يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُون (64) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ (66)
“Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (At-Taubah[9]: 64-66)
Di antara ajaran Islam yang paling penting yaitu, meyakini kerasulun Nabi Muhammad secara mutlak. Belum beriman seseorang, jika dirinya belum mengakui Rasulullah sebagai utusan Allah.
Jika seseorang sudah beriman pada Rasulullah, maka selanjutnya mengikuti beliau sepenuhnya (muttabaáh). Ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang wajibnya ittiba’ kepada beliau sangatlah banyak. Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat yang mewajibkan umat Islam iitiba’ kepada Rasulullah.
Di antaranya firman Allah, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. [al-Hasyr [59]: 7].
Bahkan, seandainya para Nabi terdahulu hidup kembali, mereka akan iitiba’ kepada Rasulullah. Hal ini ditegaskan Rasulullah, “Seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus mengikuti aku”. [Riwayat Ahmad, ad-Darimi, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah).
Para ulama menjelaskan, ittiba’ yang dimaksud, dalam masalah aqidah, syariah (ibadah), akhlaq, dakwah, siyasah syar’iyyah, maupun yang lainnya. Karena dengan ittiba’, Allah akan menjamin kebahagiaan, kemenangan, dan surga. Begitu juga sebaliknya, Allah akan menjadikan kebinasaan, kehinaan, kerendahan, kehancuran, bagi orang-orang yang menentang, melecehkan, menghina, dan membuat main-main Rasulullah.
Makna Ayat
Dalam tafsir al-Jalalain disebutkan, orang-orang munafik takut diturunkan kepada kaum Mukminin suatu surah (al-Qur’an) yang menerangkan tentang kemunafikan mereka.
Namun, meski demikian mereka masih tetap memperolok-olok Allah dan Rasul-Nya. Lalu, Allah menyuruh mereka terus mengejek, tapi sebetulnya mengandung ancaman. Yang mana Allah akan menampakkan kemunafikan mereka.
Berikutnya, mereka dilarang meminta maaf, karena kafir sesudah beriman. Artinya, kekafiran mereka tampak sesudah menampakkan keimanan.
Kata “Jika Kami memaafkan”, kalau dibaca memakai ya’, berarti menjadi mabni maf’ul sehingga bacaannya menjadi ya’fa. Jika dibaca memakai huruf nun, berarti mabni fa’il dan bacaannya seperti yang tertera pada ayat “segolongan daripada kalian”, lantaran keikhlasan dan tobatnya, seperti apa yang dilakukan oleh Jahsy bin Humair.
Kalimat “Niscaya Kami akan mengazab” dapat dibaca tu`adzdzib dan dapat pula dibaca nu`adzdzib. Golongan yang lain disebabkan mereka orang-orang yang selalu berbuat dosa, yakni selalu menetapi kemunafikannya dan selalu melancarkan ejekan-ejekan. (Tafsir Al-Jalalain, I/252)
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Qatadah, ketika Nabi berangkat menuju ke medan Tabuk, orang-orang munafik berkata, “Orang ini (Nabi Muhammad) menduga, bahwa dia dapat menaklukkan kerajaan Romawi berikut semua bentengnya. Alangkah jauhnya dari kenyataan.” Allah pun memperlihatkan kepada Nabi-Nya apa yang mereka perbincangkan itu. Rasulullah bersabda: “Hadapkanlah orang-orang itu kepadaku!” Maka, mereka dipanggil, lalu Rasulullah bersabda, “Kalian telah mengatakan anu dan anu.” Tetapi mereka bersumpah seraya berkata, “Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Salah satu yang bersumpah yaitu Makhsyi ibnu Humair. Ia meminta maaf dan mengganti namanya dan nama bapaknya, lalu memohon kepada Allah agar dirinya gugur sebagai syuhada tanpa diketahui tempatnya. Akhirnya, ia gugur dalam Perang Yamamah dan tidak dijumpai bekas-bekasnya.
Syaikh as-Sa’di menjelaskan ayat di atas, bahwa menghina Allah, ayat-ayat dan Rasul-Nya adalah penyebab kekafiran. Pelakunya keluar dari agama Islam (murtad), karena agama ini dibangun di atas prinsip mengagungkan Allah, ayat-ayat, dan Rasul-Nya. Menghina salah satu di antara ketiganya, berarti bertentangan dengan prinsip pokok ini. (Tafsir al-Karim ar-Rahman, hal. 342)
Hukuman Mati
Para ulama sepakat (ijma’), hukuman bagi orang menghina Nabi adalah hukuman mati. Syaikhul Islam al-Harrani dalam kitabna as-Sharim al-Maslul menerangkan, Abu Bakr al-Farisi, salah satu ulama syafiiyah menyatakan, kaum muslimin sepakat, bahwa hukuman bagi orang yang menghina Nabi adalah dibunuh, sebagaimana hukuman bagi orang yang menghina mukmin lainnya berupa cambuk.
Al-Khithabi mengatakan, “Saya tidak mengetahui adanya beda pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang wajibnya membunuh penghina Nabi. Sementara Muhammad bin Syahnun mengatakan, bahwa para ulama sepakat, orang yang mencela dan menghina Nabi statusnya kafir. Dan dia layak mendapat ancaman berupa adzab Allah. Hukumannya dibunuh. Siapa yang masih meragukan kekufuran dan siksaan bagi para penghina Nabi, berarti dia kufur.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 9)
Adapun jika ada orang Islam menghina Nabi kemudian bertaubat, terdapat beberapa pendapat di kalangan para ulama. Pertama, hukuman mati gugur dengan taubatnya. Kedua, taubat tidak diterima dan hukuman mati harus diberlakukan. Ketiga, taubatnya diterima dan hukuman mati harus tetap dijalankan.
Adapun yang berhak mengeksekusi hukuman tersebut, menurut Imam al-Kasani yaitu pihak yang berwenang. Dalam hal ini pemerintah atau yang mewakili. (Bada’i as-Shonai’, 9/249). Sedang main hakim sendiri tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan kegaduhan, kekacauan, dan bahkan kerusakan yang lebih besar.
*Penulis: Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
* Konten ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2020.