Site icon Majalah Hidayatullah

Ikatan Persaudaraan yang Abadi

 

Cinta-Ku wajib untuk orang yang saling mencintai karena Aku, dan cinta-Ku wajib untuk dua orang yang saling bergaul karena Aku. Dan cinta-Ku wajib bagi dua orang yang saling mengunjungi karena Aku. (Hadits Qudsy Riwayat Ahmad).

Ikatan persaudaraan bisa dibangun atas dasar berbagai macam. Mulai dari yang paling alami, yaitu nasab (keturunan) sampai ikatan karena sekadar persamaan hobi. Orang yang sama-sama mempunyai hobi berkendara mobil tertentu, dapat menjalin ikatan persaudaraan atas dasar hobi tersebut. Mereka bisa saling terikat untuk bertemu dalam suatu arena pada momen khusus dengan kegiatan tertentu. Mereka kompak, disiplin, dan saling terikat satu sama lainnya.

Kesamaan asal juga bisa membentuk suatu ikatan persaudaraan. Di perantauan, misalnya, sesama mahasiswa Indonesia bersepakat untuk saling membuat ikatan mahasiswa Indonesia. Mereka bertemu, saling tolong menolong, dan bersaudara karena asal negara sama. Begitu sebaliknya, sesama mahasiswa dari universitas tertentu bisa membuat ikatan mahasiswa ketika sama-sama kembali ke tanah air.

Ada juga ikatan persaudaraan karena perasaan senasib. Orang yang menderita penyakit jantung, bisa membentuk klub penderita jantung. Mereka kumpul pada hari-hari tertentu untuk olahraga atau senam jantung bersama. Lalu, dilanjutkan dengan berbagi pengalaman. Acara seperti itu, bagi sebagian orang tentu sangat mengasyikkan.

Persaudaraan yang diikat oleh motif di atas tidak ada larangan dalam Islam. Sah dan boleh. Tetapi, ikatan persaudaraan yang didasarkan pada keimanan memiliki nilai paling utama dan mulia. Ikatan tersebut nyaris tanpa pamrih. Tidak ada motif lain selain hanya mencari ridha Allah semata. Ikatan persaudaraan seperti ini lebih suci, mendalam, dan abadi.

Inilah satu-satunya ikatan persaudaraan yang memperoleh jaminan pahala yang besar dari Allah. Dia mencintai orang yang bersaudara karena iman. Karenanya, Dia sangat menganjurkan kepada setiap Muslim untuk bersaudara karena motif tersebut.

“Orang-orang Mukmin sesungguhnya bersaudara, maka damaikanlah kedua saudaramu yang berselisih, dan bertawakal-lah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat.” (Al-Hujurat [49] : 10).

Diriwayatkan oleh Muslim, Nabi saw bersabda, “Ada seorang lelaki berkunjung ke tempat saudaranya di kampung lain. Lalu, Allah mengikutkan satu malaikat atas perjalanan lelaki tersebut. Ketika malaikat itu sampai padanya, maka ia bertanya, “Ke mana engkau hendak pergi?” Lelaki itu menjawab, “Aku hendak ke rumah saudaraku.” Malaikat itu bertanya lagi, “Apakah engkau mempunyai kepentingan sehingga engkau menemuinya?” Ia menjawab, “Tidak, selain sesungguhnya aku mencintainya karena Allah.” Malaikat itupun berkata, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, membawa kabar untukmu bahwa Allah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu karena Allah.”.”

Bayangkan ketika Allah sudah mencintai seseorang, maka dampak kecintaan-Nya akan mengalir ke mana-mana. Malaikat dan penghuni langit secara otomatis akan mencintai orang itu. Penghuni bumi; jin, manusia, dan makhluk hidup lainnya juga akan mencitainya. SubhanAllah, nikmat apalagi yang lebih besar dari cinta Allah?

Hal yang akan langsung dirasakan apabila kita mencintai saudara Muslim karena iman adalah rasa bahagia yang luar biasa. Bahagia di atas bahagia. Itulah bahagia yang digambarkan Nabi sebagai kebahagiaan seperti merasakan manisnya iman.

Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa mencapainya akan merasakan manisnya iman. Allah dan Nabi-Nya lebih ia cintai dibanding yang lain, ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan membenci untuk kembali pada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana kebenciannya dilemparkan ke dalam Neraka. (HR. Bukhari dan Muslim).

*Penulis: Hamim Thohari

*Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2020

Exit mobile version