15.1 C
New York
Kamis, April 24, 2025

Buy now

spot_img

Keajaiban Do’a Seorang Ibu

Aku punya dua anak, laki-laki (sulung) dan perempuan (bungsu). Alhamdulillah, selepas tamat kuliah berlatar pesantren, si sulung mengabdikan diri di sebuah pesantren untuk mengajarkan al-Qur’an. Bahkan, ia ditunjuk jadi imam shalat.

Sebagai ibu, aku sangat bersyukur dengan pencapaian itu. Suatu keadaan yang tidak pernah terbayang di benakku. Karena melihat masa lalunya yang banyak melakukan keburukan. Maka ketika tahu ia telah berubah itu adalah bonus dari Allah yang dilimpahkan kepada keluarga kami.

Jauh sebelum mendalami agama, ia tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Sepulang dari sekolah (SD), aku menitipkannya di rumah kakek—yang berjarak puluhan kilometer dari tempat tinggal kami. Karena sekolahnya memang tidak jauh dari kediaman sang kakek.

Kami yang awam akan pendidikan, sangat berharap ia dapat terus melanjutkan sekolah. Sebagai petani biasa, apapun akan aku lakukan demi pendidikan anak-anak. Meskipun aku harus bekerja sebagai buruh tani.

Pergaulan yang Salah

Mulanya, tak ada gejala apapun pada anakku, terkait dengan perilaku. Paman-pamannya pun kerap memberi nasihat. Tapi, seiring waktu dan bertambahnya usia, gelagat yang tidak baik mulai tercium. Misalnya main sampai larut malam.

Aku dan saudara-saudara lainnya mencoba menasihati, terkait dengan perilaku buruknya itu. Ia dengarkan dengan seksama dan tak pernah membantah. Tapi, ibarat kata pepatah; masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Ia masih bergaul dengan pola yang sama.

Selidik punya selidik, ternyata ia telah terjerumus dalam pergaulan yang salah. Ia kerap main judi. Masa itu masih booming-nya playstation (PS). Ia pun candu sama game itu. Perilakunya mulai tak terkontrol. Mungkin karena kian merasa dewasa. Sekali waktu ia mulai berani melawan bahkan membentak pamannya.

Aku sangat sedih dengan perubahan yang dialami. Aku ingin memindahkannya dari sekolah asal ke tempat lain. Tapi itu sama saja seperti keluar dari kandang buaya, lalu masuk kandang singa. Alais akan semakin parah. Belum lagi, proses perpindahan yang ribet dan menelan biaya besar. Itu bukan hal mudah bagiku dan suami yang berstatus sebagai buruh tani.

Maka yang bisa aku lakukan adalah menasihati dan terus menasihati. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, keadaan kian memburuk. Bahkan secara diam-diam ia menggadaikan sepeda motor pamannya. Uangnya dipakai buat berjudi sampai habis. Semua keluarga marah. Saya menasihatinya sambil bercucuran air mata.

Ada satu hal yang terus saya sampaikan setiap kali memberi nasihat, sekalipun sambal marah. “Ibu akan terus menaruh harap dan mempercayai kamu. Meski banyak sanak keluarga yang sudah antipati.”

Ya, memang begitulah realitanya. Karena kebandelannya yang dianggap sudah kelewat, paman-pamannya sudah enggan menasihati. Apalagi setelah gelagat-gelagat perlawanannya mulai muncul.  Ia kian diacuhkan. Mungkin niat mereka untuk memberi pelajaran.

Tapi yang ada justru ia semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena tingkat indisiplinernya cukup tinggi. Ia ternyata kerap memalak teman-teman sekolahnya juga ketika masih duduk di bangku kelas tiga.

Tidak ada pilihan, kecuali ia harus segera pindah ke sekolah lain. Maka, aku pun pontang-panting mencari pinjaman agar ia bisa terus melanjutkan sekolah. Dan alhamdulillah dapat.

Iringan Doa

Di tengah kesadaran akan ketidakberdayaan untuk mengubah perilaku buruk buah hatiku, satu hal yang saya yakini dan terus pegang bahwa masih ada Allah yang mampu membolak-balikkan hati hambanya.

Karena itulah, tak pernah aku lewatkan untuk selalu mendoakannya. Terutama kala tengah bersimpuh di hadapan-Nya. Bahkan, karena begitu memikirannya, aku pernah bicara kepada saudara; “Saya seakan-akan hanya fokus mendoakan si kakak dan melupakan si adik.”

Aku pun mulai meningkatkan ibadah sunnah seperti shalat Tahajud dan puasa sunnah. Meski siangnya aku harus bekerja keras di ladang. Aku niatkan semata agar menjadi wasilah pembuka pintu hati anakku untuk berubah. Dan cukuplah baginya menyadari kekeliruan apa yang dilakukan, kemudian meninggalkan seluruhnya.

Hingga suatu hari, ia menyampaikan keinginannya untuk menyusul pamannya yang berada di seberang pulau. Ia pun ingin melanjutkan kuliah. Bertepatan si paman mengajar di pesantren yang memiliki perguruan tinggi, serta memberi beasiswa bagi mereka yang berprestasi maupun yang tak mampu. Puji syukur, pamannya menyambut dengan tangan terbuka, maskipun dengan satu syarat.

“Kalau serius mau ikut saya, maka minta dia belajar membaca al-Qur’an. Kalau enggan karena malu, berarti dia tidak serius,” ujar sang paman kala itu.

MasyaAllah, ternyata anakku menyanggupi persyaratan itu. Ada tenggat waktu beberapa bulan untuk belajar, sebelum tahun ajaran baru dibuka. Ia tidak malu belajar dengan anak-anak kecil. Karena sang guru ingin menjaga perasaannya, akhirnya ia diajar secara pribadi di waktu yang berbeda.

Alhamdulillah, akhirnya anakku ipun bisa menyusul sang paman; melanjutkan kuliah. Kabarnya ia mengambil program konsentrasi al-Qur’an.

Semasa kuliah, sering kali ia memberikan nasihat kepadaku supaya tak pernah meninggalkan shalat, kecuali dalam keadaan udzur syari. Ia mengingatkan aku juga agar menjauhi kesyirikan.

“Meskipun ibu ke ladang yang jauh. Bawa-lah air dan mukena. Tiba waktunya shalat, berhenti dulu untuk shalat. Itu ibadah yang tidak bisa ditinggal.” Itulah nasihatnya kepadaku.

Kini ia sudah lulus kuliah dan mengabdikan diri di sebuah pesantren. Pelajaran berharga dari pengalamnku ini yaitu sebagai orangtua jangan pernah putus asa untuk menasihati dan mendoakan anak-anak demi kebaikan mereka. Ketuklah “pintu langit” dalam setiap shalat. InsyaAllah, Allah akan membukakan. Karena sesungguhnya, doa orangtua, terutama ibu, bagi anak-anaknya tidak ada hijab.

*Kisah ini disampaikan oleh Ibu Liha kepada Abu Anis untuk Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2021

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles