وَلَا تَكُوْنُوْا كَا لَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَا خْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَا بٌ عَظِيْمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (QS. Ali Imran [3]: 105).
Muqadimah
Belum lama ini, viral di medsos sekelompok masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB) mengusir kelompok lain. Kelompok yang diusir dinilai selalu menyalahkan dan mengusik amalan masyarakat itu. Ironisnya, kedua kelompok tersebut sama-sama Muslim.
Terlepas dari kasus di atas, persoalan khilafiyah sampai sekarang memang belum selesai di kalangan umat Islam. Seringkali masalah ini menimbulkan gesekan yang tajam antar kelompok berbeda. Akibatnya, umat Islam disibukkan dengan hal-hal yang tidak produktif. Padahal, masih banyak persoalan umat yang membutuhkan penyelesaian.
Dalam hal ini yang paling bertanggung jawab ialah orang-orang berilmu di antara mereka. Karena orang awam hanya mengikuti apa yang dikatakan para ulamanya. Sehingga dibutuhkan sikap yang bijak serta adil dari orang-orang berilmu.
Makna Ayat
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan, ayat ini memperingatkan umat Islam agar mereka tak menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dari kebenaran, seperti terpecahnya Yahudi dan Nasrani.
Juga larangan berselisih sebagaimana mereka berselisih dalam urusan agama ini, sesudah datang keterangan yang menjelaskan kebenaran kepada mereka, serta perintah untuk bersatu dan menghindari perpecahan. Mereka yang bercerai-berai dan saling berselisih akan mendapat siksa yang pedih dan berat pada hari kiamat. (Tafsir al-Wajiz, hal. 64).
Menurut Ibnu Katsir, melalui ayat ini Allah SWT melarang umat ini seperti umat-umat terdahulu yang bercerai-berai serta berselisih. Mereka juga meninggalkan amar makruf dan nahi munkar, padahal hujah telah jelas menentang mereka.
Imam Ahmad pernah mengatakan, Abu Amir (yaitu Abdullah ibnu Yahya) yang menceritakan, “Kami melakukan haji bersama Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan. Ketika kami tiba di Makkah, ia berdiri saat hendak melakukan shalat Zuhur, lalu berkata bahwa Rasulullah SAW sesungguhnya pernah bersabda orang-orang Ahli Kitab telah bercerai-berai menjadi 72 golongan. Umat Islam akan berpecah-belah jadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jamaah. Dan sesungguhnya di dalam umat Islam terdapat kaum yang selalu mengikuti hawa nafsunya sebagaimana seekor anjing mengikuti pemiliknya. Tiada yang tersisa darinya, baik itu urat maupun persendian, melainkan dimasukinya.
Lalu, Mu’awiyah mengatakan, “Demi Allah, hai orang-orang Arab, seandainya kalian tidak menegakkan apa yang didatangkan kepada kalian oleh Nabi kalian, orang-orang selain kalian benar-benar lebih tidak menegakkannya lagi.” (Riwayat Imam Ahmad). (Tafsir Ibnu Katsir, hal. 387).
Butuh Sikap Bijak
Para ulama menjelaskan, ayat di atas melarang orang-orang berilmu melakukan perpecahan dengan alasan keilmuan. Karena perpecahan di kalangan orang-orang berilmu bisa mewariskan perpecahan lebih parah di kalangan para pengikut yang awam dan tidak berilmu.
Dalam Islam, perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah furu’iyah serta fiqhiyah tidak dilarang. Tapi dalam menyampaikan masalah perbedaan pendapat di kalangan para ulama harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tidak menimbulkan perpecahan serta kebencian antar berbagai komunitas yang ada di tengah-tengah umat Islam.
Sebagian orang amat bersemangat bahkan bernafsu dalam menyerang, mencela, dan memusuhi saudara sesama Muslim yang berbeda pendapat dalam masalah fiqih atau metodologi dalam memahami masalah akidah, dengan alasan keilmuan.
Dalam pandangannya, ilmu harus disampaikan sekalipun nantinya menimbulkan perpecahan maupun permusuhan di kalangan umat Islam. Aspek keilmuan lebih penting daripada persatuan umat. Padahal ilmu yang benar tentang ajaran-ajaran Islam harus dipakai untuk membangun persatuan dan kekuatan kaum Muslimin. Karena salah satu tujuan utama ajaran Islam, adalah mewujudkan persatuan umat Islam yang notabene merupakan nikmat Allah sangat besar, bahkan lebih besar nilainya dari bumi dan isinya.
Ini berdasar firman Allah SWT, “Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfaqkan seluruh (kekayaan) yang ada di Bumi, niscaya kamu tak bisa mempersatukan hati mereka, tapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal: 63).
Karena itu, Allah melarang perpecahan di kalangan kaum Muslimin dengan alasan apapun karena bisa melemahkan kekuatan mereka. Bila kaum Muslimin terpecah belah pasti menjadi lemah dan mudah dihancurkan musuh.
Orang yang mengajarkan Islam seraya “mengajarkan” perpecahan di kalangan kaum Muslimin bisa jadi tidak mendapatkan pahala sedikit pun, bahkan mungkin malah berdosa. Rasulullah SAW pun mengancam kepada siapa saja yang sengaja memecah belah umatnya. “Akan terjadi pada umatku fitnah dan kerusakan, fitnah dan kerusakan, fitnah dan kerusakan. Maka siapa yang ingin memecah-belah urusan kaum Muslimin—ketika mereka bersatu—maka bunuhlah, siapapun dia.” (Sunan Abi Dawud, 4134).
Ilmu Islam tidaklah diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya melainkan untuk mempersatukan kaum Muslimin, bukan untuk memecah belah mereka.
Ayat di atas juga mengisyaratkan, bahwa persatuan kaum Muslimin harus dimulai dari kalangan kaum berilmu ataupun ulama. Bila para ulama bersatu, maka umat dengan mudah bersatu karena umat hanya mengikuti para ulama. Bila umat tidak kunjung mampu bersatu, maka para ulamanya bertanggungjawab atas kondisi ini, terutama para ulama dan dai yang terus memecah belah umat.
*Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2022.