Ghost Kitchen atau dapur maya belakangan menjadi tren. Modal minim dengan keuntungan yang menggiurkan.
Ghost kitchen merupakan sebuah istilah, yakni usaha kuliner tanpa fasilitas makan di tempat. Pemilik cukup menyediakan fasilitas masak. Untuk penjualannya dapat dilakukan melalui aplikasi pesan-antar.
Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Muti Arintawati menyampaikan, bahwa dapur maya juga harus mengantongi sertifikat halal. Sesuai Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang mengamanatkan agar produk yang beredar di Indonesia terjamin kehalalannya.
Muti menegaskan pada prinsipnya proses sertifikasi halal sama saja antara pelaku usaha yang menyediakan makan di tempat atau yang hanya pesan-antar. “Bahan yang digunakan harus bersertifikat halal,” tegas Muti kepada Suara Hidayatullah, awal Januari lalu.
Tapi, perempuan yang aktif di LPPOM MUI sejak 1994 ini menuturkan, usaha yang menyediakan makan di tempat lebih banyak persyaratannya dibandingkan dapur maya. Menurutnya mengelola dapur maya lebih mudah, meskipun begitu seluruh prosesnya harus tetap terjaga dari kontaminasi bahan haram dan najis.
“Jadi dapur maya lebih mirip seperti industri pengolahan, karena hanya mengolah lalu menjualnya,” ujar alumnus IPB Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi ini.
Edukasi ke Pelaku Usaha
Kewajiban sertifikasi halal telah dimulai sejak tahun 2019. Untuk produk Food and Beverage (makanan dan minuman) akan berakhir masa penahapan di tahun 2024. Artinya setelah 2024, secara penuh bisa dijalankan.
“Tapi, kalau kami perhatikan, banyak orang yang belum paham tentang informasi kewajiban sertifikasi halal, terutama para pelaku usaha kecil,” terang perempuan asal Manokwari, Papua ini.
Eks Sekretaris Komisi Teknis World Halal Food Council (WHFC) ini menambahkan, secara umum kesadaran mereka juga masih rendah. Sebab itu, ia berharap Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terus melakukan proses sosialisasi secara masif.
Apalagi program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) BPJPH yang berjalan sejak tahun 2021, belum berjalan sesuai harapan. Faktanya, belum banyak pelaku usaha yang daftar. “Saya merasa nggak perlu daftar. Buat apa? Masih banyak yang berpkir kayak begitu,” ungkap eks auditor halal MUI ini.
“Nah, ini jadi tantangan besar. Supaya sertifikat halal itu bukan sekadar selembar kertas, tapi betul-betul memberikan jaminan kehalalan. Karena apa? Produsennya betul-betul paham dan akan melakukannya dengan baik,” jelasnya.
Sejatinya, proses sertifikasi halal hanya membutuhkan waktu paling tidak 2 pekan saja, khususnya UKM. Tapi sayangnya, seringkali molor karena para pelaku usaha belum benar-benar siap menjalankan prosesnya.
“Setiap kali ditanya, saya selalu mengatakan persiapkan dengan baik dulu. Belajar dulu. Kalau di MUI kita sebut dengan bimbingan teknis, seperti training tapi lebih ke masalah teknis,” ujarnya.
Jadi, Muti menegaskan, terkait sertifikasi halal, semua tergantung pada kesiapan para pelaku usaha. Kini, BPJPH memberikan waktu untuk proses sertifikasi halal selama 21 hari. Jika mereka belum bisa memenuhi, maka dikasih waktu tambahan sampai 10 hari, sehingga maksimal 25 sampai 30 hari prosesnya baru selesai.
“Jika tidak siap, maka prosesnya akan dihentikan. Dianggap perusahaan tidak bisa memenuhi, sehingga otomatis tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Biaya yang sudah dikeluarkan juga hangus, karena ketidaksiapan tersebut,” paparnya.
Penegakan Hukum
Kesempatan untuk melakukan proses sertifikasi halal masih terbuka hingga 2024. Artinya, setelah itu, tanpa sertifikat halal, sebuah perusahaan pangan tidak dapat berjualan, kecuali produk yang dijual jelas tidak halal sehingga harus menyatakan pada kemasannya bahwa “produk tidak halal”.
“Kedepan jika tidak disertifikasi halal, pasti ada tindaklanjut dari pemerintah. Ada penerapan sanksi. Artinya perusahaan yang memang tidak bersertifikat halal tidak boleh mencantumkan halal dan harus ada kejelasan juga. Bahkan ketika menjual produk yang tak halal maka harus ada ketentuan penandaan tidak halal,” ujarnya.
Muti yakin, kedepan pemerintah secara perlahan akan menerapakan penegakan hukumnya. “Karena bagaimana pun yang namanya sebuah kewajiban, kalau tidak ada penegakan hukumnya tidak ada gunanya. Orangnya abai saja,” terangnya.
Dan ketika ada aturan, Muti melanjutkan, tetapi tidak diterapkan dengan baik, maka orang menjadi tidak jera. Menurutnya penegakan hukum itulah yang dapat menyebabkan efek jera. “Agar orang tidak akan mengulangi dan orang yang mau coba-coba tidak berani. Karena memang ada hukuman yang berat,” tuturnya.
Ghost kitchen Semakin Populer
Saat ini, usaha ghost kitchen semakin populer di dunia termasuk Indonesia. Salah satunya, adalah Yummy Kitchen yang melakukan ekspansi dengan menambah 50 dapur baru hingga akhir tahun 2021 lalu.
Dan sebelumnya, tahun 2018, sebuah perusahan ojek online telah meluncurkan ghost kitchen dengan nama Grab Kitchen. Kemudian satu tahun berikutnya, Gojek meluncurkan Dapur Bersama GoFood.
Operator lainnya pun malang melintang di industri ini di antaranya Everplate, Kita Kitchen, Telepot, dan Eatsii. Semuanya menyewakan tempat untuk usaha model dapur bersama seperti ini.
Menurut laporan Research and Markets, kini diperkirakan ada sekitar 7.500 ghost kitchen yang beroperasi di Tiongkok dan 3.500 di India. Jumlah tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, yang hanya memiliki 1.500 ghost kitchen. Laporan ini juga menyatakan, industri ghost kitchen global diperkirakan tumbuh lebih dari 12 persen setiap tahun.
Namun sampai saat ini belum ada data yang bisa menjawab seberapa besar angka pertumbuhan dapur maya di Indonesia. “Kalau bertanya berapa banyak ghost kitchen yang sudah disertifikasi, itu mohon maaf kami tidak punya data yang pasti, karena memang tidak ada kelompok khusus untuk ghost kitchen. Jadi bercampur sama dapur-dapur pada umumnya,” tutupnya. Azim Arrasyid/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.