Istri tak hanya pendamping suami. Tapi pada saat tertentu juga ‘ibu’ bagi suaminya. Loh, kok?
Bagi sebagian istri, tugas utama seakan-akan sebatas pada urusan rumah tangga. Akan tetapi, kalau mencermati sejarah para Muslimah tangguh, rasa-rasanya itu hanya bagian kecil dari spirit ideal yang harus ada di dalam dada diri kita, kaum Muslimah.
Ketika Muhammad bin Abdullah baru menerima wahyu, kondisi berbeda begitu nyata dalam diri, sikap, dan perilakunya. Khadijah yang begitu setia kepada sang suami itu mengerti apa yang harus diucapkan dan dilakukan.
Ibarat kata, ibunda Siti Fatimah itu tak sekedar bergegas membuat teh hangat, tetapi mengambilkan selimut dan memberikan rangkaian kalimat yang menenangkan batin sang suami yang sedang menghadapi situasi tak biasa.
“Tidak mungkin. Demi Allah, Allah tidak akan merendahkanmu. Sesungguhnya engkau menyambung persaudaraan, jujur dalam berucap, menanggung orang lemah, menjamu tamu dan membantu kesulitan-kesulitan hak orang lain.”
Kalimat itu tidak bermaksud memuji, tetapi mengingatkan pria yang menjadi suaminya ini tentang apa yang menjadi kepribadian dan karakternya selama ini, sehingga tidak perlu takut, khawatir, dan sebagainya. Sebab, tidaklah mungkin orang yang hidupnya diisi kebaikan akan masuk dalam jurang kerugian.
Secara empiris kalimat itu memberikan suntikan spirit kepada diri sang suami, sehingga jadilah kisah selanjutnya Nabi Muhammad SAW sosok yang tak pernah lemah, kuat, maju terus dan selalu berharap dan melakukan kebaikan-kebaikan.
Sampai-sampai, kala dirinya telah ditinggal Khadijah, cinta yang tulus kepada putri Khuwailid itu menjadikan Aisyah RA, istri Nabi yang muda nan jelita cemburu kepadanya.
Hal ini menunjukkan, seorang Muslimah yang menjadi istri selain bertugas menyelesaikan beragam urusan rumah tangga juga harus mampu merawat dan mengokohkan iman sang suami, menghadirkan ketenangan dengan perhatian penuh yang diikuti oleh kalimat-kalimat positif yang menenteramkan jiwa.
Sebab, suami istri adalah pasangan, dua teman yang tak bisa dipisahkan. Jika salah satu lemah dan yang lain tidak menguatkan, alamat rusak bahtera rumah tangga itu. Akan tetapi, bila satu sama lain seperti bangunan yang kokoh, maka insya Allah jika suami seorang yang idealis, optimis, dan berkiprah penting dalam masyarakat akan semakin kokoh dan tangguh. Sebaliknya, jika istri lemah, pragmatis, dan egois, maka suami yang hebat pun akan runtuh karakter dan kepribadiannya.
Bahkan seperti ungkapan yang jamak di kalangan masyarakat: “suami adalah bayi gede (besar).” Hal itu memang tidak sepenuhnya dapat dipungkiri begitu saja. Lihatlah peran bagaimana Khadijah sangat tenang dan menyejukan. Ia tak ubahnya ibu bagi Nabi di saat Nabi merasakan kebimbangan yang maha dahsyat.
Dan, ini tidak sulit dipahami, sebab seluruh istri Nabi ﷺ dalam sejarahnya dikenal sebagai ummul mu’minin (ibu orang-orang beriman) yang itu berarti dapat dikatakan bahwa Khadijah-lah istri yang mampu berperan sebagai ibu kala mendampingi Rasulullah SAW pada masa awal kenabian.
Karena itu, wahai para Muslimah, selain menjadi istri bagi suami, berperan sebagai ibu bagi suami dalam situasi yang amat menentukan adalah langkah yang harus dilakukan, semata-mata untuk meneguhkan iman dari sang imam keluarga itu sendiri.
Menariknya Allah SWT menjelaskan perihal ini:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum [30]: 21).
Jika hal itu telah dilakukan, apakah kemudian tugas seorang Muslimah yang menjadi istri telah usai?
Belum! Masih ada tugas satu lagi, yakni bagaimana menjadikan anak-anak keturunannya adalah pribadi tangguh dalam iman.
Umumnya kaum ibu zaman now, lebih mengutamakan bagaimana mengkondisikan putra-putrinya hidup nyaman. Perhatiannya selalu jangan sampai anaknya mengalami kesulitan, harus fokus belajar, dan lain sebagainya. Tentu saja itu manusiawi.
Akan tetapi, lebih dari itu, target dari apapun yang diberikan kepada anak harus benar-benar mampu mengokohkan keimanan mereka. Sebab tidak ada yang lebih berharga bagi seorang ibu atas hadirnya putra-putri mereka, selain daripada keshalehannya.
Nabi mengingatkan hal ini melalui sabdanya bahwa setelah seorang suami dan istri kembali ke rahmatullah, selain shadaqah jariyah dan ilmu yang manfaat, tak ada lagi yang dapat diharapkan manfaatnya selain anak-anak shalih yang mendoakan.
Ketika Siti Hajar ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam rangka memenuhi perintah Allah Ta’ala, ia berusaha menjadi ibu yang baik bagi putranya, Ismail. Bukan semata pada tanggungjawab pemenuhan hak fisik anak, tetapi juga ruhaninya.
Hingga pada saat tiba masa anak itu tumbuh dan dapat berdialog dengan orang dewasa, sosoknya adalah anak yang tidak saja cerdas, tetapi juga shaleh, patuh, taat 100% kepada kedua orangtuanya.
Dengan demikian, sadar dan kembalilah pada tugas pokok seorang Muslimah yang sesungguhnya, baik terhadap suami maupun anak. Jangan sibukkan suami mengisi hidup sebatas memenuhi rasa kurang akan “belanjaan” yang tak pernah mengenal kata cukup. Jangan tuntut anak sebatas menjadi “pembelajar” berprestasi di sekolah.
Jadikanlah suami dan putra-putri kita sebagai insan yang tangguh dalam iman, amal shaleh, kebenaran dan kesabaran, layaknya Khadijah kepada Rasulullah SAW dan seluruh putra-putrinya, terutama Fatimah Az-Zahrah. Layaknya Hajar kepada Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS.
Jika sejarah pernah menampilkan kisah ideal seorang Muslimah sebagai istri dan ibu yang tangguh imannya, itu berarti langkah ini sangat mungkin kita jalani. Bahwa tidak sehebat mereka, setidaknya spirit ini terus kita nyalakan dalam dada. Allahu a’lam.
*Imam Nawawi, Penulis
* Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2020.