan sebutan al-Manhaji. Penyebabnya, sang kakek hafal kitab Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi. (adh-Dhau` al-Lami`, 8/49).*Thoriq/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022