21.4 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Imam ath-Thabari: Ulama Multitalenta yang Tak Sempat Berkeluarga

Jami’ al-Bayan merupakan tafsir al-Qur’an yang legendaris. Ulama seperti Imam Nawawi pun mengakui karya Imam ath-Thabari ini belum ada yang menyamainya. (Manna’ al-Qatthan, Mabahist fi Ulumil al-Qur’an, hal: 386).

Sedangkan Imam as-Suyuthi mengakuinya sebagai kitab tafsir paling agung yang di dalamnya terdapat berbagai macam pendapat yang mempertimbangkan mana yang lebih kuat serta membahas i’rob dan istimbat. Karena itu, ia melebihi tafsir-tafsir karya para ulama sebelumnya. (Al-Itqon, 2/190).

Dalam karyanya ini, Imam ath-Thabari memaparkan seluruh riwayat berkenaan dengan ayat. Kemudian mengkonfrontir riwayat-riwayat tersebut satu dengan yang lain, lalu mentarjihkan salah satunya. Di samping itu, ia juga menerangkan aspek i’rob jika ini dianggap perlu dan mengistimbatkan sejumlah hukum.

Lebih dari itu, ia terkadang kritis terhadap sanad dengan men-ta’dil-kan yang adil, dan men-jarh yang cacat, menolak riwayat yang tidak sah riwayatnya, kemudian mengutarakan pendapatnya. Sebagai contoh, ketika menjelaskan surat al-Kahfi, ayat 93, “Maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu agar kamu membuat dinding antara kami dan mereka?”

Beliau berkata; “Diriwayatkan dari Ikrimah tentang ayat itu (yaitu terkait dhomah atau fathahnya huruf “sin” dalam lafahz “as-Suda”) yaitu Hadist yang diriwayatkan Ahmad bin Yusuf, ia berkata; bercerita kepada kami al-Qosim, Hajjaj, dari Harun dari Ayub, dari Ikrimah ia berkata; “yang biasa dipakai Bani Adam, yaitu dengan dibaca: “ass sada” dengan memakai fathah, tapi kalau dari Allah adalah memakai dhomah “ass suda”.

Lalu menerangkan sanad ini: “Adapun yang disebutkan dari Ikrimah itu, maka itu sama yang dinukil dari Ayub Harun, tapi dalam penukilannya diperselisihkan, dan kami tidak mengetahui riwayat dari Ayub yang sahabatnya tsiqoh. (Husain az-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun, hal. 213).

Selain dikenal sebagai mufassir, ia juga diakui mampu membangun mazhab fiqih sendiri melalui ikhtiarnya. Meski begitu, ia tidak ta’ashub terhadap mazhabnya.

Menurut al-Khathib al-Baghdadi (w. 463H) dalam karyanya Tarikh Baghdad, Imam ath-Thabari punya keutamaan, ilmu, kecerdasan, hafalan yang diakui oleh setiap orang, menguasai berbagai macam ilmu dalam Islam, dan tidak ada seorang pun dari umat ini yang dapat mengunggulinya.

Ia dikenal sebagai imam mujtahid mutlak, syaikh mufassirin (guru para ahli tafsir), muhaddits (ahli Hadits), sejarawan, faqih (ahli hukum fiqh), ushuli (ahli teori fiqh), serta ahli bahasa. Ia pun tidak pernah mengklaim diri sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana empat imam mazhab. Ia sendiri mengaku sebagai pengikut Mazhab Syafi’i.

Padahal ia punya kemampuan me-rajih-kan berbagai pendapat para ulama dalam karyanya ikhtilaf fuqaha’. Dalam karya tersebut, ia sama sekali tidak menyebut Imam Ahmad karena menurutnya Imam Ahmad bin Hanbal bukan ahli fiqih, tetapi ahli Hadits. Sebab itu ia dimusuhi oleh pengikut mazhab Hanbali. (Dr. Muhammad Amhazun, Tahqiq Mawaqif as-Shahabah fi al-Fitnah, I/183).

Imam ath-Thabari termasuk ulama paling produktif di masanya. Karya-karyanya mencapai puluhan bahkan ratusan buku dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Selain Tafsir ath-Thabari, karyanya yang popular, yaitu Tarikh ar-Rasul wal Anbiya’ wal Muluk wal Umam. Ia mendiktekan tafsirnya kepada para santrinya hingga 7 tahun, tepatnya mulai tahun 280 H hingga 290 H. Sedang kitab sejarahnya selesai didiktekan kepada para santrinya pada tahun 303 H.

Ia juga termasuk ulama besar yang pendapatnya seringkali dijadikan rujukan oleh umat karena pengetahuannya luas tentang berbagai ilmu. Selain itu, juga sosok yang unggul budinya, tidak menyukai dan menjauhi kehidupan duniawi. Namun, meski banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan mengajarkan ilmu, ia tetap menjaga keharmonisan hubungan sosial.

Kedudukan yang begitu terhormat ini tak lantas mengubah gaya hidupnya. Justru ia tetap berusaha hidup sederhana dengan mengandalkan uang dari hasil panen yang ditinggalkan ayahnya di Thaburstan.

Padahal jika mau, ia bisa hidup dalam gelimang kemewahan. Menteri al-Khaqani pernah menawarkan jabatan Hakim Daulah Abbassiyah kepadanya, tetapi ia tolak. Tak hanya itu, ia juga menolak hadiah 1.000 dinar dari menteri al-Abbas bin Hasan atas kitab yang ditulisnya; al-Khafif.

Dari Keluarga Berilmu

Nama aslinya ialah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari. Ia lahir di kota Amul, Tabaristan, Afghanistan pada tahun 224 H atau 839 M. ia biasa dipanggil Abu Ja’far dan dikenal dengan nama ath-Thabari karena dinisbatkan pada nama tanah kelahirannya Thabaristan.

Ayahnya termasuk sosok yang sangat mencintai ilmu dan menginginkan putranya menjadi ulama besar. Ath-Thabari kecil diajari dan dibimbing oleh ayahnya untuk menghafal al-Qur’an serta mempelajari berbagai keilmuan Islam tradisional. Usia 7 tahun, ia menyelesaikan hafalan Qur’annya. Ia diminta ayahnya untuk menjadi imam shalat pada usia 8 tahun, dan mulai menulis Hadits pada usia 9 tahun.

Ia melanjutkan pendidikannya dengan pergi merantau ke Ray, Baghdad, Kuffah, Bashrah, lalu ke Fustat serta Mesir. Dalam perjalanan tersebut, ia memperoleh banyak ilmu seperti ulumul Qur’an, qiraat, tafsir, Hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lain sebagainya.

Di bidang Hadits, ia belajar kepada gurunya al-Bukhari dan Muslim seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna, serta Muhammad ibn Yasar. (Nawawi, Tahzib asma’ wa lughat, 1: 97).

Karena sibuk dengan ilmu sehingga ia melajang seumur hidupnya. Pengabdiannya dalam menebarkan cahaya pengetahuan mengalahkan hasratnya untuk menikah.

Beliau wafat pada akhir Syawal (310 H) dalam usia 86 tahun. Dan dikebumikan di dalam rumahnya. Para ulama dan kaum cendekia pun berduka sangat mendalam. Ribuan orang berdatangan dalam pemakaman untuk mendoakannya. Meski tidak meninggalkan istri dan keturunan, namun ia meninggalkan ilmu pengetahuan dan berbagai kitab yang akan selalu dikenang sepanjang masa.

Penulis: Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles