Seorang wanita muda kaget ketika mendapatkan sebuah pesan dari seorang yang mengaku ayahnya, dan mengatakan ingin berjumpa. Wanita berusia 22 tahun itu mengaku belum pernah bertemu dengan ayahnya. Munculah perasaan bahagia dan haru. Tetapi, juga ada rasa cemas, sedih, bahkan marah.
Bahagia karena akan melihat sosok ayahnya. Sedih dan marah karena ada banyak luka di hatinya. Sementara sang ibu, sudah meninggal setahun yang lalu.
Seumur hidupnya wanita muda itu menyaksikan ibunya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan ayahnya tidak memberi kontribusi dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Karena, sejak ia bayi ayah dan ibunya bercerai.
Suatu waktu mereka berjumpa. Sang ayah sudah hidup dengan wanita lain dan mempunyai dua anak. Anak-anaknya belajar di sekolah yang bagus. Bahkan anak sulungnya belajar di pesantren.
Wanita itu teringat dirinya yang tak pernah disayangi dan diperhatikan sang ayah. Teringat pula ayahnya yang selama ini tak pernah berusaha mencari dirinya. Ia sangat sedih.
Waktu berlalu. Ayahnya mengirim pesan dan mengajak bertemu lagi. Ia bingung. Jangankan bertemu, untuk membalas pesan saja ia bingung. Jika ia berkomunikasi dan bertemu dengan ayahnya, ia ingat ibunya dan merasa berdosa. Sebab, ibunya pernah melarang dirinya bertemu dengan sang ayah. Tapi jika ia tak menghubungi dan menemui ayahnya, iapun takut berdosa pada ayahnya. Perasaannya berkecamuk.
Akhirnya, ia datang pada seorang coach untuk mencari jalan keluar. Ia menceritakan permasalahannya. Suaranya bergetar dan tersendat-sendat, diiringi derai airmata.
“Saat Ibu melarang untuk bertemu Ayah, apakah Ibu dalam keadaan emosi atau sedang tenang?” tanya coach.
“Ibu dalam keadaan emosi,” ujar wanita muda itu.
“Apakah Ibu di alam sana dalam keadaan tenang? Apa kira-kira yang Ibu inginkan dari Anda?”
“Ibu tentu ingin saya menjadi anak shalehah, agar Ibu saya tenang di sana dan bisa masuk surga.”
“Apa yang bisa Anda lakukan agar bisa menjadi anak shalehah?”
“Saya harus selalu mendoakan Ibu dan berbakti pada orangtua.”
“Berbakti pada orangtua itu kepada siapa saja?”
Perempuan muda itu terdiam.
“Ya, saya tahu, selain terus mendoakan Ibu, saya juga harus berbakti pada Ayah. Saya yakin itu juga yang Ibu inginkan saat ini,” ujarnya lirih sambil menghela napas.
Dialog sederhana di atas membuka pikiran dan hati wanita muda tersebut. Ia menemukan solusinya sendiri. Ia menjadi tersadar tentang masalah yang dihadapinya dan bagaimana mengatasinya.
Kadang masalah itu dekat, sehingga membuat kita bingung mencari jalan keluar. Padahal, sesungguhnya jawaban itu sudah ada di dalam diri sendiri. Untuk mengeluarkan jawaban itu, kadang butuh orang lain. Namun, hendaknya mencari orang yang kompeten dan amanah untuk membantu menemukan jalan keluarnya. Bagi orang yang membantu menyelesaikan masalah, maka beruntunglah ia.
Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat…” (Riwayat Muslim).
* Ida S Widayanti (Pegiat parenting dan praktisi pendidikan)
*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020