21.4 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Jalan Ilahi Mantan Musisi

Sejak kecil aku menekuni dunia musik. Ketika SMA, aku sudah ahli main gitar dan menjadi pemain band di sekolah. Begitu juga ketika aku kuliah di perguruan tinggi negeri di Malang, hingar bingar musik adalah “makanan” sehari-hariku.

Aku dan teman-teman sering manggung di berbagai acara, mulai dari acara resmi hingga di acara kafe-kafe serta klub malam. Musik seolah telah mendarah daging denganku.

Lambat laun tak sekadar main musik, tapi aku juga menggeluti hal-hal lain terkait musik, misalnya bisnis sound system, menjadi agen dan distributor alat-alat musik, dan sejenisnya. Bahkan, aku juga pernah menjadi distributor tunggal gitar merek ternama untuk area Jawa Timur.

Bagiku, sound system menjadi sebuah bisnis yang sangat menyenangkan. Aku pun sering menanganinya di hotel-hotel, kafe, bar, diskotik, dan klub malam di daerah wisata Kota Batu dan Malang. Waktu kerjanya malam hingga pagi, dan itu hampir setiap hari.

Meskipun hampir setiap hari kurang tidur, aku menikmati karena setiap saat bisa hura-hura. Apalagi uangnya melimpah. Tidak sulit bagiku, misalnya untuk gonta-ganti handphone hingga mobil.

Namun ada suatu keganjilan yang aku rasakan. Benar bahwa uang melimpah, tapi habisnya juga begitu mudah. Banyak yang aku terima, tetapi seperti tidak pernah tersisa.

Setelah menikah dan punya anak pertama berusia balita, profesi hingar bingar ini terus aku tekuni. Sama dengan sebelumnya, begitu mudahnya aku mencari uang, tetapi habisnya juga amat gampang.

Istri dan anak sering sakit sehingga menghabiskan banyak duit. Jika pagi-pagi aku pulang dari klub malam, suasana di rumah tak pernah tenteram. Aku kerap cekcok dengan istri.

Bisnisku terus tumbuh, bahkan omsetnya bisa miliyaran rupiah per bulan. Namun kehidupan tidak terasa nyaman. Kadang aku juga ditipu rekan bisnis sehingga tiap hari bawaannya emosi.

Dari situ aku mulai bertanya-tanya, “Apakah kehidupanku akan terus seperti ini?”

Pengajian

Suatu hari aku termenung di masjid. Saat itu ada pengajian. Yang amat aku ingat, ustadznya mengatakan, “Musik tidak akan bisa menyatu dengan al-Qur’an”.

Aku seperti tertampar! Aku tahu bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup seorang Muslim. Bagaimana jika aku jauh darinya gara-gara bergelimang dengan dunia musik?

Namun jika tak bermusik, bagaimana penghasilanku? Itu adalah profesi yang telah aku geluti selama bertahun-tahun dan menjadi penopang ekonomi keluarga.

Di kesempatan lain, aku mendengar pengajian lagi. Isinya kurang lebih sama: “Al-Qur’an dan musik itu bagaikan minyak dan air, tidak pernah bisa menyatu”.

Sebab merasa penasaran, aku pun menemui ustadz itu dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya ustadz? Masak begitu?”

Kata ustadz, “Itu bukan kata saya, tapi kata ulama (Ibnu Qayyim al-Jauziyah,–red). Jika hidup Anda ingin terarah, tenteram, dan bahagia, maka ikutilah kata ulama.”

“Bagaimana denganku yang profesi dan penghasilannya dari musik? Bagaimana jalan keluarnya?” aku masih protes.

“Ya Akhi, banyak profesi yang dapat digeluti dan menghasilkan secara ekonomi untuk menafkahi keluarga kan?”

Aku merasa terpojok dan tidak bertanya lagi.

Ahli Masjid

Aktivitas terkait musik masih terus berjalan, tetapi aku merasa galau. Suasana hingar-bingar yang biasa aku dengar dari tempat sekitar, tiba-tiba terasa tidak mengenakkan.

Kegelisahan itu rupanya dibaca oleh istriku. Katanya, “Ikuti saja kata ulama, in-syaAllah keluarga kita akan lebih tenang dan barakah.”

MasyaAllah, sungguh motivasi yang luar biasa. Kata-kata istriku seperti pemacu semangat agar aku hijrah ke profesi yang lebih mendekatkan kepada al-Qur’an.

Tentu tidak mudah untuk meninggalkan aktivitas yang telah digeluti sekian lama. Namun harus aku lakukan, melalui tahapan yang memungkinkan. Misalnya, aku stop jualan gitar. Sebagian aku kembalikan ke pabrik. Ada juga yang aku biarkan begitu saja. Kalau ada yang beli, aku jual, karena bagaimanapun aku perlu nafkah.

Selanjutnya aku lebih menekuni sound system. Beberapa klien lama—kafe, klub malam, juga gereja—masih aku layani, karena aku harus bertanggung jawab atas produk yang telah aku jual. Namun, aku tidak menerima klien baru dari kalangan seperti itu. Aku hanya menerima permintaan dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, swasta, dan pihak-pihak yang tidak terkait dengan dunia malam.

Yang paling serius aku tangani adalah permintaan dari masjid, pesantren, dan juga lembaga-lembaga Islam. Ini aku prioritaskan, sebab kebanyakan sound system-nya payah. Sungguh beda sekali dengan gereja, yang biasanya tampil sempurna.

Jika suatu saat mendengar ceramah atau khutbah di masjid dengan sound system yang tidak enak, maka takmirnya langsung aku datangi. Kemudian aku tawarkan jasa pengelolaan sound system yang bagus, dengan biaya yang terjangkau bahkan bisa gratis.

Banyak berinteraksi dengan orang-orang masjid membuat hati dan hidupku lebih tenang. Soal hitung-hitungan penghasilan, memang sempat menukik tajam hingga ke titik terbawah.

Dan alhamdulillah kini terus membaik, meski secara nominal belum melebihi yang dulu. Bahkan belakangan aku kewalahan melayani permintaan dari masjid-masjid. Aku pun merasakan kehidupan yang lebih baik, tenang, dan tenteram bersama keluarga.

*Dikisahkan oleh MA Robby kepada Pambudi Utomo/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles