18.2 C
New York
Minggu, Mei 25, 2025

Buy now

spot_img

Gerilya Tirani Minoritas

Berbagai strategi disusun oleh penguasa untuk menghancurkan kekuatan politik Islam.

Orde Lama berganti ke Orde Baru. Banyak orang berharap keadaannya akan lebih adil dan demokratis. Namun saat proposal pendirian kembali Masyumi ditolak Soeharto, maka tokoh-tokoh Islam saat itu sudah bisa menyimpulkan bahwa keduanya sama saja.

Korban bahkan lebih banyak berjatuhan, sebab Orde Baru lebih lama berkuasa. Siapa saja yang merintangi jalan dan kepentingan penguasa, maka akan segera dilibasnya.

Kristen Militan

Ada dua senjata ampuh yang dijadikan alat untuk menggebuk lawan politik di zaman Orde Baru, yaitu UU Subversif dan UU Politik (Asas Tunggal). Kebijakan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang secara politik diwadahi Golkar, menjadi penopang utama sikap represif.

Rupanya para perwira militer yang dekat dengan Soeharto adalah dari kalangan Kristen militan dan abangan. Sampai akhir tahun 1980-an, mereka menguasai tiga komponen utama aparatur keamanan, yaitu departeman pertahanan dan komando militer, intelijen, serta Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Contohnya, M. Panggabean (Protestan) menjadi Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan periode 1973-1978, dilanjutkan oleh LB. Moerdani (Katolik) pada periode 1983-1988. Ali Moertopo (abangan anti-Islam) memegang kendali atas dinas-dinas intelijen.

Di masa Orde Lama, Soekarno menuduh gerakan-gerakan Islam melakukan makar karena provokasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedangkan di masa Orde Baru, kebijakan Soeharto diprovokasi oleh kalangan minoritas Kristen yang menjadi think tank kekuasaan.

Soeharto ditelikung oleh kaum intelektual Kristen yang tergabung dalam Center for Strategies and International Studies (CSIS) besutan Pater Beek. Lembaga ini dipercayai sebagai arsitek Orde Baru.

Kebijakan represif tidak hanya menelan korban pemasungan hak politik, tapi juga korban jiwa. Yang paling banyak menelan korban adalah peristiwa Tanjung Priuk (12 September 1984).

Peristiwa berdarah itu dipicu oleh protes umat Islam atas tindakan aparat yang masuk ke Masjid as-Sa’adah tanpa melepas sepatu dan menghapus pengumuman pengajian dengan lumpur. Umat Islam kemudian berkumpul di masjid mengecam pemerintah sambil memekikkan takbir.

Panglima ABRI LB. Moerdani kemudian menurunkan pasukan bersenjata dan menembaki umat Islam. Akibatnya, ribuan orang meninggal dunia.

Peristiwa tersebut berbarengan dengan sosialisasi Asas Tunggal. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi yang sangat tajam di kalangan pergerakan.

Sebagian besar organisasi Islam terpaksa menerima agar terhindar dari sanksi pembubaran. Sebagian menolak dengan tegas, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI). Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bahkan pecah dua menyikapi kebijakan ini. Satu kelompok menerima, satu lagi menolak dan membentuk HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).

Skenario Chaos

Berbagai strategi disusun oleh penguasa untuk menghancurkan kekuatan politik Islam. Misalnya Ali Moertopo merekayasa gerakan Komando Jihad (Komji) pada tahun 1970-an. Tujuannya untuk menghancurkan citra gerakan dan aktivis Islam, yaitu dengan menghidupkan lagi NII Kartosuwiryo.

Busyro Muqoddas dalam disertasinya yang dibukukan dengan judul Hegemoni Rezim Intelijen (Yogyakarta: PUSHAM-UII) mengungkapkan bahwa untuk memperkuat hegemoni Orde Baru, dibuatlah kekacauan. Ia menyebutnya teori “Joko Tingkir”.

Dalam legenda, pernah ada kerbau yang dicocok telinganya oleh Joko Tingkir hingga mengamuk. Lalu Joko Tingkir berlagak menjinakkannya, yaitu dengan membuang benda yang menutupi telinga kerbau itu. Akhirnya si kerbau bisa jinak kembali, dan Joko Tingkir tampil layaknya pahlawan.

Nah, kalangan intelijen membuat skenario mengumpulkan mantan-mantan pemimpin NII. Muncullah sosok bernama Imron di Bandung yang radikal dan menyulut emosi para mantan agar melakukan kekerasan sehingga terjadi kekacauan. Imron sendiri adalah orang yang dikenal dekat dengan petinggi militer.

Situasi chaos inilah yang memang diharapkan terjadi. Rezim jadi punya alasan untuk menangkapi orang-orang yang dianggap melakukan makar. Aktivis Islam dicitrakan tidak pernah berhenti melakukan makar untuk mendirikan “negara Islam”. Begitu mudahlah cap “ekstrim kanan” dituduhkan.

Adapun rakyat jelata diancam agar meninggalkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan mendukung Golkar. Bila masih fanatik mendukung partai Islam, maka bisa dengan mudah dicap sebagai ekstrimis.

Hasilnya, suara Golkar pada Pemilu 1971 naik secara signifikan mengalahkan PPP dan PDI. Siapa yang ikut Golkar akan selamat dari cap ekstrimis. Adapun yang berbeda pendapat, maka akan direpresi atas nama stabilitas dan keamanan.

Lahirlah kemudian UU Subversif. Tujuannya untuk melegitimasi pemerintah mengambil tindakan kepada siapa saja yang diduga akan melakukan makar.

Untuk mengontrol semua gerakan, dibuatlah kebijakan Asas Tunggal. Atas nama stabilitas dan keamanan, Orde Baru juga memaksakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang menolak tafsir apapun atas Pancasila selain tafsir versi tunggal.

Alat-alat itulah yang digunakan oleh Soeharto untuk melumpuhkan semua lawan politiknya. Korban paling besar dari kebijakan-kebijakan tersebut, lagi-lagi, adalah umat Islam.

Sejarah mencatat bahwa nasib Soeharto akhirnya sama seperti Soekarno. Ia justru dijatuhkan oleh pihak yang selama ini dianggap menjadi penopang utamanya.

Rentetan peristiwa di atas mestinya bisa menjadi cermin di masa kini. Bila penguasa terus-menerus melakukan represi terhadap umat Islam, sampai membubarkan organisasi tanpa peradilan, mengkriminalisasi aktivis dan ulama, serta melakukan berbagai tindak sewenang-wenang lainnya, maka sesungguhnya ia sedang menggali kuburnya sendiri. Wallahu A’lam.*

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles